30.9 C
Jakarta
Tuesday, July 1, 2025

Partisipasi Aktif Semua Pihak, Kunci Agar Sampit Tidak Dikenal Sebagai “Kota Sampah”

SAMPIT, PROKALTENG.CO – Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Halikinnor. Menegaskan pentingnya integrasi antara hukum adat dan peraturan daerah (perda), dalam menanggulangi persoalan sampah yang kian mengganggu estetika dan kesehatan lingkungan.

Menurutnya, upaya kolaboratif ini dapat membangun budaya malu dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan.

“Kalau perda dan hukum adat bisa dikombinasikan, akan muncul rasa malu ketika seseorang membuang sampah sembarangan. Ini bukan hanya soal aturan, tapi soal karakter dan budaya,” ucap Halikinnor di Sampit, Minggu (30/6).

Ia mencontohkan, penerapan hukum adat dalam pengelolaan sampah sebenarnya sudah mulai diterapkan di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang. Namun, efektivitasnya masih terbatas karena sebagian masyarakat tetap membuang sampah sembarangan, terutama di ruas-ruas jalan yang minim pengawasan seperti Jalan Pelita Barat dan Jalan Dewi Sartika.

Baca Juga :  Bupati Kunjungi Pulau Hanibung, Halikinnor : Sangat Menjanjikan Dijadikan Destinasi Wisata Satwa

“Pendekatan hukum adat memberikan sentuhan nilai lokal dan norma sosial yang sudah mengakar, sementara perda memberikan legitimasi hukum yang lebih kuat. Kombinasi ini bisa menjadi solusi konkret,” tegasnya.

Namun lebih dari sekadar memberi sanksi, Halikinnor menekankan bahwa pendekatan ini bertujuan membangun kesadaran kolektif bahwa sampah adalah tanggung jawab bersama.

“Fokus kita bukan menghukum, tapi menumbuhkan kesadaran. Sampah bukan urusan pemerintah saja. Setiap individu wajib bertanggung jawab atas sampahnya sendiri,” tambahnya.

Data mencatat, Kota Sampit menghasilkan sekitar 80 hingga 100 ton sampah setiap harinya. Sayangnya, armada pengangkut sampah yang terbatas membuat tidak semua kawasan bisa terlayani secara optimal.

“Tidak mungkin setiap sudut kota dijangkau. Karena itu masyarakat harus berperan, bisa dengan membuang sampah ke depo resmi atau menggunakan jasa pengangkut swasta yang biasa keliling ke permukiman,” jelasnya.

Baca Juga :  Hasil Musrenbang Akan Dipadukan di RKPD Provinsi dan Nasional

Ia juga menyinggung pentingnya peran dunia usaha dan sektor swasta dalam menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Menurutnya, partisipasi aktif semua pihak adalah kunci agar Sampit tidak dikenal sebagai ‘kota sampah’.

“Kita tentu tidak ingin label negatif itu melekat. Apalagi sebagai umat beragama, khususnya Islam, kebersihan itu bagian dari keimanan. Menjaga lingkungan adalah wujud dari iman itu sendiri,” tutupnya.(bah/kpg).

SAMPIT, PROKALTENG.CO – Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Halikinnor. Menegaskan pentingnya integrasi antara hukum adat dan peraturan daerah (perda), dalam menanggulangi persoalan sampah yang kian mengganggu estetika dan kesehatan lingkungan.

Menurutnya, upaya kolaboratif ini dapat membangun budaya malu dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan.

“Kalau perda dan hukum adat bisa dikombinasikan, akan muncul rasa malu ketika seseorang membuang sampah sembarangan. Ini bukan hanya soal aturan, tapi soal karakter dan budaya,” ucap Halikinnor di Sampit, Minggu (30/6).

Ia mencontohkan, penerapan hukum adat dalam pengelolaan sampah sebenarnya sudah mulai diterapkan di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang. Namun, efektivitasnya masih terbatas karena sebagian masyarakat tetap membuang sampah sembarangan, terutama di ruas-ruas jalan yang minim pengawasan seperti Jalan Pelita Barat dan Jalan Dewi Sartika.

Baca Juga :  Bupati Kunjungi Pulau Hanibung, Halikinnor : Sangat Menjanjikan Dijadikan Destinasi Wisata Satwa

“Pendekatan hukum adat memberikan sentuhan nilai lokal dan norma sosial yang sudah mengakar, sementara perda memberikan legitimasi hukum yang lebih kuat. Kombinasi ini bisa menjadi solusi konkret,” tegasnya.

Namun lebih dari sekadar memberi sanksi, Halikinnor menekankan bahwa pendekatan ini bertujuan membangun kesadaran kolektif bahwa sampah adalah tanggung jawab bersama.

“Fokus kita bukan menghukum, tapi menumbuhkan kesadaran. Sampah bukan urusan pemerintah saja. Setiap individu wajib bertanggung jawab atas sampahnya sendiri,” tambahnya.

Data mencatat, Kota Sampit menghasilkan sekitar 80 hingga 100 ton sampah setiap harinya. Sayangnya, armada pengangkut sampah yang terbatas membuat tidak semua kawasan bisa terlayani secara optimal.

“Tidak mungkin setiap sudut kota dijangkau. Karena itu masyarakat harus berperan, bisa dengan membuang sampah ke depo resmi atau menggunakan jasa pengangkut swasta yang biasa keliling ke permukiman,” jelasnya.

Baca Juga :  Hasil Musrenbang Akan Dipadukan di RKPD Provinsi dan Nasional

Ia juga menyinggung pentingnya peran dunia usaha dan sektor swasta dalam menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Menurutnya, partisipasi aktif semua pihak adalah kunci agar Sampit tidak dikenal sebagai ‘kota sampah’.

“Kita tentu tidak ingin label negatif itu melekat. Apalagi sebagai umat beragama, khususnya Islam, kebersihan itu bagian dari keimanan. Menjaga lingkungan adalah wujud dari iman itu sendiri,” tutupnya.(bah/kpg).

Terpopuler

Artikel Terbaru