29 C
Jakarta
Wednesday, December 24, 2025

Dari Globalisasi ke Regionalisasi: Arah Baru Ekonomi Dunia 2026

Oleh Dr. Miar, S.E., M.Si., CERA

EKONOMI global memasuki tahun 2026 dengan arah yang semakin jelas: globalisasi tidak berakhir, tetapi tengah mengalami transformasi besar.

Arus perdagangan bebas dan integrasi pasar yang pernah mendominasi dekade sebelumnya kini bergeser menuju regionalisasi ekonomi, sebuah pendekatan yang menekankan ketahanan kawasan dan kedekatan geopolitik.

Perubahan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh OECD dan lembaga internasional lain menunjukkan perlambatan pada kisaran 2,7–3,0 persen pada 2026.

Ketegangan geopolitik, perang dagang terselubung, serta gangguan rantai pasok membuat banyak negara berupaya mengurangi ketergantungan pada pasar global tunggal, dan memperkuat hubungan ekonomi dengan mitra regional yang dianggap lebih stabil dan dapat diandalkan.

Regionalisasi bukan sekadar alternatif, melainkan strategi adaptif. Blok-blok ekonomi seperti Uni Eropa, kawasan Amerika Utara, dan Asia Timur kian menegaskan peran mereka sebagai poros ekonomi regional.

Baca Juga :  Tak Puas, Arab Saudi Tuduh Wasit Merancang Kekalahannya saat Melawan Indonesia

Bahkan, Asia kini menyumbang lebih dari 50 persen pertumbuhan global, menjadikannya titik gravitasi baru perekonomian dunia. Perjanjian regional seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan kemitraan ekonomi bilateral terus tumbuh, mencerminkan arah baru integrasi yang lebih terfokus dan pragmatis.

Electronic money exchangers listing

Namun, fragmentasi ini membawa risiko tersendiri. Jika tidak dikelola dengan cermat, regionalisasi bisa mengarah pada peningkatan hambatan perdagangan dan melemahkan kerja sama multilateral.

Dunia berpotensi kehilangan efisiensi ekonomi global dan memperbesar kesenjangan pembangunan antarwilayah. Karena itu, regionalisasi harus dijalankan secara inklusif dan tetap membuka ruang bagi konektivitas antarblok.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang strategis. Proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang tetap stabil di kisaran 5 persen menunjukkan daya tahan domestik yang kuat.

Letak geografis yang strategis di jantung Asia Tenggara memberi Indonesia keuntungan dalam penguatan rantai pasok regional, khususnya di sektor energi, manufaktur, dan pangan.

Baca Juga :  Siap Tempur! Ini Prediksi Formasi Timnas Indonesia U-23 vs Mali

Namun untuk memanfaatkan peluang ini, pemerintah perlu memperkuat fondasi industri domestik, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan kualitas tenaga kerja.

Tanpa strategi jangka menengah yang terarah, Indonesia berisiko hanya menjadi pasar bagi ekonomi regional, bukan pelaku utama dalam rantai nilai kawasan.

Arah baru ekonomi global tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling terbuka, tetapi siapa yang paling adaptif dan strategis dalam membangun posisi di lingkungan regional.

Dalam era pasca-globalisasi ini, negara yang cerdas membaca dinamika kawasan dan mampu mengelola hubungan ekonomi secara seimbang akan berada pada posisi yang lebih menguntungkan.

Globalisasi tidak mati ia berubah wajah, dan di tahun 2026, wajah baru itu bernama regionalisasi. (*)

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya. Peminat kajian ekonomi pembangunan, fiskal, dan ekonomi kawasan.

Oleh Dr. Miar, S.E., M.Si., CERA

EKONOMI global memasuki tahun 2026 dengan arah yang semakin jelas: globalisasi tidak berakhir, tetapi tengah mengalami transformasi besar.

Arus perdagangan bebas dan integrasi pasar yang pernah mendominasi dekade sebelumnya kini bergeser menuju regionalisasi ekonomi, sebuah pendekatan yang menekankan ketahanan kawasan dan kedekatan geopolitik.

Electronic money exchangers listing

Perubahan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh OECD dan lembaga internasional lain menunjukkan perlambatan pada kisaran 2,7–3,0 persen pada 2026.

Ketegangan geopolitik, perang dagang terselubung, serta gangguan rantai pasok membuat banyak negara berupaya mengurangi ketergantungan pada pasar global tunggal, dan memperkuat hubungan ekonomi dengan mitra regional yang dianggap lebih stabil dan dapat diandalkan.

Regionalisasi bukan sekadar alternatif, melainkan strategi adaptif. Blok-blok ekonomi seperti Uni Eropa, kawasan Amerika Utara, dan Asia Timur kian menegaskan peran mereka sebagai poros ekonomi regional.

Baca Juga :  Tak Puas, Arab Saudi Tuduh Wasit Merancang Kekalahannya saat Melawan Indonesia

Bahkan, Asia kini menyumbang lebih dari 50 persen pertumbuhan global, menjadikannya titik gravitasi baru perekonomian dunia. Perjanjian regional seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan kemitraan ekonomi bilateral terus tumbuh, mencerminkan arah baru integrasi yang lebih terfokus dan pragmatis.

Namun, fragmentasi ini membawa risiko tersendiri. Jika tidak dikelola dengan cermat, regionalisasi bisa mengarah pada peningkatan hambatan perdagangan dan melemahkan kerja sama multilateral.

Dunia berpotensi kehilangan efisiensi ekonomi global dan memperbesar kesenjangan pembangunan antarwilayah. Karena itu, regionalisasi harus dijalankan secara inklusif dan tetap membuka ruang bagi konektivitas antarblok.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang strategis. Proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang tetap stabil di kisaran 5 persen menunjukkan daya tahan domestik yang kuat.

Letak geografis yang strategis di jantung Asia Tenggara memberi Indonesia keuntungan dalam penguatan rantai pasok regional, khususnya di sektor energi, manufaktur, dan pangan.

Baca Juga :  Siap Tempur! Ini Prediksi Formasi Timnas Indonesia U-23 vs Mali

Namun untuk memanfaatkan peluang ini, pemerintah perlu memperkuat fondasi industri domestik, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan kualitas tenaga kerja.

Tanpa strategi jangka menengah yang terarah, Indonesia berisiko hanya menjadi pasar bagi ekonomi regional, bukan pelaku utama dalam rantai nilai kawasan.

Arah baru ekonomi global tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling terbuka, tetapi siapa yang paling adaptif dan strategis dalam membangun posisi di lingkungan regional.

Dalam era pasca-globalisasi ini, negara yang cerdas membaca dinamika kawasan dan mampu mengelola hubungan ekonomi secara seimbang akan berada pada posisi yang lebih menguntungkan.

Globalisasi tidak mati ia berubah wajah, dan di tahun 2026, wajah baru itu bernama regionalisasi. (*)

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya. Peminat kajian ekonomi pembangunan, fiskal, dan ekonomi kawasan.

Terpopuler

Artikel Terbaru

/