KASUS pelecehan seksual makin meningkat hari demi hari, bahkan tidak jarang kita menyaksikan kejadian pelecehan seksual terjadi di sekitar kita. Pelecehan seksual merupakan sebuah tindakan tercela yang yang melibatkan unsur seksual serta dilakukan secara verbal, fisik, nonverbal maupun melalui dunia maya, sehingga menyebabkan korban yang menerimanya merasa tertekan, tidak nyaman, permasalahan fisik hingga permasalahan psikologis.
Menurut UU No. 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual, pelecehan seksual atau kekerasan seksual sendiri memiliki bentuk yang beragam mulai dari pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu pihak yang teridentifikasi sebagai korban pelecehan seksual adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan atau kerugian sosial yang diakibatkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pelaku pelecehan seksual biasanya berasal dari lingkungan terdekat korban.
Berdasarkan data Kemenpppa tahun 2024 yang dilansir dari https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan tindak pelecehan seksual sudah makin meluas, baik itu dari segi latar belakang korban, usia korban, jenis kelamin korban maupun berbagai unsur lainnya.
Tindak pelecehan seksual sendiri menyebabkan korban harus menanggung dampak fisik ataupun psikologis, belum lagi stigma sosial yang cenderung buruk dari masyarakat disekitarnya.
Mengingat pengalaman pelecehan seksual merupakan sebuah kejadian yang tidak menyenangkan dan berpotensi besar memicu kemunculan trauma dalam diri korban yang mengalaminya. Hal ini makin rumit, karena belakangan ini korban pelecehan seksual juga berisiko terjerat permasalahan hukum.
Keterlibatan korban pelecehan seksual, sehingga bisa sampai terjerat permasalahan hukum disebabkan oleh berbagai motif, seperti halnya memberikan perlawanan berlebihan yang merugikan pelaku pelecehan secara fisik hingga kematian atau melakukan usaha-usaha balas dendam seperti memesan paket palsu yang ditujukan ke alamat pelaku pelecehan selsual atau berbagai motif lainnya.
Bagai terjatuh lalu tertimpa tangga pula, mungkin paribahasa ini cocok mengambarkan situasi korban pelecehan seksual yang terjerat permasalahan hukum. Kondisi ini membuat mereka sangat membutuhkan pendampingan secara khusus dari tenaga profesional kesehatan mental, salah satunya yaitu psikolog.
Sebagai psikolog forensik, kami merasa bangga dan berterima kasih karena turut serta dilibatkan dalam proses pendampingan korban pelecehan seksual yang terjerat permasalahan hukum serta mendapat kesempatan untuk memperoleh pembelajaran yang sangat bermanfaat. Rasa bangga ini muncul karena bidang keilmuan psikologi dapat memberikan dampak positif dan kebermanfaatan yang cukup berarti bagi masyarakat sekitar.
Secara garis besar terdapat sejumlah peran utama psikolog dalam mendampingi korban pelecehan seksual yang terlibat permasalahan hukum, yaitu yang pertama adalah memberikan dukungan psikologis untuk mendorong serta memotivasi korban bangkit dari keterpurukannya. Berdasarkan sejumlah penelitian, seperti studi yang dilakukan oleh Dirgayunita tahun 2016; Chrisholm tahun 2017; Erna tahun 2018.
Pengalaman pelecehan seksual akan menimbulkan berbagai dampak negatif bagi korban yang mengalaminya, seperti jatuhnya harga diri, depresi, gangguan kecemasan, PTSD hingga ke perilaku percobaan bunuh diri. Oleh sebab itu dukungan psikologis perlu diberikan untuk mencegah korban pelecehan seksual mengalami dampak negatif akibat pengalaman traumatisnya.
Peran psikolog kedua dalam mendampingi korban pelecehan seksual yang terlibat permasalahan hukum yaitu menggali, menemukan dan menganalisa motif yang melatarbelakangi tindakan korban pelecehan seksual yang melanggar hukum serta dinamika runtut terkait permasalahan yang sedang dihadapi korban berikut atribut-atribut psikologis dalam diri korban yang mendukung maupun bertentangan dengan tindakan korban pelecehan seksual yang melawan hukum.
Upaya ini dilakukan, guna membantu dan melancarkan proses penyidikan yang tengah dilakukan pihak kepolisian. Peran ketiga, yaitu menyampaikan hasil analisis dan pemeriksaan psikologi yang telah dilakukan kepada korban, sehingga korban bisa lebih memahami dirinya sendiri beserta dinamika yang melatarbelakangi tindakannya selama ini.
Peran terakhir psikolog dalam proses pendampingan korban pelecehan seksual yang terlibat permasalahan hukum, yaitu memberikan edukasi kepada korban terkait langkah hukum apa yang sebaiknya ditempuh selanjutnya, beserta segala konsekuensi yang menyertainya, berdasarkan hasil analisis serta pemeriksaan psikologi korban.
Upaya ini dilakukan guna menghindarkan korban dari keputusan yang berpotensi memberatkan korban atau kesalahan korban dalam memilih jalur hukum akibat keterbatasan pengetahuan. Adapun langkah hukum yang tersedia pada umumnya yaitu diteruskam ke jalur hukum atau memilih melakukan mediasi.
Jalur mediasi hanya dilakukan jika pelecehan seksual yang terjadi atau diduga terjadi serta dilaporkan merupakan jenis pelecehan seksual ringan, seperti pelecehan verbal berupa rayuan maupun sentuhan yang tidak mengarah secara langsung ke bagian-bagian seksual, namun menyebabkan ketidaknyaman dan ketakutan dalam diri korban.
Keterbatasan bukti, dapat meningkatkan risiko negatif bila korban tetap memilih diteruskan ke jalur hukum. Namun secara garis besar keputusan final tetap diserahkan kepada korban. Dalam hal ini peran psikolog sebatas mengedukasi dan memberikan informasi sebagai dasar bagi korban untuk menimbang keputusan.
Terjun dan menangani secara langsung kasus-kasus forensik, bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh sebab itu dalam melakukan pekerjaan mulia ini, terdapat beberapa tantangan, diantaranya mengingat pendampingan dan penanganan kasus-kasus psikologi forensik membutuhkan waktu yang panjang, maka diperlukan ketekunan tersendiri dalam menjalaninya, jangan sampai berhenti maupun stagnan di tengah jalan.
Terutama ketika mendapat kendala dalam menemukan motif atau dinamika kejadian. Biasanya korban cenderung bercerita tidak secara runtut, maka tugas psikolog seperti menyusun puzzle, sehingga dapat terintegrasi menjadi kesatuan cerita yang utuh.
Terkadang, pada situasi-situasi yang sangat penat, maka sebaiknya psikolog maupun korban harus menyempatkan waktu beristirahat sejenak untuk menenangkan pikiran dan mengembalikan fokus serta konsentrasi.
Upaya ini berguna untuk mencegah kemunculan kesalahan dalam menganalisis kasus maupun ketidaknyamanan dari sisi korban akibat terlalu lelah. Ketidaknyaman dalam diri korban akan membuat korban menjadi tertutup dan sulit mengungkap hal-hal penting terkait dinamika permasalahannya.
Oleh sebab itu pekerjaan dibidang psikologi forensik ini membutuhkan pengalaman dan jam terbang yang tinggi dalam menangani kasus-kasus psikologi forensik serupa, guna benar-benar memahami kondisi dan situasi dilapangan, sehingga membantu para psikolog untuk mengetahui dan menentukan cara bersikap, cara merespon, cara beradaptasi serta langkah-langkah penting yang harus diambil saat berada dilapangan bersama korban.
Bagi para psikolog muda, maupun calon psikolog yang hendak menekuni dunia psikologi forensik, diharapkan untuk tekun, bersikap objektif dan netral, sehingga menghindari asumsi pribadi yang belum tentu benar masuk kedalam proses analisis kasus. Empati memang penting tetapi, jangan sampai karena empati, justru menjerumuskan psikolog ke emosi pribadinya dan terhambat dalam melihat realitas dan fakta.
Asumsi pribadi yang tidak mengacu pada fakta dan realitas akan menghambat proses penggalian motif dan penyusunan dinamika permasalahan dalam menangani kasus-kasus forensik dilapangan.
Para calon psikolog forensik juga wajib menonjolkan penerimaan tanpa syarat, kontak mata, bahasa tubuh dan atribut lainnya saat mendampingi korban pelecehan seksual yang terlibat permasalahan hukum, guna menciptakan suasana yang nyaman dalam diri korban tersebut.
*) Artikel ini ditulis bersama oleh Dr. Rr. Amanda Pasca Rini, M.Si., Psikolog, Amherstia Pasca Rina, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Dr. Devi Puspitasari, S. Psi., M.Psi., Psikolog, Drs. Herlan Pratikto, MSi., Psikolog, dan Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi., Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya