PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Inflasi yang kian menekan daya beli masyarakat menjadi tantangan serius bagi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Kenaikan harga bahan pokok, terutama beras, cabai, dan sayuran, semakin membebani warga.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah dan masyarakat Kalteng mengedepankan inovasi dan kolaborasi dalam mencapai swasembada pangan.
Langkah ini bukan hanya untuk menstabilkan harga, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan daerah secara berkelanjutan.
Salah satu faktor utama pemicu inflasi pangan di Kalteng adalah ketergantungan pada pasokan dari luar daerah.
Setiap lonjakan biaya distribusi, terutama akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), berdampak langsung pada harga pangan di pasaran.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kalteng, Yuliansah Andrias, menegaskan bahwa Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terus berupaya menekan lonjakan harga dengan berbagai langkah strategis.
Di antaranya, inspeksi pasar tradisional dan modern, penyelenggaraan pasar murah, serta memperkuat Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
Program ini mencakup pengembangan beras varietas IR42 dan pemanfaatan digital farming untuk meningkatkan produksi pangan lokal.
“Kami terus memperkuat kerja sama antar daerah guna memastikan distribusi pangan berjalan lancar. Dengan begitu, volatilitas harga bisa ditekan,” ujar Yuliansah di Palangka Raya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa ketidakpastian global masih berpotensi memicu kenaikan harga energi yang berdampak pada biaya distribusi pangan.
Oleh karena itu, perlu langkah antisipatif agar gejolak harga tidak semakin membebani masyarakat.
Kalteng memiliki peluang besar untuk mencapai swasembada pangan dengan luas lahan pertanian yang tersedia.
Dari target nasional cetak sawah seluas 2,2 juta hektare, provinsi ini menyumbang 930.640 hektare, menjadikannya salah satu daerah dengan potensi terbesar di Indonesia.
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, Andy Nur Alam Syah, menekankan bahwa momentum ini harus dimanfaatkan secara optimal.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp5,5 triliun untuk program cetak sawah di Kalteng.
“Masih ada sekitar 200-300 ribu hektare lahan rawa yang belum dimanfaatkan. Dana Optimalisasi Lahan Rawa (OPLAH) bisa mempercepat langkah menuju swasembada pangan,” jelasnya.
Berbagai bantuan juga disalurkan untuk mendukung petani, seperti subsidi pupuk guna meningkatkan produktivitas, Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai modal kerja, serta pembangunan infrastruktur irigasi untuk memperkuat pertanian berkelanjutan.
Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran, menegaskan bahwa daerahnya siap berkolaborasi dengan pemerintah pusat guna memastikan keberhasilan program ini.
Ia menekankan pentingnya mengambil peran dalam kedaulatan pangan nasional, terutama di tengah situasi global yang tidak menentu.
“Peluang ini tidak boleh diambil oleh provinsi lain. Kita harus bergerak cepat dan memastikan ketahanan pangan di Kalteng terjaga,” tegasnya.
Lebih dari sekadar memperluas lahan pertanian, Sugianto juga mendorong keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian modern.
Dengan pemanfaatan teknologi digital farming, pertanian bisa menjadi lebih efisien dan menarik bagi kaum milenial.
“Kita harus memiliki tekad dan inovasi dalam membangun kemandirian pangan. Swasembada bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan daerah sendiri, tetapi juga menjaga stabilitas harga agar masyarakat tidak terbebani inflasi,” tambahnya.
Langkah menuju swasembada pangan di Kalteng bukan hanya solusi jangka pendek untuk menekan inflasi, tetapi juga strategi jangka panjang dalam membangun kemandirian ekonomi.
Jika semua program berjalan optimal, bukan tidak mungkin Kalteng bisa menjadi penyuplai pangan bagi daerah lain. Dengan begitu, harga lebih stabil, kesejahteraan petani meningkat, dan inflasi bisa dikendalikan.
Mampukah Kalteng benar-benar keluar dari jerat inflasi melalui swasembada dan inovasi? Waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti—langkah besar telah dimulai dan tidak boleh berhenti. (nko)