26.3 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Bupati Kudus Pernah Dipenjara, Kini Terancam Hukuman Seumur Hidup

Bupati Kudus M. Tamzil
pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang. Begitu
pula Agus Soeranto, staf khususnya. Mereka terlibat korupsi. Atas dasar itulah,
KPK berencana menuntut keduanya dengan hukuman maksimal: penjara seumur hidup.

Kemarin (27/7) KPK
menetapkan Tamzil sebagai tersangka penerima suap pengisian jabatan di Pemkab
Kudus.

Dia dijerat dengan
pasal suap dan gratifikasi. Yakni, pasal 12 huruf a atau b, atau pasal 11, atau
pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor. Sangkaan itu pula yang ditujukan kepada
Agus Soeranto alias Agus Kroto. KPK menerapkan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP terhadap dua tersangka penerima suap itu.

Tamzil dan Agus memang
residivis kasus korupsi. Agus mendekam di Lapas Kedungpane pada 2016. Mantan
kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Jawa Tengah itu
tersandung kasus korupsi penyaluran dana bantuan sosial (bansos) provinsi tahun
anggaran 2011. Kerugian negaranya Rp 1,032 miliar.

Sementara itu, Tamzil
ditahan di lapas yang sama pada 2014. Kala itu bupati yang memiliki harta
kekayaan Rp 912.991.616 di LHKPN KPK tersebut terlibat kasus korupsi perjanjian
kerja sama terkait pengadaan sarana dan prasarana (sarpras) pendidikan senilai
Rp 21,848 miliar. Tamzil divonis penjara 1 tahun 10 bulan dan denda Rp 100 juta
subsider 3 bulan kurungan.

“Kalau sudah
berkali-kali (korupsi), bisa nanti tuntutannya maksimal (seumur hidup, Red),”
kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.

Dia mengatakan, Tamzil
dan Agus pernah bekerja bersama di Pemprov Jateng. Keduanya sempat bertemu di
Lapas Kedungpane. Ketika Tamzil menang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kudus
2018, Agus direkrut sebagai staf khusus. “Saat dilantik, MTZ (M. Tamzil)
mengangkat ATO (Agus Soeranto) sebagai staf khusus,” ungkap Basaria.

Agus Kroto punya peran
sentral dalam perkara suap pengisian jabatan yang ditangani KPK saat ini.
Berawal saat Pemkab Kudus membuka seleksi pejabat eselon II, III, dan IV. Dalam
seleksi itu, ada empat jabatan eselon II. Yakni, kepala dinas pekerjaan umum
dan penataan ruang; kepala dinas kebudayaan dan pariwisata; kepala badan
kepegawaian, pendidikan, dan pelatihan; serta kepala dinas kependudukan dan
pencatatan sipil.

Sejalan dengan seleksi
tersebut, Tamzil meminta Agus mencarikan uang Rp 250 juta untuk membayar utang
pribadi. Agus lantas meminta Uka Wisnu Sejati (UWS), ajudan bupati, untuk
menentukan siapa pejabat yang layak dimintai uang dengan iming-iming promosi
jabatan. Uka Wisnu kemudian menemui Plt Sekretaris Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Akhmad Sofyan. “AHS (Akhmad
Sofyan, Red) pernah menitip pesan, karena UWS adalah ajudan bupati, AHS minta
tolong UWS untuk membantu karirnya dan istrinya,” ungkap Basaria.

Uka Wisnu kemudian
menyampaikan kepada Sofyan bahwa Tamzil sedang butuh uang Rp 250 juta. “Saat
itu AHS tidak sanggup menyediakan Rp 250 juta,” imbuhnya.

Baca Juga :  Ditinggal Keluar Kota, Rumah Hangus Terbakar

Namun, tidak lama
kemudian, Sofyan menghubungi Uka Wisnu via pesan WhatsApp. Keduanya
pun bertemu pada Jumat (26/7) pukul 06.00 di rumah Uka Wisnu. Di sana Sofyan
menyerahkan uang Rp 250 juta yang dibungkus goodie bag biru. “UWS membawa masuk
uang ke rumahnya dan mengambil Rp 25 juta yang dianggap jatahnya,” terang
pensiunan perwira Polri itu.

Sisa uang tersebut
kemudian diserahkan Uka Wisnu kepada Agus Kroto di pendapa Pemkab Kudus. Duit
tersebut lalu dibawa ke ruang kerja bupati. Dari ruangan itu, Agus membawa tas
berisi uang dan menitipkannya kepada Norman, ajudan bupati lainnya. Saat
penyerahan itu, Agus meminta Norman untuk melunasi pembayaran Nissan Terrano
milik Tamzil.

Dari transaksi itulah,
KPK kemudian mengamankan Agus Kroto di rumah dinasnya beserta uang Rp 170 juta
yang diduga bagian dari pemberian Sofyan untuk Tamzil. “Ini (transaksi suap
pengisian jabatan, Red) adalah laporan masyarakat yang kami kembangkan sehingga
terjadi OTT (operasi tangkap tangan, Red),” papar Basaria.

Selain Tamzil dan Agus
Kroto, KPK menetapkan Sofyan sebagai tersangka. Sofyan disangka sebagai pemberi
suap Rp 250 juta. Basaria menegaskan, perkara itu tidak berhenti pada pemberian
uang dari Sofyan. Pihaknya akan menelusuri indikasi pemberian dari
pejabat-pejabat lain yang lolos seleksi jabatan di Kudus.

Demikian pula dengan
pihak-pihak lain yang sempat diamankan. KPK bakal mendalami lagi keterangan
para pihak tersebut dalam proses penyidikan. Selain menelusuri keterlibatan
pihak lain, KPK menelisik seberapa jauh modus suap pengisian jabatan di Pemkab
Kudus. Khususnya tarif yang dipatok bupati untuk jabatan tertentu.

Basaria mengatakan,
perkara suap pengisian jabatan itu mencoreng tujuan reformasi birokrasi. Juga,
menambah panjang daftar kasus korupsi dengan modus serupa. Sebab, KPK telah
beberapa kali membongkar praktik suap pengisian jabatan meski seleksi tersebut
sejatinya dilakukan terbuka dan diawasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Sebelum di Kudus,
tahun ini KPK mengungkap suap pengisian jabatan di lingkungan Kemen­terian
Agama (Kemenag). KPK juga pernah membongkar suap pengisian jabatan di
lingkungan pemerintah daerah (pemda). Selain di Klaten (2016), lembaga antisuah
itu pernah mengungkap praktik serupa di Nganjuk (2017), Cirebon (2018), dan
Jombang (2018). Seluruhnya melibatkan kepala daerah sebagai penerima suap.
“Kasus jual beli jabatan merusak tatanan pemerintahan,” tandas Basaria.

Basaria mengingatkan,
kasus suap yang melibatkan dua eks narapidana (napi) koruptor itu menjadi
pelajaran bagi partai politik dan masyarakat. Ke depan, khususnya pilkada
serentak 2020, semua harus benar-benar menelusuri rekam jejak calon kepala
daerah. “Jangan pernah memberikan kesempatan kepada koruptor untuk dipilih,”
tegasnya.

Sementara itu, kemarin
tiga tersangka langsung ditahan. Tamzil dibawa ke Rutan KPK Kavling 4 (K4),
Agus Kroto di Rutan C 1, dan Sofyan mendekam di Rutan Pomdam Jaya Guntur. Saat
masuk ke mobil tahanan pukul 16.30, Tamzil yang mengenakan peci hitam sempat
menyanggah tuduhan KPK. “Yang jelas, dana (Rp 250 juta) itu tidak ada di saya,”
ujar dia kepada awak media.

Baca Juga :  Warga Menteng Mendapat Pengobatan Gratis dan Penyuluhan Prokes

Bupati Kudus periode
2003-2008 itu juga berdalih tidak memerintah Agus Kroto mencarikan uang Rp 250
juta untuk membayar pelunasan Nissan Terrano sebagaimana disangkakan KPK.
Tamzil merasa dijebak. “Itu (yang minta uang Rp 250 juta, Red) staf khusus
saya. Saya nggak perintah,” tuturnya. Meski demikian, Tamzil tetap akan
mengikuti proses hukum yang berlaku. “Saya ikuti prosedur (hukum) saja,”
imbuhnya.

Wabup Hanya Lingkari
Nama

Wakil Bupati Kudus
Muhammad Hartopo tidak menyangka pasangan kerjanya ditetapkan sebagai tersangka
kasus suap. “Sebelum (Tamzil, Red) jadi tersangka, saya masih berharap
statusnya sebagai saksi. Artinya, saya masih bisa melayani masyarakat bersama
beliau dengan program yang sudah disepakati bersama,” kata dia saat
ditemui Radar Kudus di ruang kerjanya kemarin.

Hingga kemarin sore,
Hartopo mengaku tak nafsu makan karena memikirkan kasus OTT KPK di Kudus
tersebut. Bahkan, ketika datang di empat acara, dia mengaku tak mengambil satu
pun makanan. “Saya sampai nggak doyan makan. Empat kali ke kondangan padahal
hari ini.”

Terkait proses lelang
empat jabatan kepala dinas yang kosong, Hartopo mengaku hanya dilibatkan ketika
masuk tahap seleksi interview. Dalam proses itu, dia sudah menyelesaikan tugas.
Yakni, memberikan masukan melalui penilaian yang diberikan terhadap peserta.
“Saat lelang jabatan kemarin, koordinasinya saya ikut menilai tes interview.
Pak Hartopo mana, dibunderi aja, kata beliau (Tamzil, Red) gitu. Berkas dan
nama yang saya pilih saya serahkan ke Pak Bupati,” kata Hartopo.

Saat itu ada 12 nama
yang dia pilih. Di setiap jabatan diambil tiga terbaik. Meski begitu, keputusan
akhir siapa yang akan menduduki jabatan empat kursi kepala dinas itu menjadi wewenang
Tamzil. “Keputusan dan kebijakan semua ada di tangan Pak Bupati,” katanya. Yang
dia ketahui, proses mutasi jabatan di Pemkab Kudus bersifat objektif. Mulai
tahap assessment sampai interview dijalankan secara ketat.

Dalam waktu dekat,
Hartopo akan menghadap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo terkait penetapan bupati
Kudus sebagai tersangka. “Saya akan minta petunjuk dari gubernur untuk langkah
selanjutnya. Saat ini saya belum ada langkah apa pun,” katanya.

Besok dia mengadakan
rapat koordinasi dengan OPD di lingkungan Pemkab Kudus. Itu dilakukan demi
berjalannya roda pemerintahan. Juga, untuk membahas terkait bantuan hukum. “Itu
(bantuan hukum, Red) perlu saya koordinasikan dulu. Kami belum berani ambil
langkah. Senin kami rapatkan,” imbuhnya.(jpg)

 

Bupati Kudus M. Tamzil
pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang. Begitu
pula Agus Soeranto, staf khususnya. Mereka terlibat korupsi. Atas dasar itulah,
KPK berencana menuntut keduanya dengan hukuman maksimal: penjara seumur hidup.

Kemarin (27/7) KPK
menetapkan Tamzil sebagai tersangka penerima suap pengisian jabatan di Pemkab
Kudus.

Dia dijerat dengan
pasal suap dan gratifikasi. Yakni, pasal 12 huruf a atau b, atau pasal 11, atau
pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor. Sangkaan itu pula yang ditujukan kepada
Agus Soeranto alias Agus Kroto. KPK menerapkan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP terhadap dua tersangka penerima suap itu.

Tamzil dan Agus memang
residivis kasus korupsi. Agus mendekam di Lapas Kedungpane pada 2016. Mantan
kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Jawa Tengah itu
tersandung kasus korupsi penyaluran dana bantuan sosial (bansos) provinsi tahun
anggaran 2011. Kerugian negaranya Rp 1,032 miliar.

Sementara itu, Tamzil
ditahan di lapas yang sama pada 2014. Kala itu bupati yang memiliki harta
kekayaan Rp 912.991.616 di LHKPN KPK tersebut terlibat kasus korupsi perjanjian
kerja sama terkait pengadaan sarana dan prasarana (sarpras) pendidikan senilai
Rp 21,848 miliar. Tamzil divonis penjara 1 tahun 10 bulan dan denda Rp 100 juta
subsider 3 bulan kurungan.

“Kalau sudah
berkali-kali (korupsi), bisa nanti tuntutannya maksimal (seumur hidup, Red),”
kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.

Dia mengatakan, Tamzil
dan Agus pernah bekerja bersama di Pemprov Jateng. Keduanya sempat bertemu di
Lapas Kedungpane. Ketika Tamzil menang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kudus
2018, Agus direkrut sebagai staf khusus. “Saat dilantik, MTZ (M. Tamzil)
mengangkat ATO (Agus Soeranto) sebagai staf khusus,” ungkap Basaria.

Agus Kroto punya peran
sentral dalam perkara suap pengisian jabatan yang ditangani KPK saat ini.
Berawal saat Pemkab Kudus membuka seleksi pejabat eselon II, III, dan IV. Dalam
seleksi itu, ada empat jabatan eselon II. Yakni, kepala dinas pekerjaan umum
dan penataan ruang; kepala dinas kebudayaan dan pariwisata; kepala badan
kepegawaian, pendidikan, dan pelatihan; serta kepala dinas kependudukan dan
pencatatan sipil.

Sejalan dengan seleksi
tersebut, Tamzil meminta Agus mencarikan uang Rp 250 juta untuk membayar utang
pribadi. Agus lantas meminta Uka Wisnu Sejati (UWS), ajudan bupati, untuk
menentukan siapa pejabat yang layak dimintai uang dengan iming-iming promosi
jabatan. Uka Wisnu kemudian menemui Plt Sekretaris Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Akhmad Sofyan. “AHS (Akhmad
Sofyan, Red) pernah menitip pesan, karena UWS adalah ajudan bupati, AHS minta
tolong UWS untuk membantu karirnya dan istrinya,” ungkap Basaria.

Uka Wisnu kemudian
menyampaikan kepada Sofyan bahwa Tamzil sedang butuh uang Rp 250 juta. “Saat
itu AHS tidak sanggup menyediakan Rp 250 juta,” imbuhnya.

Baca Juga :  Ditinggal Keluar Kota, Rumah Hangus Terbakar

Namun, tidak lama
kemudian, Sofyan menghubungi Uka Wisnu via pesan WhatsApp. Keduanya
pun bertemu pada Jumat (26/7) pukul 06.00 di rumah Uka Wisnu. Di sana Sofyan
menyerahkan uang Rp 250 juta yang dibungkus goodie bag biru. “UWS membawa masuk
uang ke rumahnya dan mengambil Rp 25 juta yang dianggap jatahnya,” terang
pensiunan perwira Polri itu.

Sisa uang tersebut
kemudian diserahkan Uka Wisnu kepada Agus Kroto di pendapa Pemkab Kudus. Duit
tersebut lalu dibawa ke ruang kerja bupati. Dari ruangan itu, Agus membawa tas
berisi uang dan menitipkannya kepada Norman, ajudan bupati lainnya. Saat
penyerahan itu, Agus meminta Norman untuk melunasi pembayaran Nissan Terrano
milik Tamzil.

Dari transaksi itulah,
KPK kemudian mengamankan Agus Kroto di rumah dinasnya beserta uang Rp 170 juta
yang diduga bagian dari pemberian Sofyan untuk Tamzil. “Ini (transaksi suap
pengisian jabatan, Red) adalah laporan masyarakat yang kami kembangkan sehingga
terjadi OTT (operasi tangkap tangan, Red),” papar Basaria.

Selain Tamzil dan Agus
Kroto, KPK menetapkan Sofyan sebagai tersangka. Sofyan disangka sebagai pemberi
suap Rp 250 juta. Basaria menegaskan, perkara itu tidak berhenti pada pemberian
uang dari Sofyan. Pihaknya akan menelusuri indikasi pemberian dari
pejabat-pejabat lain yang lolos seleksi jabatan di Kudus.

Demikian pula dengan
pihak-pihak lain yang sempat diamankan. KPK bakal mendalami lagi keterangan
para pihak tersebut dalam proses penyidikan. Selain menelusuri keterlibatan
pihak lain, KPK menelisik seberapa jauh modus suap pengisian jabatan di Pemkab
Kudus. Khususnya tarif yang dipatok bupati untuk jabatan tertentu.

Basaria mengatakan,
perkara suap pengisian jabatan itu mencoreng tujuan reformasi birokrasi. Juga,
menambah panjang daftar kasus korupsi dengan modus serupa. Sebab, KPK telah
beberapa kali membongkar praktik suap pengisian jabatan meski seleksi tersebut
sejatinya dilakukan terbuka dan diawasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Sebelum di Kudus,
tahun ini KPK mengungkap suap pengisian jabatan di lingkungan Kemen­terian
Agama (Kemenag). KPK juga pernah membongkar suap pengisian jabatan di
lingkungan pemerintah daerah (pemda). Selain di Klaten (2016), lembaga antisuah
itu pernah mengungkap praktik serupa di Nganjuk (2017), Cirebon (2018), dan
Jombang (2018). Seluruhnya melibatkan kepala daerah sebagai penerima suap.
“Kasus jual beli jabatan merusak tatanan pemerintahan,” tandas Basaria.

Basaria mengingatkan,
kasus suap yang melibatkan dua eks narapidana (napi) koruptor itu menjadi
pelajaran bagi partai politik dan masyarakat. Ke depan, khususnya pilkada
serentak 2020, semua harus benar-benar menelusuri rekam jejak calon kepala
daerah. “Jangan pernah memberikan kesempatan kepada koruptor untuk dipilih,”
tegasnya.

Sementara itu, kemarin
tiga tersangka langsung ditahan. Tamzil dibawa ke Rutan KPK Kavling 4 (K4),
Agus Kroto di Rutan C 1, dan Sofyan mendekam di Rutan Pomdam Jaya Guntur. Saat
masuk ke mobil tahanan pukul 16.30, Tamzil yang mengenakan peci hitam sempat
menyanggah tuduhan KPK. “Yang jelas, dana (Rp 250 juta) itu tidak ada di saya,”
ujar dia kepada awak media.

Baca Juga :  Warga Menteng Mendapat Pengobatan Gratis dan Penyuluhan Prokes

Bupati Kudus periode
2003-2008 itu juga berdalih tidak memerintah Agus Kroto mencarikan uang Rp 250
juta untuk membayar pelunasan Nissan Terrano sebagaimana disangkakan KPK.
Tamzil merasa dijebak. “Itu (yang minta uang Rp 250 juta, Red) staf khusus
saya. Saya nggak perintah,” tuturnya. Meski demikian, Tamzil tetap akan
mengikuti proses hukum yang berlaku. “Saya ikuti prosedur (hukum) saja,”
imbuhnya.

Wabup Hanya Lingkari
Nama

Wakil Bupati Kudus
Muhammad Hartopo tidak menyangka pasangan kerjanya ditetapkan sebagai tersangka
kasus suap. “Sebelum (Tamzil, Red) jadi tersangka, saya masih berharap
statusnya sebagai saksi. Artinya, saya masih bisa melayani masyarakat bersama
beliau dengan program yang sudah disepakati bersama,” kata dia saat
ditemui Radar Kudus di ruang kerjanya kemarin.

Hingga kemarin sore,
Hartopo mengaku tak nafsu makan karena memikirkan kasus OTT KPK di Kudus
tersebut. Bahkan, ketika datang di empat acara, dia mengaku tak mengambil satu
pun makanan. “Saya sampai nggak doyan makan. Empat kali ke kondangan padahal
hari ini.”

Terkait proses lelang
empat jabatan kepala dinas yang kosong, Hartopo mengaku hanya dilibatkan ketika
masuk tahap seleksi interview. Dalam proses itu, dia sudah menyelesaikan tugas.
Yakni, memberikan masukan melalui penilaian yang diberikan terhadap peserta.
“Saat lelang jabatan kemarin, koordinasinya saya ikut menilai tes interview.
Pak Hartopo mana, dibunderi aja, kata beliau (Tamzil, Red) gitu. Berkas dan
nama yang saya pilih saya serahkan ke Pak Bupati,” kata Hartopo.

Saat itu ada 12 nama
yang dia pilih. Di setiap jabatan diambil tiga terbaik. Meski begitu, keputusan
akhir siapa yang akan menduduki jabatan empat kursi kepala dinas itu menjadi wewenang
Tamzil. “Keputusan dan kebijakan semua ada di tangan Pak Bupati,” katanya. Yang
dia ketahui, proses mutasi jabatan di Pemkab Kudus bersifat objektif. Mulai
tahap assessment sampai interview dijalankan secara ketat.

Dalam waktu dekat,
Hartopo akan menghadap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo terkait penetapan bupati
Kudus sebagai tersangka. “Saya akan minta petunjuk dari gubernur untuk langkah
selanjutnya. Saat ini saya belum ada langkah apa pun,” katanya.

Besok dia mengadakan
rapat koordinasi dengan OPD di lingkungan Pemkab Kudus. Itu dilakukan demi
berjalannya roda pemerintahan. Juga, untuk membahas terkait bantuan hukum. “Itu
(bantuan hukum, Red) perlu saya koordinasikan dulu. Kami belum berani ambil
langkah. Senin kami rapatkan,” imbuhnya.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru