31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

PT Pilar Wanapersada Diduga Serobot Hutan Produksi

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Konflik antara Kelompok Tani Hutan
Bukit Raya dengan PT Pilar Wanapersada (PT PW) di Kabupaten Lamandau, sejauh
ini belum mereda. Persoalannya adalah terkait pohon sawit yang ditanam oleh
perusahaan diduga menyerobot sebagian hutan produksi yang sudah dimandatkan
oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada
Kelompok Tani Hutan Bukit Raya untuk dikelola.

Ketua Kelompok Tani Hutan Bukit
Raya, Yuhani menuturkan, konflik berawal dari adanya kawasan Hak Guna Usaha
(HGU) nomor 01 yang terletak di Desa Tapin Bini, Kabupaten Lamandau 8 Januari
1999 seluas  15.153 hektare atas nama
perusahaan berinisial PT PW.

Berdasarkan SK Menhut Nomor SK.
529/Menhut-II/2012, 25 September 2012 mengenai Perubahan Kawasn Hutan Tata Guna
Hak Kesepakatan (TGKHL), dan peta administrasi Kabupaten Lamandau, diketahui
bahwa sebahagian areal HGU PT PW masuk dalam areal hutan produksi.

Seharusnya sejak ditetapkannya SK
Menhut Nomor SK. 529/Menhut-II/2012 25 September 2012, PT PW melaksanakan
enclave dengan mengeluarkan sebagian wilayah yang ditetapkan sebagai hutan
produksi mentaati aturan Menteri Kehutanan tersebut.

“Tetapi hal tersebut tidak
dilaksanakan sampai saat ini. Yang jadi pertanyaan, apakah itu bentuk
pelanggaran, jawabnya ya! Itu adalah pelanggaran, artinya PT PW dengan segala
dalihnya yang berupa pembenaran dan bukan kebenaran. Tetap melaksanakan
kegiatan usaha di wilayah hutan produksi,” ujarnya dalam rilis yang diterima
Kalteng Pos, Minggu (8/11).

Berdasarkan keputusan Menteri LHK
Nomor SK.6891/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017 tentang Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat, kepada Kelompok Tani
Hutan Bukit Raya seluas 1.979 hektare pada kawasan hutan produksi tetap di Desa
Bakonsu dan Desa Suja. Yang mana objek lokasi HTR tersebut berada di dalam HGU
PT PW.

Baca Juga :  DJP Serahkan Dua Pengemplang Pajak Miliaran Rupiah di Sampit

SK Menteri bukan perihal yang
sembarangan dikeluarkan dengan tanpa pertimbangan baik dari sisi legal
standing. Pertimbangan teknis yang sangat-sangat ketat. Verifikasi Lapangan
langsung, sehingga menjadi produk hukum yang memiliki kekuatan hukum yang
tetap. Pada awal tahun 2018 pihak Kelompok Tani Hutan Bukit Raya sudah
melaksanakan pemberitahuan kepada PT PW bahwa sebagian kebun sawitnya masuk ke
dalam areal peta yang ditetapkan berdasakan SK tersebut.

Pada tahun 2019, pihaknya
melaporkan hal tersebut kepada Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan Wilayah Kalimantan (PSKL), melalui Kepala Kesatuan Hutan Produksi
Sukamara Lamandau (KPHP), tetapi sampai saat ini tidak diindahkan atau tidak dilaksanakan
upaya perlindungan.

Pada tahun 2019 dalam rangka
menyusun rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan melalui pendamping KPHP,
diketahui bahwa terdapat 295,16 hektare areal kerja telah berupa perkebunan
sawit yang ditanami oleh PT PW.

“Dengan segala keterbatasan, kami
berupaya melindungi areal dari penyerobotan oleh pihak lain. Areal hutan
produksi yang seharusnya dari tahun 2012 dilakukan enclave/ diserahkan pada
tahun 2017 sejak tanggal ditetapkan SK Menteri KLHK oleh PT PW, buktinya sejauh
ini masih dikuasai mereka,”beber Yuhani.

Sementara, Kuasa Hukum dari
Kantor Hukum dan Advocat Hemas Parama, Arsan menambahkan, pihaknya menyurati
Menteri LHK dan diTembuskan ke instansi di bawahnya. Memohon perlindungan hukum
bagi Kelompok Tani Hutan Bukit Raya.

Kelompok Tani Hutan Bukit Raya
tidak dapat melaksanakan haknya yaitu melakukan usaha pemungutan dan
pemanfaatan hasil hutan, dan usaha pemanfaatan kawasan di dalam areal
IUPHHK-HTR berdasarkan SK.6891/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017. Pihak PT PW telah
menimbulkan kerugian terhadap Kelompok Tani Hutan Bukit Raya selaku pemegang
IUPHHK-HTR di kawasan tersebut.

Baca Juga :  Waspada ! Peredaran Narkoba Semakin Mengkhawatirkan

Informasinya, lahan tersebut akan
dilepaskan oleh PT PW kepada kepala desa setempat berikut pengelolaan sawitnya.
Atas rencana itu, pihaknya keberatan karena pelepasan tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum yang berpotensi dapat
menimbulkan kerugian bagi Kelompok Tani Hutan Bukit Raya sebagai pemegang
IUPHHK-HTR maupun kerugian keuangan negara.

Berdasarkan peraturan Menteri LHK
tentang Tata Cara Pelepasan Hutan Produksi yang Dapat di Konversi, khususnya
dalam Pasal 2 Ayat 2 huruf B, intinya menyatakan bahwa pelepasan kawasan HPK
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan
pada kawasan HPK yang tidak dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin
pemanfaatan hutan dan atau perizinan lainnya dari menteri.

Begitu juga dalam Pasal 2 ayat 1
dan 2 huruf a peraturan Menteri LHK Nomor P.97/MENLHK/SETJEN/KUM.l/11/2018
tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa tukar
menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada HP dan atau HPT yang tidak
dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan dan atau
perizinan lainnya dari menteri.

“Dilarang melakukan enclave atau
tukar menukar hutan produksi yang sudah terdapat izin IUPHHK-HTR, jika
dilakasanakan maka masuk kategori perbuatan melawan hukum, yang tentunya ada
sanksi hukumnya baik pidana maupun perdata. Demi hukum dan demi keadilan mohon
perhatian Menteri LHK untuk tidak memberikan persetujuan kepada pihak-pihak
yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan atau tukar menukar kawasan
hutan pada kawasan hutan yang sudah dibebani IUPHHK-HTR atas nama Kelompok Tani
Hutan Bukit Raya,” ungkapnya.

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Konflik antara Kelompok Tani Hutan
Bukit Raya dengan PT Pilar Wanapersada (PT PW) di Kabupaten Lamandau, sejauh
ini belum mereda. Persoalannya adalah terkait pohon sawit yang ditanam oleh
perusahaan diduga menyerobot sebagian hutan produksi yang sudah dimandatkan
oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada
Kelompok Tani Hutan Bukit Raya untuk dikelola.

Ketua Kelompok Tani Hutan Bukit
Raya, Yuhani menuturkan, konflik berawal dari adanya kawasan Hak Guna Usaha
(HGU) nomor 01 yang terletak di Desa Tapin Bini, Kabupaten Lamandau 8 Januari
1999 seluas  15.153 hektare atas nama
perusahaan berinisial PT PW.

Berdasarkan SK Menhut Nomor SK.
529/Menhut-II/2012, 25 September 2012 mengenai Perubahan Kawasn Hutan Tata Guna
Hak Kesepakatan (TGKHL), dan peta administrasi Kabupaten Lamandau, diketahui
bahwa sebahagian areal HGU PT PW masuk dalam areal hutan produksi.

Seharusnya sejak ditetapkannya SK
Menhut Nomor SK. 529/Menhut-II/2012 25 September 2012, PT PW melaksanakan
enclave dengan mengeluarkan sebagian wilayah yang ditetapkan sebagai hutan
produksi mentaati aturan Menteri Kehutanan tersebut.

“Tetapi hal tersebut tidak
dilaksanakan sampai saat ini. Yang jadi pertanyaan, apakah itu bentuk
pelanggaran, jawabnya ya! Itu adalah pelanggaran, artinya PT PW dengan segala
dalihnya yang berupa pembenaran dan bukan kebenaran. Tetap melaksanakan
kegiatan usaha di wilayah hutan produksi,” ujarnya dalam rilis yang diterima
Kalteng Pos, Minggu (8/11).

Berdasarkan keputusan Menteri LHK
Nomor SK.6891/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017 tentang Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat, kepada Kelompok Tani
Hutan Bukit Raya seluas 1.979 hektare pada kawasan hutan produksi tetap di Desa
Bakonsu dan Desa Suja. Yang mana objek lokasi HTR tersebut berada di dalam HGU
PT PW.

Baca Juga :  DJP Serahkan Dua Pengemplang Pajak Miliaran Rupiah di Sampit

SK Menteri bukan perihal yang
sembarangan dikeluarkan dengan tanpa pertimbangan baik dari sisi legal
standing. Pertimbangan teknis yang sangat-sangat ketat. Verifikasi Lapangan
langsung, sehingga menjadi produk hukum yang memiliki kekuatan hukum yang
tetap. Pada awal tahun 2018 pihak Kelompok Tani Hutan Bukit Raya sudah
melaksanakan pemberitahuan kepada PT PW bahwa sebagian kebun sawitnya masuk ke
dalam areal peta yang ditetapkan berdasakan SK tersebut.

Pada tahun 2019, pihaknya
melaporkan hal tersebut kepada Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan Wilayah Kalimantan (PSKL), melalui Kepala Kesatuan Hutan Produksi
Sukamara Lamandau (KPHP), tetapi sampai saat ini tidak diindahkan atau tidak dilaksanakan
upaya perlindungan.

Pada tahun 2019 dalam rangka
menyusun rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan melalui pendamping KPHP,
diketahui bahwa terdapat 295,16 hektare areal kerja telah berupa perkebunan
sawit yang ditanami oleh PT PW.

“Dengan segala keterbatasan, kami
berupaya melindungi areal dari penyerobotan oleh pihak lain. Areal hutan
produksi yang seharusnya dari tahun 2012 dilakukan enclave/ diserahkan pada
tahun 2017 sejak tanggal ditetapkan SK Menteri KLHK oleh PT PW, buktinya sejauh
ini masih dikuasai mereka,”beber Yuhani.

Sementara, Kuasa Hukum dari
Kantor Hukum dan Advocat Hemas Parama, Arsan menambahkan, pihaknya menyurati
Menteri LHK dan diTembuskan ke instansi di bawahnya. Memohon perlindungan hukum
bagi Kelompok Tani Hutan Bukit Raya.

Kelompok Tani Hutan Bukit Raya
tidak dapat melaksanakan haknya yaitu melakukan usaha pemungutan dan
pemanfaatan hasil hutan, dan usaha pemanfaatan kawasan di dalam areal
IUPHHK-HTR berdasarkan SK.6891/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017. Pihak PT PW telah
menimbulkan kerugian terhadap Kelompok Tani Hutan Bukit Raya selaku pemegang
IUPHHK-HTR di kawasan tersebut.

Baca Juga :  Waspada ! Peredaran Narkoba Semakin Mengkhawatirkan

Informasinya, lahan tersebut akan
dilepaskan oleh PT PW kepada kepala desa setempat berikut pengelolaan sawitnya.
Atas rencana itu, pihaknya keberatan karena pelepasan tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum yang berpotensi dapat
menimbulkan kerugian bagi Kelompok Tani Hutan Bukit Raya sebagai pemegang
IUPHHK-HTR maupun kerugian keuangan negara.

Berdasarkan peraturan Menteri LHK
tentang Tata Cara Pelepasan Hutan Produksi yang Dapat di Konversi, khususnya
dalam Pasal 2 Ayat 2 huruf B, intinya menyatakan bahwa pelepasan kawasan HPK
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan
pada kawasan HPK yang tidak dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin
pemanfaatan hutan dan atau perizinan lainnya dari menteri.

Begitu juga dalam Pasal 2 ayat 1
dan 2 huruf a peraturan Menteri LHK Nomor P.97/MENLHK/SETJEN/KUM.l/11/2018
tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa tukar
menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada HP dan atau HPT yang tidak
dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan dan atau
perizinan lainnya dari menteri.

“Dilarang melakukan enclave atau
tukar menukar hutan produksi yang sudah terdapat izin IUPHHK-HTR, jika
dilakasanakan maka masuk kategori perbuatan melawan hukum, yang tentunya ada
sanksi hukumnya baik pidana maupun perdata. Demi hukum dan demi keadilan mohon
perhatian Menteri LHK untuk tidak memberikan persetujuan kepada pihak-pihak
yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan atau tukar menukar kawasan
hutan pada kawasan hutan yang sudah dibebani IUPHHK-HTR atas nama Kelompok Tani
Hutan Bukit Raya,” ungkapnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru