PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Wali Kota Palangka Raya, Fairid Naparin. Melalui Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Palangka Raya, Arbert Tombak. Membuka Sosialisasi dan Pendampingan Pendaftaran Peacemaker Justice Award 2025, di Ruang Peteng Karuhei II, Kantor Wali Kota Palangka Raya, pada Kamis (13/3/2025).
Acara ini diinisiasi oleh Kanwil Kementrian Hukum RI untuk Kalimantan Tengah. Dengan tujuan mendorong penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat melalui pendekatan perdamaian.
Arbert menekankan pentingnya peran aparatur kelurahan dalam menyelesaikan sengketa pidana maupun sosial tanpa harus melalui jalur hukum formal.
“Jadi penekanan dari kegiatan ini pada intinya mensosialisasi untuk justice kolaborator. Jadi penyelesaian sengketa, masalah pidana di tingkat masyarakat atau di tingkat kelurahan itu melalui perdamaian, tidak melalui proses hukum,” ujarnya saat diwawancarai selepas membuka sosialisasi tersebut, Kamis (13/3).
Ia juga menekankan, aparatur kelurahan diharapkan dapat berperan sebagai “hakim tanpa palu”, yaitu sosok yang bisa membantu menyelesaikan konflik di tengah masyarakat tanpa harus melalui proses pengadilan.
“Jadi berperan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa permasalahan di tingkat kelurahan yang bisa diputuskan oleh lurah atau aparatur kelurahan yang nanti dibuatkan dalam bentuk berita acara. Jadi hakim tanpa palu,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Divisi Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum Kanwil Kementrian Hukum Kalteng, Muhamad Mufid. Menyampaikan bahwa program ini akan diikuti dengan pelatihan bagi aparatur kelurahan.
Setelah pelatihan, mereka akan mendapatkan kewenangan dalam menyelesaikan perkara ringan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, peran ini tidak hanya terbatas pada lurah atau camat, tetapi seluruh aparatur kelurahan bisa ikut serta dalam menciptakan keadilan di lingkungannya.
Arbert menegaskan bahwa peran ini bukan merupakan tugas tambahan bagi aparatur kelurahan, melainkan bagian dari tugas mereka dalam membina masyarakat.
“Dulu, tugas seperti ini dikenal sebagai tugas kepamongan di desa. Sekarang, istilahnya mungkin berbeda, tetapi maknanya tetap sama, yaitu lurah harus mampu membina dan menjaga ketertiban di wilayahnya,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa program ini tidak hanya berfokus pada penyelesaian sengketa tanah, tetapi juga mencakup berbagai permasalahan sosial lainnya.
“Baik itu sengketa tanah, perkelahian antarwarga, atau permasalahan sosial lainnya, kita harapkan bisa diselesaikan melalui forum ini,” tambahnya.
Dalam pelaksanaannya, aparatur kelurahan yang telah mengikuti pelatihan akan diberikan sertifikat sebagai bentuk pengakuan atas peran mereka dalam penyelesaian sengketa.
“Mereka bukan pengambil keputusan yang mengikat secara hukum, tetapi lebih mengedepankan pendekatan perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa,” jelasnya.
Sementara itu, ketika ditanya mengenai jenis sengketa yang paling sering terjadi di Palangka Raya, Arbert mengungkapkan bahwa sengketa lahan masih menjadi permasalahan utama.
“Di mana-mana, permasalahan sosial pasti ada. Namun, di Palangka Raya, sengketa yang paling sering terjadi adalah terkait lahan atau tumpang tindih kepemilikan tanah,” ungkapnya.
Arbert berharap dengan adanya program ini, jumlah kasus sengketa yang berujung ke pengadilan dapat berkurang.
“Sebenarnya, penyelesaian sengketa melalui perdamaian ini sudah berjalan, tetapi belum diberi label resmi. Harapannya, dengan program ini, peran aparatur kelurahan dalam menyelesaikan konflik semakin diperkuat dan masyarakat mendapatkan solusi yang lebih cepat serta adil,” pungkasnya. (ndo)