PEMERINTAH Indonesia sedang mendapat sorotan
terkait kebijakan impor 1 juta ton beras. Kebijakan ini menuai polemik,
utamanya karena muncul setelah Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya
menjauhi produk asing demi menyukseskan pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam pernyataannya (Jawa Pos, 22/3), mantan
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menekankan besarnya risiko dalam
mengelola beras di Indonesia. Narasi terkait beras berpeluang memperburuk citra
pemerintah jika tak dikelola dengan baik. Kekhawatiran ini tentu sangat
beralasan. Sebab, beras telanjur menjadi sumber pangan paling utama bagi rakyat
Indonesia.
Swasembada beras menjadi tolok ukur capaian dan
janji politik. Di masyarakat, tertancap adagium, kalau belum makan nasi, belum
makan. Prevalensi beras dalam hidup orang Indonesia, secara politik maupun
sosial, menjadikannya bagian penting dari kepentingan umum (general interest).
Konsekuensinya, reformasi terhadap kebijakan terkait beras, misalnya kenaikan
harga ataupun importasi, hampir pasti menimbulkan perdebatan dan kegaduhan
publik (Patashnik, 2003).
Beberapa tokoh, pimpinan daerah, dan politikus
dari partai penguasa maupun oposisi sama-sama mengkritik rencana ini. Berbagai
argumen muncul. Misalnya, impor beras menyengsarakan rakyat kecil dan petani.
Yang paling kencang, kebijakan itu mengingkari imbauan Presiden Jokowi tentang
cinta produk dalam negeri dan benci produk asing.
Selain argumen-argumen tersebut, boleh jadi
perdebatan terkait rencana kebijakan impor beras ini politis dan ahistoris
semata. Sebab, jauh sebelum isu importasi beras ini, kegaduhan serupa yang
lebih berbobot pernah terjadi. Misalnya, soal penghitungan produksi beras.
Produksi beras yang awalnya dikira mencapai 70 juta ton pada 2018, ternyata
jumlahnya sekitar 30 juta ton, berkat digunakannya metode penghitungan yang
lebih reliabel, yakni kerangka sampel area (KSA).
Selain itu, di masa reformasi ini, sebenarnya
tak ada era pemerintahan yang tak impor beras. Jumlah impor tertinggi terjadi
pada 2011, mencapai 2,8 juta ton. Selain untuk alasan cadangan, importasi beras
ini adalah konsekuensi perjanjian perdagangan RI dengan negara lain. Melihat
kenyataan-kenyataan tersebut, seharusnya kegaduhan impor beras kali ini tak
perlu terjadi.
Meski demikian, isu beras ini baik untuk
menjadi pemantik momentum perenungan bersama, mengapa kita begitu bergantung
pada beras. Sesempit itukah pilihan pangan kita hanya pada beras? Sehingga
ketika harganya berfluktuasi dan ada rencana reformasi kebijakan terhadapnya,
kita bereaksi sedemikian gaduh.
Padahal, konsumsi beras kita telah berlebihan
dan dapat berakibat buruk pada pembangunan SDM Indonesia. Upaya menciptakan SDM
berkualitas ini jelas tak bisa mengandalkan konsumsi beras. Keseimbangan dan
kecukupan asupan gizilah yang jauh lebih mendesak (Khomsan, 2016).
Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa
asupan gizi yang seimbang dengan penekanan pada pangan hewani sangat diperlukan
untuk mendorong perbaikan kesehatan masyarakat. Seperti pertumbuhan bebas
risiko stunting dalam membangun SDM berkualitas (Fahmida dkk, 2015). Karena
itu, fokus perhatian para tokoh dan masyarakat seharusnya bukan pada isu beras,
melainkan pada pemenuhan gizi seimbang.
Sejak 2003, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyatakan bahwa pemenuhan gizi perlu memperhatikan potensi penggunaan makanan
yang tersedia secara lokal. Studi Southeast Asian Ministers of Education
Organization Regional Center for Food and Nutrition pada 2015 menunjukkan bahwa
pangan lokal, yakni sumber pangan yang tersedia secara lokal –bukan makanan
khas daerah, dapat meningkatkan asupan zat gizi masyarakat.
Sebagai negara tropis dan vulkanis, Indonesia
dianugerahi lahan luas dan subur sehingga dapat memproduksi berbagai pangan
lokal nonberas. Sejatinya, Indonesia sejak lama dikenal kaya akan sumber pangan
lokal yang cukup murah. Di antaranya, pangan nabati seperti ubi, singkong, dan
kacang-kacangan. Juga, pangan hewani seperti telur atau ikan.
Studi di atas menghasilkan panduan gizi
seimbang berbasis pangan lokal atau PGSPL yang sempat diujikembangkan di
Kabupaten Sambas. Masyarakat di daerah tersebut didorong untuk mengonsumsi
pangan lokal. Hasilnya, keragaman makanan dan asupan gizi mereka meningkat
signifikan.
Perdebatan terkait impor beras bukannya tak
perlu karena ini adalah bagian dari demokrasi. Akan tetapi, lokus urgensi
pangan kita terletak pada kerentanan akses masyarakat terhadap pangan yang
terjangkau dan bergizi.
Meski demikian, rencana kebijakan impor beras
telah menjadi desas-desus nasional. Pemerintah perlu serius memperbaiki pola
komunikasi dalam pembuatan kebijakannya sehingga tak perlu ada konflik narasi
antar pemangku kepentingan. Masyarakat seharusnya dapat terhindar dari tontonan
kegaduhan dan saling bantah antar pemimpin, misalnya antara kepala Bulog,
beberapa gubernur, dan menteri perdagangan.
Dalam Visi Indonesia 2045, Presiden Joko Widodo
menekankan, arah kemajuan Indonesia harus dimotori oleh SDM berkualitas. Dalam
hal pangan, bukan konsumsi beras, melainkan keragaman pangan dan kecukupan
gizilah yang membantu tercapainya visi ini.
Untuk hal itu, berbagai inisiatif pemenuhan
pangan bergizi, apalagi yang bersumber dari pangan lokal, bagi rakyat Indonesia
perlu didorong dan difasilitasi pemerintah. Panduan berbasis pangan lokal
seperti PGSPL di atas dapat dijadikan alternatif acuan dalam perencanaan sistem
pangan kita, misalnya membantu Kementerian Pertanian dalam mendorong produksi
pangan lokal yang berfokus pada protein hewani dan sayuran.
Inisiatif ini juga dapat membantu Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan serta berbagai kelompok masyarakat dalam mengenali
dan mempromosikan indikator ketahanan pangan serta status gizi lokal lewat
komunitas dan sekolah di berbagai daerah.
Harapannya, inisiatif tersebut dapat
benar-benar membantu upaya pemerintah mengatasi inti permasalahan pangan dan
pembangunan ekonomi. Bukan soal beras saja, melainkan pada akses dan pemenuhan
makanan lokal bergizi di masyarakat. (*)
Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti di Paramadina
Public Policy Institute dan mahasiswa doktoral di University College London