PALANGKA RAYA –
Puluhan warga Kabupaten Barito Timur (Bartim), tepatnya Paju Epat temui Walil
Gubernur Kalteng Habib Ismail bin Yahya. Mereka meminta Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Kalteng dan Pemkab Bartim untuk mengambil alih pengelolaan jalan raya
Industri di Kabupaten Bartim.
Sebab, jalan
tersebut yang sudah puluhan tahun digunakan oleh masyarakat umum, kini diklaim
PT Pertamina sebagai miliknya. Bahkan melalui perusahaan mitranya PT Patra
Jasa, jalan tersebut sudah beberapa kali ditutup. Keadaan Itu dinilai sangat
mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat dan berbagai kegiatan lainnya yang
menggunakan akses tersebut.
“Sejak
tahun 1970 sampai sekarang, tidak pernah ada aktifitas PT Pertamina di jalan
tersebut. Tiba-tiba sekarang mereka mengklaim jalan itu milik mereka dan
membuat sertifikatnya, tanpa sepengetahuan kami sebagai pemilik lahan,”
kata salah seorang perwakilan warga Paju Epat, M Kornelis.
Dia mengatakan,
sertifikat lahan tersebut dibuat oleh PT Pertamina pada tahun 2015-2017 setelah
mendapat rekomendasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kalteng
untuk diproses di BPN Bartim. Kemudian sejak tanggal 23 Juli 2019, PT Pertamina
melalui PT Patra Jasa mengklaim jalan tersebut dengan 17 lembar sertifikat
lahan seluas 78 hektar.
“Padahal
sudah puluhan tahun sebelumnya jalan tersebut menjadi akses masyarakat umum.
Kemudian, sejak tahun 2010 jalan itu dirawat oleh sebuah perusahaan
pertambangan dan masyarakat sekitar,” ucapnya.
Dijelaskannya,
berbekal sertifikat itu, PT Pertamina melalui PT Patra Jasa menutup jalan
tersebut untuk umum. Penutupan itu sudah beberapa kali dilakukan, dan tentu
saja sangat mengganggu aktifitas perekonomian masyatakat.
“Akibat
penutupan jalan itu, menyebabkan ekonomi masyarakat di sekitarnya lumpuh.
Karena jalan itulah satu-satunya akses masyarakat. Bahkan sebanyak 14
perusahaan tambang yang semula menggunakan jalan itu, kini hanya timggal satu
perusahaan saja yang masih aktif,” tegasnya.
Sementara itu,
Wagub Kalteng Habib Said Ismail mengatakan, pihaknya akan berupaya mengambil
kebijakan untuk kepentingan bersama. Sebab, pada lahan yang dibuat sertifikat
oleh Pertamina, ternyata ada sertifikat kepemilikan pijak lainnya (tumpang
tindih).
“Untuk
meneliti keabsahan sertifikat tersebut, kita serahkan ke lembaga penegak hukum.
Kami juga akan berupaya menyelesaikan persoalan ini, sehingga tidak terjadi
konflik di masyarakat,” pungkasnya. (arj)