Site icon Prokalteng

Pakar Kebijakan Publik Menilai Ada Dampak Positif dan Negatif dari Program Makan Bergizi Gratis

Dwi Anggara. (FOTO: IST)

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO – Program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai diluncurkan di sejumlah wilayah. Salah satu program unggulan pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang.

Program ini ditargetkan khususnya untuk anak-anak sekolah dan diharapkan membawa dampak positif yang luas. Dibalik program itu, salah seorang pakar kebijakan publik dari Politeknik Lamandau, Dwi Anggara menilai ada beberapa dampak positif maupun dampak negatif dibalik peluncuran program tersebut secara nasional.

Salah satu dampak positif, sebut dia, program itu memastikan anak-anak menerima asupan gizi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan fisik dan mental mereka. Gizi yang baik menjadi fondasi utama bagi perkembangan anak. Dengan mendapat asupan makanan bergizi, berdampak pada kemampuan konsentrasi yang lebih baik dan performa akademik yang meningkat.

“Dengan asupan makanan sehat, risiko kekurangan gizi dan penyakit terkait makanan berkurang secara signifikan. Hal ini membantu anak-anak tetap sehat dan produktif,” ungkap Dwi saat dibincangi, Kamis (9/1).

Selain itu, kata Dwi, melalui program makan di sekolah juga berperan sebagai safety net atau jaring pengaman yang dapat melindungi anak-anak dari kelaparan, terutama di keluarga yang kurang mampu. Tidak hanya itu, program ini juga dapat menjadi insentif bagi orang tua untuk menyekolahkan anak mereka, terutama di daerah yang tingkat partisipasi sekolahnya masih rendah.

“Dengan adanya makan siang di sekolah, orang tua dapat mengalokasikan dana untuk kebutuhan penting lainnya di rumah,” bebernya.

Dampak positif lain, lanjut dia. Dengan penyediaan makanan bergizi yang terstruktur, program ini membantu menciptakan rantai pasokan pangan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Sehingga, distribusi makanan untuk anak sekolah juga memberikan efek domino pada perekonomian, mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga penguatan pasar lokal.

“Jika sumber makanan berasal dari komunitas sekitar, program ini dapat mendukung ekonomi lokal melalui konsep home-grown school feeding, yang berarti bahan makanan diproduksi oleh petani lokal,” ujarnya.

 

Namun, Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu juga mengungkapkan sejumlah dampak negatif dari program MBG tersebut. Diantaranya, terkait dengan anggaran yang besar, ketergantungan bagi penerima, kualitas makanan, dan efek psikologis.

“Program yang berlangsung lama bisa menyebabkan ketergantungan, dimana penerima bantuan mungkin merasa tidak perlu mencari solusi jangka panjang untuk permasalahan ekonomi mereka,” katanya.

Selain itu, kata Dwi, program ini memerlukan dana yang besar, yang bisa menambah beban anggaran negara dan mungkin mempengaruhi alokasi dana untuk program lainnya. Terkadang, makanan yang disediakan dalam program ini tidak selalu memenuhi standar nutrisi yang baik, terutama jika anggaran terbatas.

“Terakhir dampak psikologis. Penerima mungkin merasa terstigma atau dipandang berbeda karena menerima bantuan, yang dapat mempengaruhi harga diri mereka,” terangnya.

Meski demikian, imbuh dia, secara keseluruhan, dampak program makan bergizi gratis ini tergantung pada desain dan pelaksanaannya, serta seberapa baik program tersebut dikelola untuk meminimalkan dampak negatif sambil memaksimalkan manfaat bagi masyarakat. (Bib)

Exit mobile version