25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Idulfitri, Silaturahmi, dan Kerukunan

Oleh YAQUT CHOLIL QOUMAS, Menteri Agama

UMAT Islam akan mengakhiri ibadah puasa Ramadan dan bersiap menyambut Hari Raya Idul Fitri 1444 H/2023 M. Ada sesuatu yang hilang saat berpisah dengan bulan puasa, tetapi bukan tidak bahagia saat Lebaran tiba.

Atmosfer Ramadan betul-betul ajaib. Ia sanggup menjadikan seseorang saleh ritual-sosial begitu sempurna. Kita begitu ringan melakukan berbagai kebaikan. Manisnya beribadah di bulan suci ini begitu terasa.

Rasanya baru kemarin umat Islam menyambut Ramadan. Rasanya belum banyak amal saleh yang kita kerjakan, tetapi tiba-tiba kita segera meninggalkannya. Kesedihan ini makin terasa kalau-kalau kita tidak berjumpa dengan bulan penuh berkah ini pada tahun depan. Setelah selama sebulan menjalani ibadah puasa, saatnya umat Islam meraih kemenangan di hari raya.

Secara etimologis, Idul Fitri bermakna kembali pada kesucian. Jika puasa kita efektif dan makbul, Ramadan menjadi tempat pembakaran nafsu hewani manusia. Ramadan menjadi bulan penyuci jiwa dari kotoran hati yang menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Sebagai manusia, manusia sudah seharusnya bertindak layaknya manusia dan memanusiakan manusia lainnya.

Melalui ritual puasa, manusia dilatih mengasah ketajaman batinnya untuk berempati kepada yang papa dan merasakan penderitaan haus-lapar secara langsung. Amalan berbagi seperti zakat, infak, sedekah, atau menyediakan berbuka bagi yang berpuasa merupakan ibadah insaniyyah-ijtimaiyyah yang manjur untuk mewujudkan kemanusiaan sejati.

Rasanya, jika kita mampu berpuasa sebulan penuh, mengisi Ramadan dengan salat Tarawih, tadarus, zakat, infak, dan sedekah seraya menjaga agar pahala Ramadan kita tidak sia-sia atau berkurang, patut kita merayakan Lebaran. Jika puasa ibarat perang melawan hawa nafsu, Idul Fitri merupakan selebrasi kemenangan umat Islam.

Baca Juga :  Setelah FPI Dibubarkan, Lalu Apa?

Kekuatan Silaturahmi

Idul Fitri menjadi penanda berakhirnya ibadah puasa. Memperbanyak membaca takbir, tahmid, dan tahlil pada malam 1 Syawal serta diakhiri dengan salat Id merupakan syariat Idul Fitri. Sebelum salat Id dilaksanakan, umat Islam jangan lupa membayar zakat untuk menyucikan diri (zakat fitrah) dan harta kita (zakat mal). Zakat yang terakhir dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu momen Lebaran.

Yang sering kita lupa, bergembira saat Idul Fitri juga bagian dari anjuran syariat Islam. Karena itulah, Idul Fitri disebut hari raya. Nabi melarang umatnya bersedih pada hari itu. Zakat fitrah menjadi medium intervensi Islam agar umat tidak bersedih saat Lebaran.

Mereka layak bergembira setelah sukses berpuasa selama sebulan dan dijanjikan oleh Allah SWT akan diampuni semua dosanya (isyhadu anni qad gafartu lahum). Ampunan dari Allah SWT ini tentu patut disyukuri dan dirayakan.

Di luar ritual syariat di atas, masyarakat juga mengkreasi ritus sosial yang mengiringi Idul Fitri. Istilah yang digunakan berbeda-beda, tetapi merujuk ikhtiar menyambung tali silaturahmi dan saling memaafkan dengan jaringan sosialnya.

Lebaran, halalbihalal (HBH), unjung (berkunjung) atau badan (dari kata bakda pasa, lalu disingkat jadi bada), open house, dan istilah lainnya merupakan kreasi untuk memaknai Idul Fitri lebih inklusif. Pertemuan itu berlangsung lintas agama dan keyakinan. Belum lagi acara Syawalan yang isinya melulu hiburan dan keramaian rakyat.

Merawat Kerukunan

Paling tidak, mudik memiliki dua makna. Secara spiritual-filosofis, mudik berkaitan dengan pertanyaan tentang sangkan paraning dumadi. Dari mana manusia berasal, untuk apa manusia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Sejauh-jauhnya seorang pergi, ia pasti akan kembali. Tuhan merupakan tempat kembalinya seluruh alam semesta. Keluarga menjadi tempat teduh setelah lelah bepergian.

Baca Juga :  Dua Triliun…tapi Bo’ong

 

Mudik juga bermakna sosiologis, yakni merawat dan menjaga silaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan teman-teman agar tetap terhubung.

Secara sosiologis, kekuatan silaturahmi sungguh luar biasa. Silaturahmi mampu menyatukan yang terpisah. Ia juga dapat mendamaikan pihak yang sedang berkonflik. Silaturahmi sanggup merukunkan berbagai tipe orang dan kelompok yang sedang bermasalah. Silaturahmi bisa meringankan pekerjaan yang berat. Silaturahmi dapat menyatupadukan kekuatan seluruh elemen bangsa untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat.

Karena itu, secara teologis, silaturahmi merupakan perintah Islam (QS Al Ra’d: 21) dan berarti larangan berbuat sebaliknya. Bahkan, dalam hadis (HR Bukhari, 6138), kewajiban menyambung tali silaturahmi dihubungkan dengan keimanan kepada Allah SWT dan hari akhir. Ini artinya, iman seseorang diragukan bila ia memutus silaturahmi.

Konsekuensinya, jika mudik adalah silaturahmi, mudik merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan. Dari sini, kita mudah memahami mengapa umat Islam mau bersusah payah melakukan perjalanan mudik yang mahal dan melelahkan itu.

Dalam konteks bangsa yang plural, Idul Fitri merupakan momentum penting untuk merajut persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwwah wathaniyyah), lebih-lebih jelang Pemilu 2024. Orientasi politik yang berbeda dapat berpotensi mengganggu keharmonisan hidup bangsa. Situasinya bisa lebih mengkhawatirkan bila ditambah dengan penggunaan politik identitas agama.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H/2023 M. Mohon maaf lahir dan batin. (*)

Oleh YAQUT CHOLIL QOUMAS, Menteri Agama

UMAT Islam akan mengakhiri ibadah puasa Ramadan dan bersiap menyambut Hari Raya Idul Fitri 1444 H/2023 M. Ada sesuatu yang hilang saat berpisah dengan bulan puasa, tetapi bukan tidak bahagia saat Lebaran tiba.

Atmosfer Ramadan betul-betul ajaib. Ia sanggup menjadikan seseorang saleh ritual-sosial begitu sempurna. Kita begitu ringan melakukan berbagai kebaikan. Manisnya beribadah di bulan suci ini begitu terasa.

Rasanya baru kemarin umat Islam menyambut Ramadan. Rasanya belum banyak amal saleh yang kita kerjakan, tetapi tiba-tiba kita segera meninggalkannya. Kesedihan ini makin terasa kalau-kalau kita tidak berjumpa dengan bulan penuh berkah ini pada tahun depan. Setelah selama sebulan menjalani ibadah puasa, saatnya umat Islam meraih kemenangan di hari raya.

Secara etimologis, Idul Fitri bermakna kembali pada kesucian. Jika puasa kita efektif dan makbul, Ramadan menjadi tempat pembakaran nafsu hewani manusia. Ramadan menjadi bulan penyuci jiwa dari kotoran hati yang menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Sebagai manusia, manusia sudah seharusnya bertindak layaknya manusia dan memanusiakan manusia lainnya.

Melalui ritual puasa, manusia dilatih mengasah ketajaman batinnya untuk berempati kepada yang papa dan merasakan penderitaan haus-lapar secara langsung. Amalan berbagi seperti zakat, infak, sedekah, atau menyediakan berbuka bagi yang berpuasa merupakan ibadah insaniyyah-ijtimaiyyah yang manjur untuk mewujudkan kemanusiaan sejati.

Rasanya, jika kita mampu berpuasa sebulan penuh, mengisi Ramadan dengan salat Tarawih, tadarus, zakat, infak, dan sedekah seraya menjaga agar pahala Ramadan kita tidak sia-sia atau berkurang, patut kita merayakan Lebaran. Jika puasa ibarat perang melawan hawa nafsu, Idul Fitri merupakan selebrasi kemenangan umat Islam.

Baca Juga :  Setelah FPI Dibubarkan, Lalu Apa?

Kekuatan Silaturahmi

Idul Fitri menjadi penanda berakhirnya ibadah puasa. Memperbanyak membaca takbir, tahmid, dan tahlil pada malam 1 Syawal serta diakhiri dengan salat Id merupakan syariat Idul Fitri. Sebelum salat Id dilaksanakan, umat Islam jangan lupa membayar zakat untuk menyucikan diri (zakat fitrah) dan harta kita (zakat mal). Zakat yang terakhir dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu momen Lebaran.

Yang sering kita lupa, bergembira saat Idul Fitri juga bagian dari anjuran syariat Islam. Karena itulah, Idul Fitri disebut hari raya. Nabi melarang umatnya bersedih pada hari itu. Zakat fitrah menjadi medium intervensi Islam agar umat tidak bersedih saat Lebaran.

Mereka layak bergembira setelah sukses berpuasa selama sebulan dan dijanjikan oleh Allah SWT akan diampuni semua dosanya (isyhadu anni qad gafartu lahum). Ampunan dari Allah SWT ini tentu patut disyukuri dan dirayakan.

Di luar ritual syariat di atas, masyarakat juga mengkreasi ritus sosial yang mengiringi Idul Fitri. Istilah yang digunakan berbeda-beda, tetapi merujuk ikhtiar menyambung tali silaturahmi dan saling memaafkan dengan jaringan sosialnya.

Lebaran, halalbihalal (HBH), unjung (berkunjung) atau badan (dari kata bakda pasa, lalu disingkat jadi bada), open house, dan istilah lainnya merupakan kreasi untuk memaknai Idul Fitri lebih inklusif. Pertemuan itu berlangsung lintas agama dan keyakinan. Belum lagi acara Syawalan yang isinya melulu hiburan dan keramaian rakyat.

Merawat Kerukunan

Paling tidak, mudik memiliki dua makna. Secara spiritual-filosofis, mudik berkaitan dengan pertanyaan tentang sangkan paraning dumadi. Dari mana manusia berasal, untuk apa manusia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Sejauh-jauhnya seorang pergi, ia pasti akan kembali. Tuhan merupakan tempat kembalinya seluruh alam semesta. Keluarga menjadi tempat teduh setelah lelah bepergian.

Baca Juga :  Dua Triliun…tapi Bo’ong

 

Mudik juga bermakna sosiologis, yakni merawat dan menjaga silaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan teman-teman agar tetap terhubung.

Secara sosiologis, kekuatan silaturahmi sungguh luar biasa. Silaturahmi mampu menyatukan yang terpisah. Ia juga dapat mendamaikan pihak yang sedang berkonflik. Silaturahmi sanggup merukunkan berbagai tipe orang dan kelompok yang sedang bermasalah. Silaturahmi bisa meringankan pekerjaan yang berat. Silaturahmi dapat menyatupadukan kekuatan seluruh elemen bangsa untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat.

Karena itu, secara teologis, silaturahmi merupakan perintah Islam (QS Al Ra’d: 21) dan berarti larangan berbuat sebaliknya. Bahkan, dalam hadis (HR Bukhari, 6138), kewajiban menyambung tali silaturahmi dihubungkan dengan keimanan kepada Allah SWT dan hari akhir. Ini artinya, iman seseorang diragukan bila ia memutus silaturahmi.

Konsekuensinya, jika mudik adalah silaturahmi, mudik merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan. Dari sini, kita mudah memahami mengapa umat Islam mau bersusah payah melakukan perjalanan mudik yang mahal dan melelahkan itu.

Dalam konteks bangsa yang plural, Idul Fitri merupakan momentum penting untuk merajut persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwwah wathaniyyah), lebih-lebih jelang Pemilu 2024. Orientasi politik yang berbeda dapat berpotensi mengganggu keharmonisan hidup bangsa. Situasinya bisa lebih mengkhawatirkan bila ditambah dengan penggunaan politik identitas agama.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H/2023 M. Mohon maaf lahir dan batin. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru