31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Harmonisasi Regulasi Perpajakan

KECEPATAN mobilitas orang, barang, dan jasa saat ini belum cukup dinamis diantisipasi oleh berbagai regulasi, termasuk di antaranya regulasi sektor perpajakan. Orang bisa menghindari pajak secara lintas yurisdiksi. Regulasi perpajakan lambat merespons eksistensi bisnis digital dan transaksi dengan e-commerce. Bahkan, ketika regulasi perpajakan mengantisipasi dengan kerja sama sektor perpajakan lintas negara, wajib pajak masih bisa menghindar dengan berbagai perilaku penghindaran pajak lainnya. Sejauh ini regulasi perpajakan kita masih menggunakan Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), padahal tidak semua penghindaran pajak bisa dijangkau dengan SAAR.

Saat dunia kian mencemaskan karena diliputi ancaman bencana perubahan iklim, pajak bisa kita gunakan sebagai dewa penolong. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi akibat pola produksi dan konsumsi yang kita lakukan, pengenaan pajak karbon diharapkan mendorong perubahan produksi dan konsumsi kita. Sehingga laju peningkatan GRK dapat kita tekan.

Masalah lain lingkungan yang timbul adalah sampah plastik, bahkan menjadi The Great Pacific Garbage Patch, salah satunya juga andil kita. Jurus kita memperbaiki sampah plastik di Pasifik salah satunya penyempurnaan regulasi pajak cukai. Sayang, pada usul pemerintah, plastik sebagai barang kena cukai belum dimasukkan.

Dalam lanskap yang lebih besar, pajak adalah instrumen strategis bagi fiskal negara. Layaknya part of vehicle, bila sistem perpajakan tidak paripurna, komponen itu tidak sempurna pula menopang fiskal negara. Bila fiskal tidak sempurna, ketangguhannya menjadi instrumen penggerak pembangunan juga tidak bekerja dengan maksimal. Salah satu indikator perpajakan yang baik adalah makin kompatibelnya dengan pertumbuhan ekonomi.

Kita bandingkan saja di level ASEAN, rasio pajak Indonesia salah satu yang terendah. Indonesia masih di kisaran 9–11 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Thailand sudah di kisaran 16–18 persen PDB mereka. Sedangkan Laos, Singapura, dan Malaysia pada kisaran 12–14 persen PDB mereka.

Baca Juga :  Idulfitri, Silaturahmi, dan Kerukunan

Sistem perpajakan yang canggih layaknya radar yang canggih. Eksistensinya mampu melihat segala hal, mampu menjangkau jarak yang luas, tidak terikat oleh waktu, tidak mudah dikelabui oleh berbagai penyamaran secanggih apa pun, dan terus kompatibel dengan kemajuan karena terus dilakukan penyempurnaan lebih cepat. Pendek kata, sistem perpajakan yang baik mampu menjangkau tatanan masa depan dan mengantisipasi berbagai kejahatan serta perilaku pajak yang menyimpang.

Berdasar latar belakang keadaan inilah DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan harmonisasi seluruh regulasi perpajakan. Dalam rangka itu segenap regulasi perlu disempurnakan dan perlu dibuat untuk menopangnya. Antara lain Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP TCP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), UU Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pengaturan mengenai program pengungkapan sukarela wajib pajak dan pajak karbon, serta UU Cukai.

Penyempurnaan Perpajakan

Isu utama dari harmonisasi regulasi perpajakan bertujuan: (1) meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; (2) mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan (5) meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Untuk menjalankan mandat dari tujuan-tujuan di atas, konstruksi dari arah kebijakan untuk penyempurnaan perpajakan melalui regulasi harmonisasi perpajakan antara lain: (1) kerja sama lintas yurisdiksi, (2) peningkatan kepatuhan wajib pajak, (3) implementasi tindak pidana perpajakan, (4) pengaturan PPh, (5) pengaturan mengenai general anti avoidance, (6) alternative minimum tax, (7) pengaturan PPN, (8) pajak karbon, dan (9) pengurangan serta penambahan objek cukai.

Dari sembilan arah kebijakan di atas, saya melihat beberapa hal penting bisa berjalan maksimal bila ada komitmen berbagai pihak, khususnya negara lain dan dunia internasional. Pertama, pengaturan kerja sama antaryurisdiksi amat penting karena ada kelemahan perpajakan kita terkait hal ini. Otoritas perpajakan kita selalu menghadapi jalan buntu bila ada penagihan pajak antaryurisdiksi. Usaha penagihan oleh Ditjen Pajak malah dianggap pelanggaran oleh otoritas setempat.

Baca Juga :  Mural Politik dan Perebutan Ruang Publik

Estimasi yang dilakukan oleh Tax Justice Network memperkirakan sekitar USD 21 triliun hingga USD 32 triliun kekayaan global disembunyikan di luar yurisdiksi (offshore). Kerja sama pengaturan perpajakan lintas yurisdiksi menjadi agenda utama kita, selain menjalankan asas resiprokal, beragam pengaturan hendak kita perbaiki melalui harmonisasi perpajakan.

Kedua, sistem perpajakan kita bersifat self reporting. Sistem itu berjalan maksimal bila kepatuhan wajib pajak berjalan dengan baik, khususnya yang terkait dengan wajib pajak dalam negeri di mana aset disimpan dalam sistem keuangan di luar negeri. Langkah pemberlakuan ultimum remedium dan memperkuat administrasi perpajakan saya kira tidak cukup bila berbagai celah penghindaran pajak dan banyaknya yurisdiksi lain menjadi wilayah tax haven. Menyangkut hal ini, Indonesia harus menjadi pelopor untuk perang melawan berbagai pihak yang memberlakukan low tax jurisdiction. Upaya ini hanya bisa berjalan maksimal melalui kerja sama dan komitmen internasional.

 

Ketiga, pemberlakuan pajak karbon dan cukai tidak bisa kita maknai hanya sebagai upaya penambahan penerimaan pajak. Pajak karbon dan cukai kita masukkan dalam harmonisasi regulasi perpajakan adalah bentuk komitmen kita pada pengurangan bencana perubahan iklim. Karena arahnya adalah perbaikan ekologi global, tentu komitmen Indonesia saja tidak cukup. Jika kita lacak ke belakang, pajak karbon dan cukai adalah upaya Indonesia lebih serius pascaratifikasi Paris Agreement. Buktinya, dari 175 negara yang menandatangani Paris Agreement, sejauh ini baru 15 negara yang telah meratifikasinya. (*)

M.H. SAID ABDULLAH, Ketua Badan Anggaran DPR RI

KECEPATAN mobilitas orang, barang, dan jasa saat ini belum cukup dinamis diantisipasi oleh berbagai regulasi, termasuk di antaranya regulasi sektor perpajakan. Orang bisa menghindari pajak secara lintas yurisdiksi. Regulasi perpajakan lambat merespons eksistensi bisnis digital dan transaksi dengan e-commerce. Bahkan, ketika regulasi perpajakan mengantisipasi dengan kerja sama sektor perpajakan lintas negara, wajib pajak masih bisa menghindar dengan berbagai perilaku penghindaran pajak lainnya. Sejauh ini regulasi perpajakan kita masih menggunakan Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), padahal tidak semua penghindaran pajak bisa dijangkau dengan SAAR.

Saat dunia kian mencemaskan karena diliputi ancaman bencana perubahan iklim, pajak bisa kita gunakan sebagai dewa penolong. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi akibat pola produksi dan konsumsi yang kita lakukan, pengenaan pajak karbon diharapkan mendorong perubahan produksi dan konsumsi kita. Sehingga laju peningkatan GRK dapat kita tekan.

Masalah lain lingkungan yang timbul adalah sampah plastik, bahkan menjadi The Great Pacific Garbage Patch, salah satunya juga andil kita. Jurus kita memperbaiki sampah plastik di Pasifik salah satunya penyempurnaan regulasi pajak cukai. Sayang, pada usul pemerintah, plastik sebagai barang kena cukai belum dimasukkan.

Dalam lanskap yang lebih besar, pajak adalah instrumen strategis bagi fiskal negara. Layaknya part of vehicle, bila sistem perpajakan tidak paripurna, komponen itu tidak sempurna pula menopang fiskal negara. Bila fiskal tidak sempurna, ketangguhannya menjadi instrumen penggerak pembangunan juga tidak bekerja dengan maksimal. Salah satu indikator perpajakan yang baik adalah makin kompatibelnya dengan pertumbuhan ekonomi.

Kita bandingkan saja di level ASEAN, rasio pajak Indonesia salah satu yang terendah. Indonesia masih di kisaran 9–11 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Thailand sudah di kisaran 16–18 persen PDB mereka. Sedangkan Laos, Singapura, dan Malaysia pada kisaran 12–14 persen PDB mereka.

Baca Juga :  Idulfitri, Silaturahmi, dan Kerukunan

Sistem perpajakan yang canggih layaknya radar yang canggih. Eksistensinya mampu melihat segala hal, mampu menjangkau jarak yang luas, tidak terikat oleh waktu, tidak mudah dikelabui oleh berbagai penyamaran secanggih apa pun, dan terus kompatibel dengan kemajuan karena terus dilakukan penyempurnaan lebih cepat. Pendek kata, sistem perpajakan yang baik mampu menjangkau tatanan masa depan dan mengantisipasi berbagai kejahatan serta perilaku pajak yang menyimpang.

Berdasar latar belakang keadaan inilah DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan harmonisasi seluruh regulasi perpajakan. Dalam rangka itu segenap regulasi perlu disempurnakan dan perlu dibuat untuk menopangnya. Antara lain Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP TCP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), UU Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pengaturan mengenai program pengungkapan sukarela wajib pajak dan pajak karbon, serta UU Cukai.

Penyempurnaan Perpajakan

Isu utama dari harmonisasi regulasi perpajakan bertujuan: (1) meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; (2) mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan (5) meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Untuk menjalankan mandat dari tujuan-tujuan di atas, konstruksi dari arah kebijakan untuk penyempurnaan perpajakan melalui regulasi harmonisasi perpajakan antara lain: (1) kerja sama lintas yurisdiksi, (2) peningkatan kepatuhan wajib pajak, (3) implementasi tindak pidana perpajakan, (4) pengaturan PPh, (5) pengaturan mengenai general anti avoidance, (6) alternative minimum tax, (7) pengaturan PPN, (8) pajak karbon, dan (9) pengurangan serta penambahan objek cukai.

Dari sembilan arah kebijakan di atas, saya melihat beberapa hal penting bisa berjalan maksimal bila ada komitmen berbagai pihak, khususnya negara lain dan dunia internasional. Pertama, pengaturan kerja sama antaryurisdiksi amat penting karena ada kelemahan perpajakan kita terkait hal ini. Otoritas perpajakan kita selalu menghadapi jalan buntu bila ada penagihan pajak antaryurisdiksi. Usaha penagihan oleh Ditjen Pajak malah dianggap pelanggaran oleh otoritas setempat.

Baca Juga :  Mural Politik dan Perebutan Ruang Publik

Estimasi yang dilakukan oleh Tax Justice Network memperkirakan sekitar USD 21 triliun hingga USD 32 triliun kekayaan global disembunyikan di luar yurisdiksi (offshore). Kerja sama pengaturan perpajakan lintas yurisdiksi menjadi agenda utama kita, selain menjalankan asas resiprokal, beragam pengaturan hendak kita perbaiki melalui harmonisasi perpajakan.

Kedua, sistem perpajakan kita bersifat self reporting. Sistem itu berjalan maksimal bila kepatuhan wajib pajak berjalan dengan baik, khususnya yang terkait dengan wajib pajak dalam negeri di mana aset disimpan dalam sistem keuangan di luar negeri. Langkah pemberlakuan ultimum remedium dan memperkuat administrasi perpajakan saya kira tidak cukup bila berbagai celah penghindaran pajak dan banyaknya yurisdiksi lain menjadi wilayah tax haven. Menyangkut hal ini, Indonesia harus menjadi pelopor untuk perang melawan berbagai pihak yang memberlakukan low tax jurisdiction. Upaya ini hanya bisa berjalan maksimal melalui kerja sama dan komitmen internasional.

 

Ketiga, pemberlakuan pajak karbon dan cukai tidak bisa kita maknai hanya sebagai upaya penambahan penerimaan pajak. Pajak karbon dan cukai kita masukkan dalam harmonisasi regulasi perpajakan adalah bentuk komitmen kita pada pengurangan bencana perubahan iklim. Karena arahnya adalah perbaikan ekologi global, tentu komitmen Indonesia saja tidak cukup. Jika kita lacak ke belakang, pajak karbon dan cukai adalah upaya Indonesia lebih serius pascaratifikasi Paris Agreement. Buktinya, dari 175 negara yang menandatangani Paris Agreement, sejauh ini baru 15 negara yang telah meratifikasinya. (*)

M.H. SAID ABDULLAH, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Terpopuler

Artikel Terbaru