KEBAKARAN di tangki kilang PT Pertamina
Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (29/3), mengindikasikan lemahnya
manajemen risiko operasional produksi korporasi pelat merah. Apa pun penyebab
kebakaran kilang tersebut (seperti dugaan tersambar petir), tidak seharusnya
terjadi jika korporasi yang hampir berusia 64 tahun ini terus melakukan
improvement yang berkelanjutan. Utamanya dalam mengidentifikasi ragam risiko
bahaya yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Publik tentu kaget dan cukup kecewa jika
salah satu perusahaan kebanggaannya masih bisa mengalami kebakaran hebat yang
berdampak luas terhadap ragam stakeholders. Kerugian akibat kebakaran ini bukan
sekadar potensi kehilangan produksi sebesar 400.000 barel. Tetapi juga dampak
buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Dampaknya bukan hanya
mengganggu suplai kebutuhan bahan bakar bagi masyarakat. Melainkan juga
hancurnya infrastruktur Pertamina Balongan yang pembangunannya butuh sumber
daya dan biaya yang tidak sedikit.
Perlu diingat, proyek industri tambang
seperti Pertamina memiliki kompleksitas operasional yang tinggi. Karena itu,
dibutuhkan kajian risiko bahaya dari interdisipliner keilmuan. Seperti
teknologi industri, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya.
Misalnya, jika terjadi kebakaran tidak seharusnya
menimbulkan risiko bahaya bagi warga sekitar. Apalagi sampai menimbulkan
korban. Pertamina sebagai perusahaan besar di republik ini tidak sepatutnya
menerapkan sistem manajemen risiko berstandar umum yang bergantung pada nilai
kontingensi dalam harga kontrak atau hanya berurusan dengan risiko jika bahaya
sudah terjadi. Toh, dengan model seperti itu, risiko yang terjadi pun tak
langsung bisa dimitigasi tuntas.
Selama ini, Pertamina memang sudah berupaya
menanggulangi kebakaran atau menurunkan risiko bahaya berdasar ketentuan
pemerintah dan standar nasional Indonesia (SNI) serta National Fire Protection
Association (NFPA). Namun, saat Pertamina yang semakin besar dan kian rentan
dengan risiko (termasuk bencana alam atau tersambar petir), sudah saatnya
mereka mengidentifikasi ragam risiko dalam kilang minyaknya lewat studi
literatur. Kajian dan data tentang risiko tambang minyak sudah banyak dibahas
dalam jurnal-jurnal internasional.
Memang, kejadian dan tingkat keparahan faktor
risiko di Pertamina sangat bergantung pada karakteristik operasional dan
kondisi lingkungannya. Namun, identifikasi risiko kebakaran atau bahaya lainnya
sejak awal harus dilakukan dengan memakai data riset atau berdasar studi
literatur pertambangan minyak.
Bahkan, kajian manajemen risiko pada
operasional industri tambang minyak sudah sepatutnya diakui sebagai disiplin
formal (bukan hanya menurut standar Pertamina). Ini agar pengelolaan risiko
memiliki kualitas paling akurat karena di dalamnya terdapat konsensus manajemen
yang terbaik dari ragam ilmuwan.
Citra Korporasi Global
Pertamina sudah sepatutnya terus menaikkan
keakuratan dan kualitas pencegahan risiko dengan melaksanakan empat hal.
Pertama, tingkat kualitas analisis risiko jangan hanya didorong kemampuan alat
dan teknik yang tersedia di Pertamina. Tetapi didorong visi keselamatan ragam
stakeholders, termasuk visi kelestarian lingkungan hidup global.
Kedua, ruang lingkup manajemen risiko di
Pertamina tidak sepatutnya terbatas atau cenderung berkonsentrasi pada rentang
waktu dan target biaya tertentu. Pertamina harus merumuskan anggaran manajemen
risiko berdasar tingkat risiko yang terdapat dalam operasionalnya, bukan pada
target efisiensi. Pengelolaan risiko bahaya yang hanya melihat pada efisiensi
anggaran justru semakin melahirkan potensi-potensi bahaya yang kian sulit
teridentifikasi sejak dini.
Ketiga, membangun manajemen risiko yang
terintegrasi dengan seluruh aspek operasional di Pertamina. Mulai arah
kebijakan RUPS, audit dewan komisaris, direksi, hingga seluruh staf/karyawan
(total quality risk management). Manajemen risiko di Pertamina jangan hanya
dianggap sebagai kegiatan spesialis yang dilakukan para ahli yang menggunakan
alat dan teknik khusus. Seluruh pihak di Pertamina harus ikut berinisiatif dan
memiliki ruang informasi dalam penemuan risiko bahaya hingga tersampaikan ke
direksi sebagai pengambil keputusan eksekusi terkait pencegahan atau mitigasi
risiko operasional.
Dengan demikian, semua pihak ikut merasakan
manfaat dari penerapan pengelolaan risiko. Sebaliknya, pengelolaan risiko yang
tidak terintegrasi akan menghasilkan identifikasi bahaya yang tidak dapat
digunakan secara tepat (atau sama sekali tak berguna).
Keempat, Pertamina harus meningkatkan
kedalaman analisis risiko bahaya sesuai dengan kian luasnya konsensus
pengelolaan risiko saat ini. Kedalaman analisis risiko di Pertamina dapat
ditingkatkan dengan pengembangan teknologi yang jauh lebih canggih. Bahkan
seharusnya bisa menganalisis jangkauan sambaran petir serta fungsionalitas
teknik maupun integrasi antarunit operasional yang terus ditingkatkan.
Selain itu, Pertamina perlu menggunakan
kemampuan teknologi informasi yang lebih canggih. Misalnya, penggunaan
kecerdasan buatan, sistem pakar atau sistem berbasis pengetahuan, untuk
melahirkan jenis analisis baru terhadap risiko. Juga, pengembangan teknik dari
disiplin ilmu lain untuk diterapkan dalam arena beragam risiko.
Misalnya, Pertamina
perlu mengintegrasikan manajemen nilai, dinamika sistem dalam tambang migas,
serta kegiatan usaha dengan proses analisis keselamatan dan bahaya yang ada di
sekitarnya. Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan besar di Indonesia yang
pernah masuk daftar Fortune Global 500 pada 2019 (urutan ke-175). Karena itu,
sudah seharusnya mereka masuk kategori korporasi paling akurat dan canggih
dalam mencegah maupun mengatasi risiko-risiko bahaya dalam seluruh aktivitas
usahanya.