SEJAK diresmikan pada 30 Maret 2021 oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Bandara Haji Muhammad Sidik di Desa Trinsing, Kecamatan Teweh Selatan, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah tersedia alternatif pilihan untuk mempersingkat waktu perjalanan menuju beberapa kota-kota di sekitar hanya dalam waktu kurang lebih 1 (satu) jam.
Sebelumnya, apabila mau menuju kota-kota di sekitarnya memerlukan waktu berjam-jam. Seperti untuk ke kota Palangkaraya memakan waktu sekitar 7 (tujuh) jam, ke kota Balikpapan sekitar 12 (dua belas jam) perjalanan, ke kota Banjarmasin dapat ditempuh dalam waktu sekitar 10 (sepuluh) jam dan ke kota Samarinda membutuhkan waktu kurang lebih 14 (empat belas) jam perjalanan darat.
Bandara Haji Muhammad Sidik memiliki desain infrastuktur bangunan terminal bandara modern dan megah yang beronamen dan bercorak khas Dayak. Luas terminal bandara ini adalah 1.250 meter persegi dan dapat menampung sekitar 55.000 penumpang per tahun. Panjang runway sekitar 1.400 meter dengan lebar 30 meter sehingga dapat didarati pesawat jenis ATR 72.
Penumpang juga disediakan jejeran kursi ruang tunggu bandara yang sangat nyaman dan terdapat spot instagramable di ruang tunggu untuk berfoto selfie. Pandangan kita juga bebas menatap apron sepanjang 110, 25 meter dan lebar 80 meter serta taxiway sepanjang 173 meter dan lebar 18 meter dari kaca jendela bandara Haji Muhammad Sidik.
Pemerintah gencar melaksanakan revitalisasi bandara-bandara kecil dan menengah yang dapat meningkatkan standar operasional bandara. Pembangunan dan pengembangan bandara banyak dilaksanakan di Bumi Tambun Bungai, julukan Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Kotawaringin Timur akan mengembangkan bandara H. Asan di Sampit dan Kabupaten Kotawaringin Barat juga akan membangun bandara baru. Perpanjangan landasan juga sedang dikerjakan di Bandara Iskandar di Pangkalan Bun, Bandara Kuala Kurun di Kabupaten Gunung Mas, Bandara Kuala Pembuang di Kabupaten Seruyan, Bandara Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya dan Bandara Sanggu di Kabupaten Barito Selatan.
Kita perlu bangga bahwa pertumbuhan bandara telah meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, memperbaiki kesenjangan ekonomi dan disparitas harga, mendorong logistik negara, membangkitkan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru dan pergerakan pariwisata, pertambangan emas, batubara dan kelapa sawit di Bumi Tambun Bungai. Betul-betul kehadirannya memberikan nilai tambah bagi masyarakat dari seluruh penjuru tanah air. Dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur yang berarti membangun peradaban tidak boleh lagi Jawasentris tetapi harus Indonesiasentris.
Seperti Bandara Haji Muhammad Sidik sendiri telah menjadi titik konektivitas kargo dan penumpang serta mendukung food estate yang berada di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas dengan produksi jagungnya. Jarak Kabupaten Barito Utara dengan kedua kabupaten tersebut yang sekitar dua ratusan kilometer menjadi tak bermasalah. Lebih-lebih Bandara Haji Muhammad Sidik lokasinya berdekatan dengan tambang emas dan batu bara milik sembilan perusahaan serta dapat membuka akses ke objek wisata seperti Bumi Perkemahan Panglima Batur, Danau Trinsing dan Danau Butong di Kabupaten Barito Utara. Warga dari Provinsi Kalimantan Timur pun dapat dengan mudah terkoneksi dengan warga dari Provinsi Kalimantan Tengah karena telah tersedia pesawat charter milik Airfast yang melayani rute Balikpapan- Muara Teweh (pulang pergi).
Sementara itu landasan pacu sepanjang 3000 meter sudah bisa didarati pesawat jenis Airbus 330-300 di Bandara Tjilik Riwut di Kota Palangraya. Ini juga merupakan bandara kebanggaan masyarakat Kalimantan Tengah dan menjadi ikon baru Bumi Tambun Bungai. Bandara ini mempunyai terminal baru seluas 29.124 meter persegi dan dapat menampung 4.400.000 orang per tahun sejak dioperasikan pertama kali pada tanggal 28 Maret 2019 dengan menggunakan dana keseluruhan sekitar Rp. 700 miliar.
Selanjutnya yang tak kalah mengagumkan adalah keberadaan Bandara Syamsudin Noor di Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Terminal baru bandara ini mempunyai luas yang fantastis yaitu 77.569 meter persegi yaitu 8 (delapan) kali lebih luas jika dibandingkan terminal yang lama. Budaya Kalimantan Selatan yang mengusung konsep “Jewel of Borneo” begitu lekat menjadi desain bandara berpadu ornamen berbentuk intan permata dengan bentuk atap gedung terminal menyerupai perahu jukung sebagai gambaran keunikan pasar terapung di Sungai Barito. Sungguh menjadi kebanggaan terhadap kekayaan tanah Kalimantan yang dapat memupuk kesadaran nasionalisme berbangsa dan bernegara. Bandara Tjilik Riwut di Kota Palangkaraya dan Bandara Syamsudin Noor di Banjarmasin menjadi pintu masuk warga dari luar pulau Kalimantan.
Tidak heran jika masyarakat dari berbagai suku bekerja di Kota Air, Muara Teweh yang berasal dari pulau lain seperti Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi baik bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) maupun profesi pekerja tambang, perkebunan dan perdagangan. Mereka memiliki rasa pertautan, persatuan dan kemitraan meskipun mempunyai ragam perbedaan dan rela berbagi substansi bersama dan hidup damai penuh toleransi sejalan dengan filosofi Huma Betang (hidup damai dan rukun dalam satu “Rumah Besar”). Rumah fisik bangsa perlu terus dibangun seirama dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) agar terhindar dari pengkotak-kotakkan atau retakan-retakan dalam arsitektur bangsa. Inilah yang disebut sebagai kebajikan sivilitas (the virtue of civility) demi menjaga keragaman yang menjadi kekayaan budaya yang tak terperi. Semua berkat pembangunan infrastruktur bandara yang telah membuka lebar interaksi sosial yang menjadi katalis dan integrasi nasional atau pemersatu bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk tentu kita menginginkan pemerataan karena ingin tumbuh bersama dan sejahtera bersama dan tetap berupaya meningkatan daya saing.
Saat ini telah 76 tahun Indonesia merdeka. Dirgahayu Republik Indonesia. Lagu Indonesia Raya akan mengingatkan kita kembali: Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Selain pembangunan SDM di era globalisasi dengan lalu lintas modal,manusia dan barang yang semakin luas cakupannnya dan penetrasinya ini, membangun hubungan antar-wilayah berarti membuat karpet merah untuk Indonesia maju yang dapat mempersatukan bangsa dan menjalin konektivitas antar pulau, provinsi dan kabupaten atau kota seluruh Indonesia. Kini tak perlu ada daerah yang merasa terisolasi dan tertinggal berkat pembangunan infrastruktur. ***
(YOGYANTORO. Pendidik dan Freelance Writer, tinggal di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah)