25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kebangkitan Nasional dan Kecendekiawanan

PERINGATAN Hari Kebangkitan Nasional
(Harkitnas) Ke-113 tahun 2021 mengusung tema ”Bangkit! Kita Bangsa yang
Tangguh!”. Tema tersebut diharapkan mampu menggelorakan spirit dan optimisme
bangsa Indonesia.

Cendekiawan dan bangsa ibarat dua pasang kaki
kuda yang saling memacu kemajuan menuju cita-cita kebangsaan. Kita bisa melihat
betapa hebatnya para cendekia perintis dan pendiri Indonesia. Mereka memiliki
konsepsi dan pemikiran yang luar biasa hebatnya, runtut, dan kontennya melesat
ke depan. Para cendekiawan masa kini sudah seharusnya menjunjung kewajiban
sejarah. Negeri ini perlu banyak sosok cendekiawan yang berperan sebagai
intelektual publik.

Menurut definisi New York Times, intelektual
publik (public intellectual) adalah seseorang yang memiliki pengetahuan
(knowledge) dan otoritas (authority) tentang isu-isu aktual (issues of the day)
serta punya kemampuan menyampaikannya kepada publik. Meminjam istilah Presiden
Ketiga RI B.J. Habibie, sosok intelektual publik tersebut pada hakikatnya
adalah SDM bangsa yang terbarukan dan unggul dalam profesinya. Mereka itu
adalah sosok-sosok profesional nonpartai, tetapi memiliki visi, kompetensi, dan
karya inovasi yang sangat berguna bagi pembangunan.

Para intelektual publik perlu kerja bersama
dan disemangati oleh nilai tradisi keindonesiaan yang telah membumi
berabad-abad. Esensi kerja bersama adalah holopis kuntul baris yang identik
dengan perilaku gotong royong, sebuah sikap yang merupakan ajaran para pendiri
bangsa.

Tak bisa dimungkiri lagi, makna dan semangat
Harkitnas kini kondisinya pudar. Juga terjadi kelangkaan ”budi utomo”, utamanya
di kalangan elite bangsa. Budi utomo dalam bahasa Sanskerta berarti perilaku
baik atau budi pekerti yang luhur.

Elite bangsa belum mampu mentransformasikan
bangsa ini menjadi unggul dengan nilai-nilai kebangsaan yang kukuh. Kualitas
dan kepribadian elite politik pada era revolusi kemerdekaan jauh lebih baik.
Sehingga mereka mampu melakukan perubahan cepat dengan energi kebangsaan yang
menggelora. Mentalitas dan kepribadian elite politik pada era kemerdekaan
bangsa sangat berbeda dengan elite politik pada saat ini.

Baca Juga :  Berperilaku Santri dalam Menjaga Negeri

Elite politik sekarang ini cenderung
mengkhianati rakyat dan kurang bertanggung jawab terhadap proses kemajuan
bangsa. Hal itu terbukti dengan makin banyaknya elite politik, baik yang duduk
sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif, sekarang ini yang terlibat korupsi
dan kasus-kasus yang tidak terpuji.

Pada era sekarang ini, gelora jiwa
kebangkitan nasional tidak lagi dalam kondisi pasang seperti pada era
kepemimpinan Bung Karno. Di mana pada saat itu api kebangkitan nasional terus
menyala hebat. Rakyat mafhum Bung Karno adalah seorang promotor kebangkitan
nasional yang andal.

Esensi dari gerakan kebangkitan nasional
adalah energi potensial yang besar untuk melakukan transformasi demokrasi
terhadap bangsa. Transformasi demokrasi yang dilambangkan dengan ikon Boedi
Oetomo (baca: Budi Utomo) terartikulasikan dalam gerakan membongkar budaya
politik afirmatif, lalu menempuh jalan lain, yakni mengembangkan budaya politik
yang kritis pemawas terhadap kekuasaan.

Budaya politik kritikal juga analog dengan
pentingnya bangsa ini untuk memiliki sebanyak mungkin produsen pikiran sehat
dan inovatif. Pada era revolusi industri 4.0 sekarang ini, tatanan sosial makin
efektif dan mengalami determinasi yang luar biasa. Ironisnya, negeri ini justru
dipenuhi pikiran tidak sehat dan kontraproduktif dari elite politik. Akibatnya,
proses kemajuan bangsa makin tidak efektif. Hal itu terbukti dengan terpuruknya
indeks daya saing bangsa ini di segala lini

Negeri ini sangat membutuhkan pemimpin
cendekia yang otentik dan inspiratif semacam Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo,
Soerjadi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tak pelak lagi, untuk
mewujudkan kebangkitan nasional, dibutuhkan kepemimpinan otentik di segala lini
yang mampu mengubah kondisi inferior menjadi gelora spirit yang dapat mengubah
deret keterbelakangan bangsa menjadi terkemuka dalam percaturan dunia.

Baca Juga :  Gonjang-ganjing ATM Link

Menarik sekali penelitian yang dilakukan Bill
George, seorang profesor di Harvard, terkait kepemimpinan otentik. Ternyata
kepemimpinan seperti itu diakselerasi dan berkembang oleh dialektika dan
perjuangan intelektual publik yang berbasis lokalitas.

Visi kebangkitan nasional ala Presiden Jokowi
tersirat dalam langkah dan kebijakan pemerintahan yang tertuang dalam berbagai
paket kebijakan ekonomi yang terakumulasi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Setumpuk paket itu esensinya adalah memperlancar kegiatan para pengusaha yang
notabene adalah saudagar berbagai kelas.

Sederet paket tersebut juga diharapkan bisa
membangkitkan saudagar lokal berlabel UMKM dan mencetak saudagar muda
intelektual yang berjiwa kreatif dan inovatif. Dengan sederet paket ekonomi
itu, Jokowi berambisi menaikkan peringkat ease of doing business (EODB) atau
kemudahan berusaha Indonesia hingga ke posisi 40 dunia. Visi kebangkitan
nasional ala saudagar sesuai dengan teori pakar ekonomi David Mike Dallen yang
menyatakan bahwa suatu negara akan bangkit dan terwujud kemakmuran bila jumlah
pengusaha cukup tinggi.

Pada saat ini jumlah pengusaha Indonesia baru
3,10 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sebagai pembanding, jumlah
pengusaha di Singapura telah mencapai 7,2 persen, Malaysia 5 persen, dan
Thailand 4,5 persen. Dengan demikian, untuk mencapai kebangkitan dan kemakmuran
di Indonesia, perlu meningkatkan sepuluh kali lipat atau mencetak lagi sekitar
8 juta start-up (perusahaan rintisan).

Visi kebangkitan nasional ala saudagar juga
terartikulasi dalam pembangunan berbagai infrastruktur yang penting bagi
kegiatan ekonomi. Sayangnya, pembangunan infrastruktur tersebut belum disertai
strategi transformasi teknologi dan persiapan SDM kompeten yang matur atau
matang. Akibatnya, beberapa proyek infrastruktur yang dibangun kurang
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi industri lokal dan perluasan kesempatan
kerja. (*)

 
Meithiana Indrasari, President of
International Council for Small Business (ICSB) Surabaya, wakil rektor
Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya

PERINGATAN Hari Kebangkitan Nasional
(Harkitnas) Ke-113 tahun 2021 mengusung tema ”Bangkit! Kita Bangsa yang
Tangguh!”. Tema tersebut diharapkan mampu menggelorakan spirit dan optimisme
bangsa Indonesia.

Cendekiawan dan bangsa ibarat dua pasang kaki
kuda yang saling memacu kemajuan menuju cita-cita kebangsaan. Kita bisa melihat
betapa hebatnya para cendekia perintis dan pendiri Indonesia. Mereka memiliki
konsepsi dan pemikiran yang luar biasa hebatnya, runtut, dan kontennya melesat
ke depan. Para cendekiawan masa kini sudah seharusnya menjunjung kewajiban
sejarah. Negeri ini perlu banyak sosok cendekiawan yang berperan sebagai
intelektual publik.

Menurut definisi New York Times, intelektual
publik (public intellectual) adalah seseorang yang memiliki pengetahuan
(knowledge) dan otoritas (authority) tentang isu-isu aktual (issues of the day)
serta punya kemampuan menyampaikannya kepada publik. Meminjam istilah Presiden
Ketiga RI B.J. Habibie, sosok intelektual publik tersebut pada hakikatnya
adalah SDM bangsa yang terbarukan dan unggul dalam profesinya. Mereka itu
adalah sosok-sosok profesional nonpartai, tetapi memiliki visi, kompetensi, dan
karya inovasi yang sangat berguna bagi pembangunan.

Para intelektual publik perlu kerja bersama
dan disemangati oleh nilai tradisi keindonesiaan yang telah membumi
berabad-abad. Esensi kerja bersama adalah holopis kuntul baris yang identik
dengan perilaku gotong royong, sebuah sikap yang merupakan ajaran para pendiri
bangsa.

Tak bisa dimungkiri lagi, makna dan semangat
Harkitnas kini kondisinya pudar. Juga terjadi kelangkaan ”budi utomo”, utamanya
di kalangan elite bangsa. Budi utomo dalam bahasa Sanskerta berarti perilaku
baik atau budi pekerti yang luhur.

Elite bangsa belum mampu mentransformasikan
bangsa ini menjadi unggul dengan nilai-nilai kebangsaan yang kukuh. Kualitas
dan kepribadian elite politik pada era revolusi kemerdekaan jauh lebih baik.
Sehingga mereka mampu melakukan perubahan cepat dengan energi kebangsaan yang
menggelora. Mentalitas dan kepribadian elite politik pada era kemerdekaan
bangsa sangat berbeda dengan elite politik pada saat ini.

Baca Juga :  Berperilaku Santri dalam Menjaga Negeri

Elite politik sekarang ini cenderung
mengkhianati rakyat dan kurang bertanggung jawab terhadap proses kemajuan
bangsa. Hal itu terbukti dengan makin banyaknya elite politik, baik yang duduk
sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif, sekarang ini yang terlibat korupsi
dan kasus-kasus yang tidak terpuji.

Pada era sekarang ini, gelora jiwa
kebangkitan nasional tidak lagi dalam kondisi pasang seperti pada era
kepemimpinan Bung Karno. Di mana pada saat itu api kebangkitan nasional terus
menyala hebat. Rakyat mafhum Bung Karno adalah seorang promotor kebangkitan
nasional yang andal.

Esensi dari gerakan kebangkitan nasional
adalah energi potensial yang besar untuk melakukan transformasi demokrasi
terhadap bangsa. Transformasi demokrasi yang dilambangkan dengan ikon Boedi
Oetomo (baca: Budi Utomo) terartikulasikan dalam gerakan membongkar budaya
politik afirmatif, lalu menempuh jalan lain, yakni mengembangkan budaya politik
yang kritis pemawas terhadap kekuasaan.

Budaya politik kritikal juga analog dengan
pentingnya bangsa ini untuk memiliki sebanyak mungkin produsen pikiran sehat
dan inovatif. Pada era revolusi industri 4.0 sekarang ini, tatanan sosial makin
efektif dan mengalami determinasi yang luar biasa. Ironisnya, negeri ini justru
dipenuhi pikiran tidak sehat dan kontraproduktif dari elite politik. Akibatnya,
proses kemajuan bangsa makin tidak efektif. Hal itu terbukti dengan terpuruknya
indeks daya saing bangsa ini di segala lini

Negeri ini sangat membutuhkan pemimpin
cendekia yang otentik dan inspiratif semacam Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo,
Soerjadi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tak pelak lagi, untuk
mewujudkan kebangkitan nasional, dibutuhkan kepemimpinan otentik di segala lini
yang mampu mengubah kondisi inferior menjadi gelora spirit yang dapat mengubah
deret keterbelakangan bangsa menjadi terkemuka dalam percaturan dunia.

Baca Juga :  Gonjang-ganjing ATM Link

Menarik sekali penelitian yang dilakukan Bill
George, seorang profesor di Harvard, terkait kepemimpinan otentik. Ternyata
kepemimpinan seperti itu diakselerasi dan berkembang oleh dialektika dan
perjuangan intelektual publik yang berbasis lokalitas.

Visi kebangkitan nasional ala Presiden Jokowi
tersirat dalam langkah dan kebijakan pemerintahan yang tertuang dalam berbagai
paket kebijakan ekonomi yang terakumulasi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Setumpuk paket itu esensinya adalah memperlancar kegiatan para pengusaha yang
notabene adalah saudagar berbagai kelas.

Sederet paket tersebut juga diharapkan bisa
membangkitkan saudagar lokal berlabel UMKM dan mencetak saudagar muda
intelektual yang berjiwa kreatif dan inovatif. Dengan sederet paket ekonomi
itu, Jokowi berambisi menaikkan peringkat ease of doing business (EODB) atau
kemudahan berusaha Indonesia hingga ke posisi 40 dunia. Visi kebangkitan
nasional ala saudagar sesuai dengan teori pakar ekonomi David Mike Dallen yang
menyatakan bahwa suatu negara akan bangkit dan terwujud kemakmuran bila jumlah
pengusaha cukup tinggi.

Pada saat ini jumlah pengusaha Indonesia baru
3,10 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sebagai pembanding, jumlah
pengusaha di Singapura telah mencapai 7,2 persen, Malaysia 5 persen, dan
Thailand 4,5 persen. Dengan demikian, untuk mencapai kebangkitan dan kemakmuran
di Indonesia, perlu meningkatkan sepuluh kali lipat atau mencetak lagi sekitar
8 juta start-up (perusahaan rintisan).

Visi kebangkitan nasional ala saudagar juga
terartikulasi dalam pembangunan berbagai infrastruktur yang penting bagi
kegiatan ekonomi. Sayangnya, pembangunan infrastruktur tersebut belum disertai
strategi transformasi teknologi dan persiapan SDM kompeten yang matur atau
matang. Akibatnya, beberapa proyek infrastruktur yang dibangun kurang
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi industri lokal dan perluasan kesempatan
kerja. (*)

 
Meithiana Indrasari, President of
International Council for Small Business (ICSB) Surabaya, wakil rektor
Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru