26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Polisi dan Restorative Justice

KASUS penikaman di Medan berhasil dimediasi oleh jajaran Polrestabes Medan. Kedua pihak dalam peristiwa penikaman itu, yang sebelumnya sama-sama ditetapkan sebagai tersangka, sepakat untuk berdamai dan mengakhiri masalah mereka.

Mediasi antara BS dan BA di Medan dapat dipandang sebagai realisasi salah satu komitmen Kapolri, yakni mengedepankan penuntasan masalah dan keadilan restoratif (restorative justice). Di tengah kecenderungan masyarakat memilih membawa masalah mereka agar ditangani secara pidana formal oleh kepolisian, keberhasilan mediasi di Medan jelas merupakan angin segar. Disebut angin segar karena, pertama, ”keberanian” jajaran Polrestabes Medan dalam mengesampingkan ketentuan hukum formal justru demi tercapainya kemanfaatan hukum yang lebih luhur di tengah masyarakat. Khususnya antarpihak dalam penikaman tersebut.

 

Kedua, berbeda dengan proses pidana konvensional yang mengandung unsur paksa, mediasi mensyaratkan secara mutlak adanya kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan gesekan antarmereka secara kekeluargaan. Pada sisi inilah terbayang keuletan sekaligus pendekatan humanistis jajaran polrestabes dalam menjamah hati BA dan BS. ”Banting setir”-nya BS dan BA, dari semula saling melapor hingga kemudian ikhlas duduk di forum mediasi, tak lepas dari kecerdasan polrestabes dalam mengoreksi psikologis kedua pihak dimaksud.

Dalam forum-forum kajian, sering muncul kesan para peserta diskusi menganggap keadilan restorative –yang diaktualisasi antara lain melalui pendekatan mediasi– sebagai inovasi hukum yang dihasilkan akademisi dan praktisi di negara-negara maju. Diversi dipandang laksana cerminan mentalitas penegak hukum yang progresif. Khalayak pun terpukau oleh serbaneka istilah berbahasa asing semisal family group conferencing, civil citation program, wraparound services, dan banyak lainnya.

 

Merespons itu, patut dibangkitkan kembali keinsafan kolektif bahwa masyarakat Indonesia sejak bermasa-masa silam sejatinya telah mengenal, membuat, dan menyelenggarakan banyak ragam diversi. Dengan kata lain, keadilan restoratif sesungguhnya telah menjadi sumsum dalam cara-cara ulayat masyarakat saat mengatasi pertikaian antarmereka. Perbedaannya cuma satu: masyarakat ulayat Indonesia tidak terbiasa mencatat, apalagi memublikasikan, kekayaan khazanah keadilan restoratif mereka itu. Akibatnya, meruyak salah kaprah. Bahwa penuntasan masalah yang baik haruslah dilakukan lembaga penegakan hukum, akhir setiap problem haruslah di penjara, dan antarpihak haruslah berkonflik selamanya, bahkan hingga turun-temurun.

Baca Juga :  J.E. Sahetapy, sang Kriminolog Korporasi

 

Satu hal yang jarang dibahas, apalagi disampaikan ke pihak-pihak yang dipersuasi agar mau dimediasi, adalah manfaat nyata mediasi itu sendiri. Sorotan tentang nilai tambah diversi selalu bernada klise dan normatif. Pun, tidak tertutup kemungkinan, aparat sendiri tidak cukup berwawasan untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mediasi patut dikedepankan sebagai mekanisme alternatif pemecah pertikaian.

Setidaknya ada tiga manfaat yang bisa dicapai lewat penyelenggaraan diversi. Pertama, diversi merupakan pendekatan dengan biaya yang jauh lebih ekonomis ketimbang pendekatan formal (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga penghukuman). Itu baru sebatas biaya penegakan hukum. Efisiensi anggaran yang begitu signifikan dihasilkan diversi dapat dialihkan ke kegiatan-kegiatan penyadaran hukum masyarakat.

 

Perhitungan penghematan biaya akan semakin besar jika biaya dari lembaga-lembaga lain juga dimasukkan. Dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, misalnya, negara juga harus mengalokasikan biaya pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, biaya perjalanan, dan lainnya. Pos-pos tersebut dapat ditutup, atau setidaknya diminimalkan, manakala kasus anak bisa didiversi.

 

Kedua, peserta diversi secara umum merasakan kepuasan lebih tinggi dari penuntasan masalah melalui diversi. Terlebih ketika diversi menyertakan pembicaraan tentang ganti rugi. Prospek bagi tercapainya kesepakatan ganti rugi itu lebih besar dari diversi daripada jika ”dipaksa” di ruang sidang. Pelaku maupun keluarganya juga memiliki kesempatan lebih lapang untuk mengekspresikan penyesalan, mengucapkan maaf, dan menyampaikan kesungguhan hati untuk menanggung (sebagian) kesusahan pada diri korban maupun keluarganya.

Ketiga, pelaku pidana yang diproses lewat diversi ternyata memiliki tingkat residivisme lebih rendah dibandingkan pelaku yang diproses lewat mekanisme konvensional (formal). Di samping bermanfaat mengurangi risiko korban mengalami viktimisasi berulang, rendahnya residivisme pelaku akan berkontribusi positif bagi terciptanya rasa aman di tengah masyarakat. Pada gilirannya, itu pun akan meringankan kerja personel kepolisian –utamanya petugas bhabinkamtibmas– dalam kerja perlindungan masyarakat.

Baca Juga :  Nobel Ekonomi dan Kenaikan Upah Minimum

Perekrutan dan Pelatihan

 

Komitmen ketujuh Kapolri, yakni problem solving dan restorative justice, menjadi acuan bagi pengembangan sumber daya manusia Polri. Sejak titik hulu Polri perlu berikhtiar keras agar hanya individu-individu bertendensi kekerasan minimal dan berkemampuan komunikasi maksimal yang bisa bergabung sebagai anggota Tribrata. Bukan berarti kondisi-kondisi lain tidak lagi diperlukan. Namun, merupakan fakta bahwa personel dengan kendali emosi yang memadai akan bisa menangkal terjadinya eskalasi ketegangan di lapangan saat berhadapan dengan masyarakat. Ketenangan dan kesabaran juga menjadi aset jiwa yang positif saat personel berupaya melakukan mediasi.

 

Tentu ciri atau keberbakatan yang telah disaring pada tahap seleksi dan perekrutan perlu terus dipupuk. Agar lebih mampu menerapkan komitmen problem solving dan restorative justice, di tingkat pendidikan dan pelatihan personel kepolisian juga perlu semakin dikenalkan pada etiket, keberagaman, dan kepekaan. Materi-materi semacam itu hingga beberapa waktu barangkali akan direspons dengan sebelah mata. Apalagi oleh personel yang masih ber-mindset kuno, yang menganggap keberhasilan kerja mereka lebih ditentukan oleh penggunaan cara represif di lapangan.

Namun, saya percaya, ekspektasi tinggi dari masyarakat dan kesatuan langkah para pejabat (pemikul amanat!) Polri tidak lagi menyediakan ruang bagi segenap insan Tribrata untuk berkelit dari keharusan mempelajari serta menghidupkan sisi-sisi insani tersebut dari keseharian mereka. Kembali ke pokok tulisan ini tentang penyelenggaraan mediasi oleh polisi. Seberapa jauh organisasi dan sumber daya manusia Polri berkesungguhan hati membangkitkan kembali restorative justice sebagai aset penegakan hukum di tanah air. Dukungan eksternal dan penguatan internal adalah kuncinya. (*)

 

*) REZA INDRAGIRI AMRIEL, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

KASUS penikaman di Medan berhasil dimediasi oleh jajaran Polrestabes Medan. Kedua pihak dalam peristiwa penikaman itu, yang sebelumnya sama-sama ditetapkan sebagai tersangka, sepakat untuk berdamai dan mengakhiri masalah mereka.

Mediasi antara BS dan BA di Medan dapat dipandang sebagai realisasi salah satu komitmen Kapolri, yakni mengedepankan penuntasan masalah dan keadilan restoratif (restorative justice). Di tengah kecenderungan masyarakat memilih membawa masalah mereka agar ditangani secara pidana formal oleh kepolisian, keberhasilan mediasi di Medan jelas merupakan angin segar. Disebut angin segar karena, pertama, ”keberanian” jajaran Polrestabes Medan dalam mengesampingkan ketentuan hukum formal justru demi tercapainya kemanfaatan hukum yang lebih luhur di tengah masyarakat. Khususnya antarpihak dalam penikaman tersebut.

 

Kedua, berbeda dengan proses pidana konvensional yang mengandung unsur paksa, mediasi mensyaratkan secara mutlak adanya kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan gesekan antarmereka secara kekeluargaan. Pada sisi inilah terbayang keuletan sekaligus pendekatan humanistis jajaran polrestabes dalam menjamah hati BA dan BS. ”Banting setir”-nya BS dan BA, dari semula saling melapor hingga kemudian ikhlas duduk di forum mediasi, tak lepas dari kecerdasan polrestabes dalam mengoreksi psikologis kedua pihak dimaksud.

Dalam forum-forum kajian, sering muncul kesan para peserta diskusi menganggap keadilan restorative –yang diaktualisasi antara lain melalui pendekatan mediasi– sebagai inovasi hukum yang dihasilkan akademisi dan praktisi di negara-negara maju. Diversi dipandang laksana cerminan mentalitas penegak hukum yang progresif. Khalayak pun terpukau oleh serbaneka istilah berbahasa asing semisal family group conferencing, civil citation program, wraparound services, dan banyak lainnya.

 

Merespons itu, patut dibangkitkan kembali keinsafan kolektif bahwa masyarakat Indonesia sejak bermasa-masa silam sejatinya telah mengenal, membuat, dan menyelenggarakan banyak ragam diversi. Dengan kata lain, keadilan restoratif sesungguhnya telah menjadi sumsum dalam cara-cara ulayat masyarakat saat mengatasi pertikaian antarmereka. Perbedaannya cuma satu: masyarakat ulayat Indonesia tidak terbiasa mencatat, apalagi memublikasikan, kekayaan khazanah keadilan restoratif mereka itu. Akibatnya, meruyak salah kaprah. Bahwa penuntasan masalah yang baik haruslah dilakukan lembaga penegakan hukum, akhir setiap problem haruslah di penjara, dan antarpihak haruslah berkonflik selamanya, bahkan hingga turun-temurun.

Baca Juga :  J.E. Sahetapy, sang Kriminolog Korporasi

 

Satu hal yang jarang dibahas, apalagi disampaikan ke pihak-pihak yang dipersuasi agar mau dimediasi, adalah manfaat nyata mediasi itu sendiri. Sorotan tentang nilai tambah diversi selalu bernada klise dan normatif. Pun, tidak tertutup kemungkinan, aparat sendiri tidak cukup berwawasan untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mediasi patut dikedepankan sebagai mekanisme alternatif pemecah pertikaian.

Setidaknya ada tiga manfaat yang bisa dicapai lewat penyelenggaraan diversi. Pertama, diversi merupakan pendekatan dengan biaya yang jauh lebih ekonomis ketimbang pendekatan formal (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga penghukuman). Itu baru sebatas biaya penegakan hukum. Efisiensi anggaran yang begitu signifikan dihasilkan diversi dapat dialihkan ke kegiatan-kegiatan penyadaran hukum masyarakat.

 

Perhitungan penghematan biaya akan semakin besar jika biaya dari lembaga-lembaga lain juga dimasukkan. Dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, misalnya, negara juga harus mengalokasikan biaya pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, biaya perjalanan, dan lainnya. Pos-pos tersebut dapat ditutup, atau setidaknya diminimalkan, manakala kasus anak bisa didiversi.

 

Kedua, peserta diversi secara umum merasakan kepuasan lebih tinggi dari penuntasan masalah melalui diversi. Terlebih ketika diversi menyertakan pembicaraan tentang ganti rugi. Prospek bagi tercapainya kesepakatan ganti rugi itu lebih besar dari diversi daripada jika ”dipaksa” di ruang sidang. Pelaku maupun keluarganya juga memiliki kesempatan lebih lapang untuk mengekspresikan penyesalan, mengucapkan maaf, dan menyampaikan kesungguhan hati untuk menanggung (sebagian) kesusahan pada diri korban maupun keluarganya.

Ketiga, pelaku pidana yang diproses lewat diversi ternyata memiliki tingkat residivisme lebih rendah dibandingkan pelaku yang diproses lewat mekanisme konvensional (formal). Di samping bermanfaat mengurangi risiko korban mengalami viktimisasi berulang, rendahnya residivisme pelaku akan berkontribusi positif bagi terciptanya rasa aman di tengah masyarakat. Pada gilirannya, itu pun akan meringankan kerja personel kepolisian –utamanya petugas bhabinkamtibmas– dalam kerja perlindungan masyarakat.

Baca Juga :  Nobel Ekonomi dan Kenaikan Upah Minimum

Perekrutan dan Pelatihan

 

Komitmen ketujuh Kapolri, yakni problem solving dan restorative justice, menjadi acuan bagi pengembangan sumber daya manusia Polri. Sejak titik hulu Polri perlu berikhtiar keras agar hanya individu-individu bertendensi kekerasan minimal dan berkemampuan komunikasi maksimal yang bisa bergabung sebagai anggota Tribrata. Bukan berarti kondisi-kondisi lain tidak lagi diperlukan. Namun, merupakan fakta bahwa personel dengan kendali emosi yang memadai akan bisa menangkal terjadinya eskalasi ketegangan di lapangan saat berhadapan dengan masyarakat. Ketenangan dan kesabaran juga menjadi aset jiwa yang positif saat personel berupaya melakukan mediasi.

 

Tentu ciri atau keberbakatan yang telah disaring pada tahap seleksi dan perekrutan perlu terus dipupuk. Agar lebih mampu menerapkan komitmen problem solving dan restorative justice, di tingkat pendidikan dan pelatihan personel kepolisian juga perlu semakin dikenalkan pada etiket, keberagaman, dan kepekaan. Materi-materi semacam itu hingga beberapa waktu barangkali akan direspons dengan sebelah mata. Apalagi oleh personel yang masih ber-mindset kuno, yang menganggap keberhasilan kerja mereka lebih ditentukan oleh penggunaan cara represif di lapangan.

Namun, saya percaya, ekspektasi tinggi dari masyarakat dan kesatuan langkah para pejabat (pemikul amanat!) Polri tidak lagi menyediakan ruang bagi segenap insan Tribrata untuk berkelit dari keharusan mempelajari serta menghidupkan sisi-sisi insani tersebut dari keseharian mereka. Kembali ke pokok tulisan ini tentang penyelenggaraan mediasi oleh polisi. Seberapa jauh organisasi dan sumber daya manusia Polri berkesungguhan hati membangkitkan kembali restorative justice sebagai aset penegakan hukum di tanah air. Dukungan eksternal dan penguatan internal adalah kuncinya. (*)

 

*) REZA INDRAGIRI AMRIEL, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

Terpopuler

Artikel Terbaru