PADA hari Senin (05/10/2020) lalu, DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Banyak
kalangan yang mengkritik dan memberikan penolakan atas keputusan DPR
ini.Apalagi pengetukan palu yang
terkesan terburu-buru dan Indonesia saat ini yang sedang menghadapi wabah
Covid-19. Bahkan pada saat sidang paripurna yang dilaksanakan tengah malam
untuk pengesahan RUU menjadi UU pun anggota DPR yang menghadiri sidang tidak
memiliki draft final RUU tersebut.Ini membuktikan ketidaksiapan dan keganjilan
dalam pengesahan RUU Cipta Kerja.
Pasal-pasal
di RUU Cipta Kerja yang bermasalah mulai dari klaster Ketenagakerjaan, Lingkungan
Hidup, Pers, dan Pendidikan. Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan
Pancasila yang menjadi ideologi kita selama ini. Bahkan sejak dalam proses
penyusunannya sudah mengabaikan nilai-nilai Pancasila yaitu musyawarah mufakat.
Proses penyusunannya yang tidak terbuka dan tidak partisipatif. Hanya
melibatkan pembuat draft, pemerintah,dan asosiasi pengusaha. Hampir tidak ada
partisipasi publik yaitu serikat buruh, serikat jurnalis, masyarakat adat, dan
lainnya. Hal ini mengakibatkan demonstrasi diberbagai daerah di Indonesia. Ribuan
mahasiswa dan masyarakat menyuarakan aksi protes.
RUU
yang paling banyak mendapat kritikan dan juga penolakan adalah ketenagakerjaan.
RUU ini dianggap melemahkan tiga prinsip dalam hukum ketenagakerjaan yaitu
kepastian pekerjaan,jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial. RUU ini
juga dinilai sangat kurang memberikan perlindungan pada para pekerja, bahkan
sangat mengurangi kesejahteraan yang selama ini didapat para pekerja.
Salah
satu pasal yang dinilai merugikan adalah pasal 77. Pasal 77 dalam UU Cipta
Kerja berbunyi:
1.
Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
2.
Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
3.
Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4.
Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan
adanya pasal ini pemerintah membuka peluang bagi pengusaha untuk mengatur waktu
kerja,menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, tidak
membayar upah sesuai upah minimum, dan bisa memperkerjakan pekerja melebihi
batas ketentuan waktu kerja. Pasal
ini sangat dikhawatirkan akan menjadi celah semakin terbukanya ekploitasi. Pengaturan
waktu yang tidak jelas akan semakin memberatkan para pekerja. Selama ini sudah
banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap
berjalan normal.
Pasal
77 Ayat (3) memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor
tertentu.Adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan
kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu. Para
pekerja dapat diminta untuk bekerja lebih lama dari seharusnya dan menerima
pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor yang
lain.
Pasal-pasal
inilah yang bertentangan dengan sila ke-5 dari Pancasila yaitu Keadilan sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Dimana RUU Cipta Kerja banyak mengurangi kesejahteraan
para pekerja dan menimbulkan keuntungan bagi para investor. Dimana buruh yang
diperkerjakan oleh investor mendapat upah yang lebih sedikit daripada upah yang
selayaknya mereka dapatkan. Sedangkan investor memperkerjakan mendapat upah
yang tinggi.
RUU
Cipta Kerja memang meningkatkan
investasi dan membuka lapangan kerja tapi kesejahteraan para pekerja
juga tidak bisa diabaikan. Hal yang wajar RUU Cipta Kerja ini justru
mendapatkan penolakan keras dari kalangan para pekerja. Sebelum ada RUU Cipta
Kerja sudah banyak kasus yang merugikan para pekerja padahal ada hukum yang
mengatur dalam undang-undang apalagi ketika memberikan ruang bagi para
pengusaha untuk mengatur.
Berdasarkan
beberapa hal diatas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa alangkah baiknya
pasal-pasal di dalam RUU tersebut dievaluasi kembali dan disejajarkan dengan
nilai-nilai Pancasila karena letak sumber hukum yang paling utama negara
Indonesia adalah Pancasila. Masyarakat berharap DPR mengkaji ulang serta
merevisi pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU Cipta Kerja.(*)
(Penulis
adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat)