POPULASI penduduk dunia diprediksi mengalami
kenaikan hingga 9,8 miliar pada 2050. Pertambahan populasi ini akan mendorong
peningkatan kebutuhan yang besar terhadap pangan, air, dan energi. Pandemi
Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini menyadarkan umat manusia untuk
menyiapkan berbagai upaya dan terobosan menghadapi berbagai ancaman krisis,
terutama krisis pangan.
Di Indonesia, pangan merupakan isu strategis
di masa sekarang dan masa yang akan datang. Sebab, pangan, baik dari sisi
produksi, distribusi, maupun konsumsi, sangat erat kaitannya dengan dimensi
sosial, ekonomi, dan politik rakyat. Pendek kata, pangan merupakan urusan yang
sangat strategis dan kompleks, yang keberadaannya ikut menentukan masa depan
bangsa dan negara.
Sistem pangan nasional melibatkan sistem
pertanian, sistem industri, sistem logistik dan pergudangan, sistem distribusi
dan perdagangan, serta sistem kelembagaan pangan. Tiap-tiap sistem tersebut
ditopang oleh sub-sub sistem dan komponen-komponen sistem yang beragam.
Sistem pangan nasional yang kompleks yang
didukung berbagai subsistem penopang dalam prosesnya juga melibatkan
bermacam-macam aktor dengan kepentingan-kepentingannya yang beragam, yang
kadang kala tak sejalan atau bahkan saling berkompetisi antara satu dengan yang
lainnya. Kebijakan dalam sistem pangan nasional sebagai sebuah kebijakan publik
juga lahir melalui hasil dari proses interaksi antaraktor. Kompetisi antaraktor
dengan ragam kepentingan ini tentu tidak gampang dikelola di tengah kewajiban
negara (pemerintah) menjamin adanya kontinuitas ketersediaan pangan untuk
rakyat.
Kunci Ancaman Krisis
Ketahanan pangan tentu menjadi kunci untuk
menghadapi ancaman krisis pangan di masa depan. Berbagai upaya telah dilakukan
Indonesia untuk meningkatkan ketahanan pangan, seperti penyediaan pupuk
bersubsidi, pembangunan infrastruktur irigasi, penyediaan bibit, benih, kredit,
dan berbagai input lainnya.
Upaya terbaru adalah mengembangkan kawasan
food estate di sejumlah daerah yang akan menjadi kawasan pertanian yang
dikelola mulai hulu hingga hilir, mulai tanam hingga penjualan, yang dilakukan
secara sinergi dan berkelanjutan. Food estate di Kalimantan Tengah akan
dikembangkan untuk padi dan singkong. Di Sumatera Utara dikembangkan untuk
bawang merah, bawang putih, dan kentang. Food estate di Nusa Tenggara Timur
(NTT) akan dikembangkan untuk padi dan jagung. Ke depan, kawasan food estate
perlu diperluas seperti di Sulawesi untuk kedelai dan jagung serta pengembangan
padi di Maluku, termasuk Pulau Buru.
Pemerintah juga telah menerapkan manajemen
kebijakan pangan terhadap komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai,
gula, daging sapi, minyak goreng, bawang merah, bawang putih, daging dan telur
ayam, serta tepung terigu. Global Food Security Index secara komprehensif
menetapkan indeks ketahanan pangan lingkup internasional memiliki tiga dimensi.
Yaitu, keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), serta
kualitas dan keamanan (quality and safety).
Ketersediaan, akses (keterjangkauan), dan
kualitas (keamanan) pangan bagi 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia menjadi
kerja sepanjang waktu yang harus dipenuhi pemerintah. Untuk memenuhinya,
diperlukan desain kebijakan dan manajemen pengelolaan pangan yang tepat sesuai
dengan kondisi empirik di lapangan.
Untuk itu, sedikitnya ada enam aspek yang
harus hadir agar ketahanan pangan yang kuat bisa terwujud. Yaitu, kesesuaian
iklim, kecocokan topografi wilayah, pengembangan sumber daya manusia (SDM)
petani, pemanfaatan teknologi, peta eksisting pangan, rencana perluasan on-farm
dan off-farm ke depan, serta dukungan kebijakan daerah untuk swasembada.
Kesesuaian iklim dengan upaya mewujudkan
ketahanan pangan bisa dilihat dengan kasatmata. Saat iklim kondusif dengan
komoditas pangan, hasil yang akan diperoleh akan berbanding lurus, yaitu
produksi pangan yang tinggi. Hal sebaliknya terjadi, ketika iklim tidak cocok,
produksi tanaman pangan akan menurun drastis.
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia dilewati
garis Khatulistiwa dengan iklim tropis dua musim. Wilayah bagian selatan banyak
mengalami musim kemarau dan wilayah bagian utara sering mengalami musim hujan.
Karena itu, komoditas pangan yang dikembangkan harus disesuaikan dengan iklim
yang ada.
Indonesia merupakan negara dengan kondisi
topografi wilayah yang beraneka ragam, mulai dataran rendah, dataran tinggi,
hingga pegunungan. Daerah dataran rendah cocok untuk pengembangan padi, jagung,
dan kedelai. Sementara dataran tinggi cocok untuk sayur-sayuran dan
hortikultura.
Data BPS tahun 2018 menyebutkan jumlah petani
Indonesia sebanyak 33.487.806 orang. Untuk daerah dengan kepadatan penduduk
tinggi seperti Jawa, NTT, dan NTB, pengembangan food estate dengan
menggabungkan pendekatan manual dan teknologi menjadi pilihan terbaik.
Pemanfaatan teknologi mempercepat tumbuhnya
agroindustri pangan lokal dan berbagai inovasi secara simultan sesuai kebutuhan
pasar. Untuk daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, pengembangan
food estate lebih tepat dilakukan dengan pendekatan teknologi dan korporasi.
Peta eksisting pangan juga sangat dibutuhkan
mengingat keberadaan lahan dan luasannya di Indonesia yang terus berubah. Peta
eksisting pangan ini penting menjadi pertimbangan pengembangan kawasan
komoditas pangan andalan. Karena itu, peta eksisting pangan untuk 34 provinsi
menjadi kebutuhan mendesak yang perlu disiapkan sedini mungkin.
Rencana perluasan on-farm yang dilakukan
dalam lahan budi daya dan off-farm melalui proses pengolahan, pemasaran, dan
distribusinya menjadi aspek penting memperkuat ketahanan pangan. Perluasan
on-farm dan off-farm bisa ditempuh dengan membangun suatu pola kemitraan petani
dengan institusi pemasaran yang difasilitasi oleh pemerintah atau model
korporasi pertanian.
Jika enam pendekatan tersebut disiapkan
dengan baik dan dikelola dengan manajemen kebijakan pangan yang tepat, kami
meyakini upaya pemerintah dalam menghadirkan ketahanan pangan yang kuat dan
berkelanjutan dapat terwujud. (*)
Soekarwo, Anggota Dewan Pertimbangan
Presiden Republik Indonesia