28.4 C
Jakarta
Thursday, October 24, 2024

Reformasi BUMN Sekarang, Raup Peluang Rp 1.000 T

Selamat datang Presiden Prabowo dan pemerintahan baru. Dalam menetapkan target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah perlu bergerak maju penuh tujuan dan menerapkan intervensi struktural (reformasi) yang dapat memberikan efek ganda terhadap perekonomian. Salah satu bidang penting untuk mencapai itu adalah perusahaan BUMN (badan usaha milik negara).

Kami sangat mendorong pandangan yang segar dan pragmatis terhadap situasi saat ini. Sebab, model pengelolaan BUMN secara keseluruhan terkesan tertinggal zaman dan berpotensi merugikan perekonomian Indonesia.

Sebaliknya, model BUMN yang ’’sangat berbobot dan efisien’’ bisa menjaring peluang luar biasa dalam membuka sumber daya fiskal segar hingga Rp 1.000 triliun, masuknya investasi dalam jumlah besar dari sektor swasta, serta pertumbuhan lapangan kerja yang lebih kuat.

Tantangan Struktural Dalam setiap upaya transformasi BUMN, ada empat tantangan struktural saling terkait yang perlu diatasi. Pertama, meski kinerja secara keseluruhan telah membaik dalam 4 tahun terakhir, BUMN masih dihadapkan pada kesenjangan penciptaan nilai.

Selain itu, makin banyak perusahaan yang mengalami tekanan dan berkinerja buruk. Rata-rata return pemegang saham BUMN (RoA/RoE) yang secara konsisten berkinerja buruk sebesar 30–40 persen jika dibandingkan dengan emiten sektor swasta.

Penurunan kinerja itu diperparah oleh tren BUMN yang meningkatkan posisi utang untuk mendanai pertumbuhan (tidak produktif). Selain itu, kemampuan BUMN untuk mengembalikan dividen bersih positif (setelah suntikan modal/PMN) sebagai portofolio sangat minim dalam beberapa tahun terakhir.

Dibutuhkan dorongan produktivitas dan daur ulang aset yang lebih kuat kepada operator sektor swasta. Bagaimanapun, sebagai aset nasional, portofolio BUMN perlu menciptakan keuntungan tambahan bagi negara dan tidak merusak nilai.

Baca Juga :  Transformasi BUMN Bawa Holding Ultra Mikro BRI-Pegadaian-PNM Kian Berkembang

Kedua, Indonesia tidak memiliki kebijakan kepemilikan negara yang jelas. Yaitu, kebijakan yang mengatur secara spesifik pendekatan apa yang sebaiknya dijalankan pemerintah dalam mengendalikan dan mengoperasikan perusahaan. Karena ketidakhadiran itu, seluruh BUMN dianggap ’’strategis bagi negara’’ tanpa pandang bulu.

Terkait dengan hal tersebut, otoritas kehakiman dan regulator masih menganggap aset-aset BUMN sebagai bagian dari neraca negara. Karena itu, berlaku unsur-unsur prosedur pemerintah bagi perusahaan-perusahaan BUMN seperti ’’kerugian negara’’, praktik pengadaan dan SDM, serta pengawasan/audit BPK.

Situasi tersebut berbeda dengan tren global yang menunjukkan berkurangnya pengaruh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi. Jika direksi BUMN bisa dituntut karena menimbulkan ’’kerugian negara’’ atas keputusan bisnis daur ulang aset-aset BUMN yang tidak produktif, akan sangat berat. Diperlukan reformasi hukum dan kebijakan untuk mengatasi situasi tersebut.

Ketiga, selama 4 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan BUMN terus meningkatkan basis aset mereka sebesar 8 persen setiap tahun hingga mencapai angka Rp 10.000 triliun (USD 650 juta) pada 2022. Itu merupakan pengorbanan sektor swasta karena perusahaan-perusahaan BUMN telah meningkatkan aset mereka.

Pangsa pasar di setiap industri inti tempat mereka beroperasi –misalnya perbankan, konstruksi, semen, migas, pertambangan, dan listrik– sering kali didukung praktik pasar yang memiliki hak istimewa.

Jika tidak dikendalikan, tren tersebut bisa berdampak buruk pada posisi kompetitif jangka panjang perekonomian Indonesia. Sebab, tampaknya, BUMN kurang efisien jika dibandingkan dengan operator sektor swasta lantaran sebagian besar basis industri nasional dikendalikan oleh operator yang paling tidak efisien.

Baca Juga :  Menggagas Koperasi Kesehatan

Tata Kelola SDM Terakhir, meski BUMN telah digabungkan secara progresif ke dalam klaster industri yang lebih mudah dikelola, masih terdapat tantangan besar dalam hal tata kelola dan praktik SDM yang terbaik di kelasnya. Karyawan dianggap sebagai pegawai negeri sipil yang semu dan berjuang untuk mencapai tingkat gaji yang lebih tinggi serta jalur karier yang lebih menarik.

Proses evaluasi berbasis kinerja masih lemah. Kementerian BUMN sering kali menunjuk seluruh direktur dan komisaris di tingkat holding dan anak perusahaan tanpa berkonsultasi dengan para CEO.

Pada gilirannya, mereka menghabiskan banyak waktu untuk menangani pengelolaan pemangku kepentingan yang kompleks daripada menjalankan perusahaan secara nyata. Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika rata-rata masa jabatan CEO BUMN adalah separo dari perusahaan Fortune 500.

Tantangan-tantangan yang saling terkait itu perlu diatasi melalui reformasi BUMN yang komprehensif untuk meningkatkan imbal hasil dan efisiensi aset. Termasuk, membangun kepastian hukum yang lebih kuat mengenai kapan pemerintah perlu mengoperasikan perusahaan.

Juga, dalam situasi apa pemerintah tidak boleh menjalankannya dan tetap menjadi kelompok minoritas yang memiliki hak istimewa ’’pemegang saham emas’’. Terakhir, membatasi campur tangan operasional terhadap perusahaan-perusahaan BUMN. (*)

*) ISKANDAR TEJA , Konsultan keuangan perusahaan asing

Selamat datang Presiden Prabowo dan pemerintahan baru. Dalam menetapkan target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah perlu bergerak maju penuh tujuan dan menerapkan intervensi struktural (reformasi) yang dapat memberikan efek ganda terhadap perekonomian. Salah satu bidang penting untuk mencapai itu adalah perusahaan BUMN (badan usaha milik negara).

Kami sangat mendorong pandangan yang segar dan pragmatis terhadap situasi saat ini. Sebab, model pengelolaan BUMN secara keseluruhan terkesan tertinggal zaman dan berpotensi merugikan perekonomian Indonesia.

Sebaliknya, model BUMN yang ’’sangat berbobot dan efisien’’ bisa menjaring peluang luar biasa dalam membuka sumber daya fiskal segar hingga Rp 1.000 triliun, masuknya investasi dalam jumlah besar dari sektor swasta, serta pertumbuhan lapangan kerja yang lebih kuat.

Tantangan Struktural Dalam setiap upaya transformasi BUMN, ada empat tantangan struktural saling terkait yang perlu diatasi. Pertama, meski kinerja secara keseluruhan telah membaik dalam 4 tahun terakhir, BUMN masih dihadapkan pada kesenjangan penciptaan nilai.

Selain itu, makin banyak perusahaan yang mengalami tekanan dan berkinerja buruk. Rata-rata return pemegang saham BUMN (RoA/RoE) yang secara konsisten berkinerja buruk sebesar 30–40 persen jika dibandingkan dengan emiten sektor swasta.

Penurunan kinerja itu diperparah oleh tren BUMN yang meningkatkan posisi utang untuk mendanai pertumbuhan (tidak produktif). Selain itu, kemampuan BUMN untuk mengembalikan dividen bersih positif (setelah suntikan modal/PMN) sebagai portofolio sangat minim dalam beberapa tahun terakhir.

Dibutuhkan dorongan produktivitas dan daur ulang aset yang lebih kuat kepada operator sektor swasta. Bagaimanapun, sebagai aset nasional, portofolio BUMN perlu menciptakan keuntungan tambahan bagi negara dan tidak merusak nilai.

Baca Juga :  Transformasi BUMN Bawa Holding Ultra Mikro BRI-Pegadaian-PNM Kian Berkembang

Kedua, Indonesia tidak memiliki kebijakan kepemilikan negara yang jelas. Yaitu, kebijakan yang mengatur secara spesifik pendekatan apa yang sebaiknya dijalankan pemerintah dalam mengendalikan dan mengoperasikan perusahaan. Karena ketidakhadiran itu, seluruh BUMN dianggap ’’strategis bagi negara’’ tanpa pandang bulu.

Terkait dengan hal tersebut, otoritas kehakiman dan regulator masih menganggap aset-aset BUMN sebagai bagian dari neraca negara. Karena itu, berlaku unsur-unsur prosedur pemerintah bagi perusahaan-perusahaan BUMN seperti ’’kerugian negara’’, praktik pengadaan dan SDM, serta pengawasan/audit BPK.

Situasi tersebut berbeda dengan tren global yang menunjukkan berkurangnya pengaruh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi. Jika direksi BUMN bisa dituntut karena menimbulkan ’’kerugian negara’’ atas keputusan bisnis daur ulang aset-aset BUMN yang tidak produktif, akan sangat berat. Diperlukan reformasi hukum dan kebijakan untuk mengatasi situasi tersebut.

Ketiga, selama 4 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan BUMN terus meningkatkan basis aset mereka sebesar 8 persen setiap tahun hingga mencapai angka Rp 10.000 triliun (USD 650 juta) pada 2022. Itu merupakan pengorbanan sektor swasta karena perusahaan-perusahaan BUMN telah meningkatkan aset mereka.

Pangsa pasar di setiap industri inti tempat mereka beroperasi –misalnya perbankan, konstruksi, semen, migas, pertambangan, dan listrik– sering kali didukung praktik pasar yang memiliki hak istimewa.

Jika tidak dikendalikan, tren tersebut bisa berdampak buruk pada posisi kompetitif jangka panjang perekonomian Indonesia. Sebab, tampaknya, BUMN kurang efisien jika dibandingkan dengan operator sektor swasta lantaran sebagian besar basis industri nasional dikendalikan oleh operator yang paling tidak efisien.

Baca Juga :  Menggagas Koperasi Kesehatan

Tata Kelola SDM Terakhir, meski BUMN telah digabungkan secara progresif ke dalam klaster industri yang lebih mudah dikelola, masih terdapat tantangan besar dalam hal tata kelola dan praktik SDM yang terbaik di kelasnya. Karyawan dianggap sebagai pegawai negeri sipil yang semu dan berjuang untuk mencapai tingkat gaji yang lebih tinggi serta jalur karier yang lebih menarik.

Proses evaluasi berbasis kinerja masih lemah. Kementerian BUMN sering kali menunjuk seluruh direktur dan komisaris di tingkat holding dan anak perusahaan tanpa berkonsultasi dengan para CEO.

Pada gilirannya, mereka menghabiskan banyak waktu untuk menangani pengelolaan pemangku kepentingan yang kompleks daripada menjalankan perusahaan secara nyata. Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika rata-rata masa jabatan CEO BUMN adalah separo dari perusahaan Fortune 500.

Tantangan-tantangan yang saling terkait itu perlu diatasi melalui reformasi BUMN yang komprehensif untuk meningkatkan imbal hasil dan efisiensi aset. Termasuk, membangun kepastian hukum yang lebih kuat mengenai kapan pemerintah perlu mengoperasikan perusahaan.

Juga, dalam situasi apa pemerintah tidak boleh menjalankannya dan tetap menjadi kelompok minoritas yang memiliki hak istimewa ’’pemegang saham emas’’. Terakhir, membatasi campur tangan operasional terhadap perusahaan-perusahaan BUMN. (*)

*) ISKANDAR TEJA , Konsultan keuangan perusahaan asing

Terpopuler

Artikel Terbaru

/