29.1 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

Di Balik Penurunan BI Rate

Bagong Suyanto

 

Di Balik Penurunan BI Rate

Di tengah gelombang PHK yang makin masif dan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja, langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi angin yang memicu harapan baru. Indonesia kini kembali optimistis terhadap kondisi perekonomian ke depan.

Walaupun penurunan suku bunga acuan hanya 25 basis poin dari 6,25 persen menjadi 6 persen, banyak harapan yang disampirkan pasca keputusan Gubernur BI Perry Warjiyo yang diumumkan pada Rabu (18 September 2024) tersebut.

Di atas kertas, setiap suku bunga acuan turun, yang diharapkan adalah tumbuhnya ruang bagi perkembangan ekonomi domestik yang selama 2–3 tahun terakhir seolah kehilangan gairah.

Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan itu sebetulnya agak mengejutkan. Dianggap langkah berani. Selain menurunkan suku bunga acuan, BI pada saat yang sama menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan lending facility sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen.

Agak berbeda dengan kebiasaan, di mana keputusan menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan bergantung pada keputusan The Fed, kali ini BI selangkah lebih maju. Keputusan BI itu tentu bukan tanpa pertimbangan.

Ketika inflasi dinilai relatif terkendali, nilai tukar rupiah mulai membaik. Kondisi perekonomian global juga ditimbang bergerak membaik. Karena itu, BI lantas memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuannya. Keputusan tersebut, ujung-ujungnya, diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Dari prediksi BI, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 berkisar 4,7 persen sampai 5,5 persen dengan titik tengah moderat 5,1 persen. Tanpa didukung langkah berani BI, bukan tidak mungkin kondisi perekonomian nasional akan makin babak belur.

Penurunan BI Rate

Kalau berbicara apakah keputusan BI menurunkan suku bunga acuan perlu dilakukan pada September ini atau perlu ditunda hingga menanti keputusan The Fed, sebetulnya hal itu masih bisa diperdebatkan. Tingkat inflasi sebenarnya masih berada dalam koridor target BI sebesar 1,5–3,5 persen.

Baca Juga :  Moderasi Beragama untuk Milenial

Juga, masih ada potensi berbaliknya arus modal asing keluar dari Indonesia. Namun, kebutuhan untuk mendorong penguatan rupiah dan meningkatkan permintaan agregat serta mendorong pertumbuhan sektor riil memaksa BI segera mengambil keputusan yang krusial.

 

Lebih dari sekadar memastikan stabilitas nilai tukar rupiah, kebutuhan untuk membangkitkan kondisi sektor padat karya, terutama industri manufaktur dan pertumbuhan sektor riil, tampaknya mendapatkan perhatian khusus.

Pemerintah berharap, dengan menurunkan suku bunga acuan, suku bunga kredit akan ikut turun sehingga bisa berdampak pada kembali bergairahnya perkembangan dunia usaha.

Dengan suku bunga kredit yang rendah, di atas kertas peluang pelaku usaha untuk mendapatkan pinjaman modal menjadi lebih besar sehingga aktivitas perekonomian kembali bangkit. Benarkah demikian?

Belajar dari pengalaman, kebijakan penurunan suku bunga acuan sebetulnya tidak otomatis mampu merangsang dunia usaha untuk mengambil pinjaman perbankan dan mengembangkan usaha lama maupun usaha baru. Saat ini banyak pelaku ekonomi yang umumnya masih dalam posisi wait and see.

Mereka cenderung tidak tergesa-gesa untuk mengambil pinjaman kredit. Mereka merasa daya beli masyarakat masih bermasalah. Selain itu, tidak ada jaminan usaha yang dikembangkan bakal direspons positif oleh pasar. Tidak sedikit pelaku usaha yang masih menanti masa transisi pemerintahan.

Kalau mau jujur, tidak ada jaminan bahwa pemangkasan suku bunga acuan oleh BI akan serta-merta direspons positif oleh pasar dan otomatis mampu menggerakkan aktivitas perekonomian domestik. Daya beli yang sedang turun dan nasib kelas menengah yang terjun bebas ke level masyarakat miskin, diakui atau tidak, menjadi faktor penghambat yang signifikan.

Untuk membangkitkan daya beli kelas menengah, yang dibutuhkan tak pelak adalah stimulan lain di luar moneter. Misalnya, insentif fiskal atau berbagai program lain yang efektif untuk mendongkrak kembali daya beli masyarakat.

Survei Konsumen BI pada Agustus 2024 menunjukkan, proporsi konsumsi terhadap pendapatan (average propensity to consume ratio) masyarakat juga turun 0,3 persen dibandingkan dengan bulan lalu, yakni menjadi 73,5 persen. Bahkan, proporsi konsumsi terhadap pendapatan itu turun lebih dalam 2,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Baca Juga :  Menilik Hak Masyarakat Dalam Kebijakan PPKM

Selain itu, Survei Penjualan Eceran pada Juli 2024 mencatat, kinerja penjualan eceran terkontraksi 7,2 persen secara bulanan. Turunnya penjualan eceran tersebut terutama disumbang kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta suku cadang.

Kunci

Di Indonesia, sektor yang menjadi tumpuan penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah sektor padat karya. Padahal, fakta di lapangan, di berbagai daerah, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor yang banyak menyerap banyak tenaga kerja masih terus terjadi hingga kini.

Pada saat PHK belum juga tertangani dan barisan penganggur makin banyak, upaya meningkatkan daya beli masyarakat dan membangkitkan kembali industri padat karya niscaya akan terhambat.

Harus diakui secara objektif, kebijakan penurunan suku bunga bukanlah solusi yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan perekonomian, terutama yang berkaitan dengan penurunan daya beli kelas menengah.

Tren penurunan daya beli masyarakat terjadi karena kondisi struktural perekonomian. Mulai kondisi industri padat karya yang makin merana, peningkatan jumlah tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal, hingga stagnansi pendapatan masyarakat.

Kelas menengah yang selama ini diandalkan sebagai penopang utama sektor manufaktur justru banyak yang tumbang dan turun status menjadi orang miskin baru.

Ke depan, kombinasi antara pelonggaran kebijakan moneter dan stance kebijakan makroprudensial yang relatif longgar diharapkan mampu mendorong permintaan kredit perbankan dan mendukung fungsi intermediasi perbankan pada sektor riil. Namun, kunci untuk memastikan agar daya beli kembali meningkat dan aktivitas sektor riil kembali bangkit, tak pelak, adalah konsistensi dan transisi pemerintahan yang aman. (*)

*) BAGONG SUYANTO, Dekan dan guru besar sosiologi ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Bagong Suyanto

 

Di Balik Penurunan BI Rate

Di tengah gelombang PHK yang makin masif dan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja, langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi angin yang memicu harapan baru. Indonesia kini kembali optimistis terhadap kondisi perekonomian ke depan.

Walaupun penurunan suku bunga acuan hanya 25 basis poin dari 6,25 persen menjadi 6 persen, banyak harapan yang disampirkan pasca keputusan Gubernur BI Perry Warjiyo yang diumumkan pada Rabu (18 September 2024) tersebut.

Di atas kertas, setiap suku bunga acuan turun, yang diharapkan adalah tumbuhnya ruang bagi perkembangan ekonomi domestik yang selama 2–3 tahun terakhir seolah kehilangan gairah.

Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan itu sebetulnya agak mengejutkan. Dianggap langkah berani. Selain menurunkan suku bunga acuan, BI pada saat yang sama menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan lending facility sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen.

Agak berbeda dengan kebiasaan, di mana keputusan menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan bergantung pada keputusan The Fed, kali ini BI selangkah lebih maju. Keputusan BI itu tentu bukan tanpa pertimbangan.

Ketika inflasi dinilai relatif terkendali, nilai tukar rupiah mulai membaik. Kondisi perekonomian global juga ditimbang bergerak membaik. Karena itu, BI lantas memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuannya. Keputusan tersebut, ujung-ujungnya, diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Dari prediksi BI, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 berkisar 4,7 persen sampai 5,5 persen dengan titik tengah moderat 5,1 persen. Tanpa didukung langkah berani BI, bukan tidak mungkin kondisi perekonomian nasional akan makin babak belur.

Penurunan BI Rate

Kalau berbicara apakah keputusan BI menurunkan suku bunga acuan perlu dilakukan pada September ini atau perlu ditunda hingga menanti keputusan The Fed, sebetulnya hal itu masih bisa diperdebatkan. Tingkat inflasi sebenarnya masih berada dalam koridor target BI sebesar 1,5–3,5 persen.

Baca Juga :  Moderasi Beragama untuk Milenial

Juga, masih ada potensi berbaliknya arus modal asing keluar dari Indonesia. Namun, kebutuhan untuk mendorong penguatan rupiah dan meningkatkan permintaan agregat serta mendorong pertumbuhan sektor riil memaksa BI segera mengambil keputusan yang krusial.

 

Lebih dari sekadar memastikan stabilitas nilai tukar rupiah, kebutuhan untuk membangkitkan kondisi sektor padat karya, terutama industri manufaktur dan pertumbuhan sektor riil, tampaknya mendapatkan perhatian khusus.

Pemerintah berharap, dengan menurunkan suku bunga acuan, suku bunga kredit akan ikut turun sehingga bisa berdampak pada kembali bergairahnya perkembangan dunia usaha.

Dengan suku bunga kredit yang rendah, di atas kertas peluang pelaku usaha untuk mendapatkan pinjaman modal menjadi lebih besar sehingga aktivitas perekonomian kembali bangkit. Benarkah demikian?

Belajar dari pengalaman, kebijakan penurunan suku bunga acuan sebetulnya tidak otomatis mampu merangsang dunia usaha untuk mengambil pinjaman perbankan dan mengembangkan usaha lama maupun usaha baru. Saat ini banyak pelaku ekonomi yang umumnya masih dalam posisi wait and see.

Mereka cenderung tidak tergesa-gesa untuk mengambil pinjaman kredit. Mereka merasa daya beli masyarakat masih bermasalah. Selain itu, tidak ada jaminan usaha yang dikembangkan bakal direspons positif oleh pasar. Tidak sedikit pelaku usaha yang masih menanti masa transisi pemerintahan.

Kalau mau jujur, tidak ada jaminan bahwa pemangkasan suku bunga acuan oleh BI akan serta-merta direspons positif oleh pasar dan otomatis mampu menggerakkan aktivitas perekonomian domestik. Daya beli yang sedang turun dan nasib kelas menengah yang terjun bebas ke level masyarakat miskin, diakui atau tidak, menjadi faktor penghambat yang signifikan.

Untuk membangkitkan daya beli kelas menengah, yang dibutuhkan tak pelak adalah stimulan lain di luar moneter. Misalnya, insentif fiskal atau berbagai program lain yang efektif untuk mendongkrak kembali daya beli masyarakat.

Survei Konsumen BI pada Agustus 2024 menunjukkan, proporsi konsumsi terhadap pendapatan (average propensity to consume ratio) masyarakat juga turun 0,3 persen dibandingkan dengan bulan lalu, yakni menjadi 73,5 persen. Bahkan, proporsi konsumsi terhadap pendapatan itu turun lebih dalam 2,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Baca Juga :  Menilik Hak Masyarakat Dalam Kebijakan PPKM

Selain itu, Survei Penjualan Eceran pada Juli 2024 mencatat, kinerja penjualan eceran terkontraksi 7,2 persen secara bulanan. Turunnya penjualan eceran tersebut terutama disumbang kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta suku cadang.

Kunci

Di Indonesia, sektor yang menjadi tumpuan penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah sektor padat karya. Padahal, fakta di lapangan, di berbagai daerah, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor yang banyak menyerap banyak tenaga kerja masih terus terjadi hingga kini.

Pada saat PHK belum juga tertangani dan barisan penganggur makin banyak, upaya meningkatkan daya beli masyarakat dan membangkitkan kembali industri padat karya niscaya akan terhambat.

Harus diakui secara objektif, kebijakan penurunan suku bunga bukanlah solusi yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan perekonomian, terutama yang berkaitan dengan penurunan daya beli kelas menengah.

Tren penurunan daya beli masyarakat terjadi karena kondisi struktural perekonomian. Mulai kondisi industri padat karya yang makin merana, peningkatan jumlah tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal, hingga stagnansi pendapatan masyarakat.

Kelas menengah yang selama ini diandalkan sebagai penopang utama sektor manufaktur justru banyak yang tumbang dan turun status menjadi orang miskin baru.

Ke depan, kombinasi antara pelonggaran kebijakan moneter dan stance kebijakan makroprudensial yang relatif longgar diharapkan mampu mendorong permintaan kredit perbankan dan mendukung fungsi intermediasi perbankan pada sektor riil. Namun, kunci untuk memastikan agar daya beli kembali meningkat dan aktivitas sektor riil kembali bangkit, tak pelak, adalah konsistensi dan transisi pemerintahan yang aman. (*)

*) BAGONG SUYANTO, Dekan dan guru besar sosiologi ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru

/