Cau Kun Kong, Dewa Bumi, sedang menjalani perjalanan menuju nirwana. Melintasi pintu langit, membawa kabar tentang dunia. Sebelum ia kembali, tempatnya bersemayam dimandikan.
****
KAMIS (23/1) pagi, kendati Banjarmasin dipeluk mendung dingin, Kelenteng Soetji Nurani tampak sibuk. Puluhan warga Tionghoa datang berbondong-bondong. Larut dalam ritual tahunan bersih-bersih kelenteng.
Ini tradisi sepekan menjelang Imlek, persiapan spiritual bagi umat Tri Dharma untuk menyambut datangnya tahun yang baru.
Pada kalender kali ini, Imlek 2576 atau 2025 Masehi akan jatuh pada Kamis 29 Januari.
Salah satu prosesi inti dari tradisi ini adalah memandikan rupang atau patung para dewa dan leluhur yang menjadi perantara doa.
Air bunga yang dipakai untuk membersihkan merupakan hasil akulturasi dengan budaya lokal.
Ada lebih dari seratus rupang yang dibersihkan. Sebagian besar merupakan rupang titipan.
Warga Tionghoa yang dikenal perantau sering membawa rupang ke mana pun mereka pergi, entah ditaruh di rumah, di kapal, atau tempat usaha.
Ketika usaha mereka berhasil, banyak yang memilih pulang ke kampung halaman dan menitipkan rupang tersebut ke kelenteng untuk dirawat.
Terkadang, rupang juga dititipkan karena adanya perubahan keyakinan dalam keluarga.
Daripada berdebu tidak terawat, rupang-rupang ini akhirnya mendapat “rumah” di kelenteng.
Rupang-rupang ukuran kecil dibersihkan dengan hati-hati, dijejerkan di atas meja panjang. Sementara yang besar, tetap dibersihkan di atas altar.
Setelah dimandikan, rupang-rupang ini dilap hingga kering.
Sembilan rupang besar mendapat perlakuan istimewa. Tak hanya dimandikan, tetapi juga diganti kostumnya.
Wakil Ketua Pengurus Kelenteng Soetji Nurani, Djohan Jawono menjelaskan pembersihan rupang ini bukan hanya tentang kebersihan fisik, tapi juga kebersihan spiritual.
“Harapannya, umat bisa memasuki tahun baru dengan hati yang bersih dan semangat yang segar,” ungkap Djohan, kemarin.
Diterangkannya, pembersihan rupang adalah aksi simbolis, maknanya membersihkan rumah para dewa.
Persembahan berupa makanan manis, seperti permen, turut disiapkan untuk Sang Dewa.
“Harapannya, Dewa tidak melaporkan hal buruk, tetapi membawa kebaikan dan rezeki ketika kembali turun ke bumi,” imbuh Djohan.
Sebagai penutup, kertas sembahyang dibakar setelah prosesi sembahyang selesai. Pembakaran ini bentuk penghormatan sekaligus doa agar keberuntungan selalu menyertai di tahun yang baru.
Salah satu umat Tri Dharma, Susah Theja The berharap kehidupan di tahun mendatang bisa menjadi lebih baik.
“Semoga selalu dijauhkan dari bala bencana,” ujarnya.
Tahun ini adalah tahun ular kayu. Ia melihat, masyarakat harus lebih cerdas. “Mengingat ular adalah hewan licin, maka kita harus lebih cerdas supaya tidak tergelincir,” kata The. (jpg)