31.8 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

KPAI Sebut Akibat Keegoisan Guru dan Sekolah, Banyak Siswa Putus Sekol

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Pada masa pandemi virus corona (Covid-19),
banyak siswa mengalami tekanan secara psikologis hingga putus sekolah karena
berbagai masalah yang muncul selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
daring.

Komisioner Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, bahwa
mayoritas dari mereka yang putus sekolah ditenggarai frustasi karena tidak bisa
mengakses pembelajaran daring.

“Banyak anak tidak bisa mengakses
PJJ secara daring, sehingga banyak dari mereka yang tidak naik kelas sampai
putus sekolah,” kata Retno di Jakarta, Kamis (23/7).

Retno mengungkapkan, bahwa
sepanjang PJJ KPAI menerima sejumlah pengaduan yang menunjukkan guru dan
sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum.

Padahal, berdasarkan Surat Edaran
(SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020
menyebutkan, selama PJJ, guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum
karena keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran dan lingkungan yang dapat
menjadi kendala selama proses pembelajaran.

“Faktanya justru banyak guru
tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus-menerus
pada siswa selama PJJ,” ujarnya.

Retno menduga, akibat keegoisan
sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum itu, banyak siswa merasa
terbebani hingga mengalami tekanan secara psikologi, tidak naik kelas, bahkan
sampai putus sekolah.

“Padahal, siswa kelelahan dan
tertekan merupakan bentuk kekerasan juga,” imbuhnya

Retno mencontohkan, adanya kasus
anak yang dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan selama PJJ.
Kemudian, ada juga siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ atau
mengikuti ujian secara daring.

“Yang paling parah adalah
anak-anak berkebutuhan khusus yang nyaris tidak terlayani oleh pendidikan,”
tegasnya.

Baca Juga :  Warga Indonesia Gugat Israel ke Pengadilan Internisional,Tebak Siapa?

Contoh lainnya lagi, lanjut
Retno, seorang siswa di salah satu SMA Negeri DKI Jakarta mengalami kelelahan
dan stres saat mengerjakan tugas-tugas sekolah. Terutama, pada tugas mata
pelajaran kimia.

“Siswa tersebut sudah berusaha
menyelesaikan tugas-tugas berat dengan waktu pengerjaan yang pendek. Tetapi,
karena kelelahan, siswa tersebut jatuh sakit hingga harus dilarikan ke IGD
salah satu rumah sakit,” tuturnya.

Retno menambahkan, ada juga siswa
SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur, berinisial RVR yang dilaporkan tidak naik
kelas karena tidak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara
daring.

Padahal, siswa tersebut tidak
bisa ikut ujian karena komputer jinjing miliknya rusak. Nilai akhir siswa
tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).
Adapun lima mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan
Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika.

“Ada faktor kerusakan perangkat,
keterbatasan kuota, masalah sinyal dan hambatan teknis lainnya. Mestinya
sekolah bersikap bijak dan tidak bertindak semaunya,” katanya.

KPAI juga menerima laporan, salah
satu SMKN di Jawa Timur tidak menaikkan siswa karena tidak menyerahkan
tugas-tugas selama PJJ daring. Di sisi lain, orang tua siswa yang bersangkutan
berkukuh bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktu penyerahannya
sudah mendekati tenggat.

Orang tua tersebut mengatakan
selama pandemi, tidak ada interaksi antara guru dengan siswa. Para siswa hanya
diberi penugasan. Orang tua siswa tersebut kemudian dipanggil oleh sekolah.

Baca Juga :  57 Pegawai KPK yang Dipecat Tanpa Uang Pensiun dan Pesangon

“Kemudian, sekolah itu mengatakan
akan memberi kelonggaran jika bersedia dimasukkan sebagai Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK), karena anak tersebut memiliki IQ 89 dan kesulitan dalam menulis,
padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis,” tuturnya.

Namun, lanjut Retno menjelaskan,
bahwa orang tuanya mengaku bahwa anaknya memiliki kemampuan verbal dan
psikomotor yang baik. Anak tersebut kemudian menjadi tertekan secara psikologis
karena dirinya dianggap sebagai anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, orang tua
siswa tersebut lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.

“Jika kehadiran yang dipakai
sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana
dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti
PJJ secara daring,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Sekjen
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menilai, kesenjangan yang
terjadi selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa menurukan kualitas
pendidikan.

Sebab, masih banyak daerah yang
masih sulit mengakses internet dan listrik. Ada 46 ribu satuan pendidikan
selama PJJ tidak mendapatkan layanan pendidikan daring. Ini belum termasuk yang
tidak memiliki gawai.

“Pendidikan kita kualitasnya
jelas akan menurun,” kata Satriwan.

Satriwan menuturkan, PJJ
menunjukkan adanya ketimpangan pendidikan. Sebab, siswa-siswa yang berada di
kota-kota besar dengan akses internet bagus sangat mudah mengakses pembelajaran
secara daring. Namun, hal itu berbading terbalik di daerah-daerah terpencil.

“Di pedalaman NTT, di Alor,
Ngada, Jayawijaya, persoalan listrik, akses internet, gawai juga. Itu membuat
semrawut, kondisi ini membuat pendidikan kita tidak berkualitas,” pungkasnya.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Pada masa pandemi virus corona (Covid-19),
banyak siswa mengalami tekanan secara psikologis hingga putus sekolah karena
berbagai masalah yang muncul selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
daring.

Komisioner Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, bahwa
mayoritas dari mereka yang putus sekolah ditenggarai frustasi karena tidak bisa
mengakses pembelajaran daring.

“Banyak anak tidak bisa mengakses
PJJ secara daring, sehingga banyak dari mereka yang tidak naik kelas sampai
putus sekolah,” kata Retno di Jakarta, Kamis (23/7).

Retno mengungkapkan, bahwa
sepanjang PJJ KPAI menerima sejumlah pengaduan yang menunjukkan guru dan
sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum.

Padahal, berdasarkan Surat Edaran
(SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020
menyebutkan, selama PJJ, guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum
karena keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran dan lingkungan yang dapat
menjadi kendala selama proses pembelajaran.

“Faktanya justru banyak guru
tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus-menerus
pada siswa selama PJJ,” ujarnya.

Retno menduga, akibat keegoisan
sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum itu, banyak siswa merasa
terbebani hingga mengalami tekanan secara psikologi, tidak naik kelas, bahkan
sampai putus sekolah.

“Padahal, siswa kelelahan dan
tertekan merupakan bentuk kekerasan juga,” imbuhnya

Retno mencontohkan, adanya kasus
anak yang dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan selama PJJ.
Kemudian, ada juga siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ atau
mengikuti ujian secara daring.

“Yang paling parah adalah
anak-anak berkebutuhan khusus yang nyaris tidak terlayani oleh pendidikan,”
tegasnya.

Baca Juga :  Warga Indonesia Gugat Israel ke Pengadilan Internisional,Tebak Siapa?

Contoh lainnya lagi, lanjut
Retno, seorang siswa di salah satu SMA Negeri DKI Jakarta mengalami kelelahan
dan stres saat mengerjakan tugas-tugas sekolah. Terutama, pada tugas mata
pelajaran kimia.

“Siswa tersebut sudah berusaha
menyelesaikan tugas-tugas berat dengan waktu pengerjaan yang pendek. Tetapi,
karena kelelahan, siswa tersebut jatuh sakit hingga harus dilarikan ke IGD
salah satu rumah sakit,” tuturnya.

Retno menambahkan, ada juga siswa
SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur, berinisial RVR yang dilaporkan tidak naik
kelas karena tidak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara
daring.

Padahal, siswa tersebut tidak
bisa ikut ujian karena komputer jinjing miliknya rusak. Nilai akhir siswa
tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).
Adapun lima mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan
Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika.

“Ada faktor kerusakan perangkat,
keterbatasan kuota, masalah sinyal dan hambatan teknis lainnya. Mestinya
sekolah bersikap bijak dan tidak bertindak semaunya,” katanya.

KPAI juga menerima laporan, salah
satu SMKN di Jawa Timur tidak menaikkan siswa karena tidak menyerahkan
tugas-tugas selama PJJ daring. Di sisi lain, orang tua siswa yang bersangkutan
berkukuh bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktu penyerahannya
sudah mendekati tenggat.

Orang tua tersebut mengatakan
selama pandemi, tidak ada interaksi antara guru dengan siswa. Para siswa hanya
diberi penugasan. Orang tua siswa tersebut kemudian dipanggil oleh sekolah.

Baca Juga :  57 Pegawai KPK yang Dipecat Tanpa Uang Pensiun dan Pesangon

“Kemudian, sekolah itu mengatakan
akan memberi kelonggaran jika bersedia dimasukkan sebagai Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK), karena anak tersebut memiliki IQ 89 dan kesulitan dalam menulis,
padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis,” tuturnya.

Namun, lanjut Retno menjelaskan,
bahwa orang tuanya mengaku bahwa anaknya memiliki kemampuan verbal dan
psikomotor yang baik. Anak tersebut kemudian menjadi tertekan secara psikologis
karena dirinya dianggap sebagai anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, orang tua
siswa tersebut lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.

“Jika kehadiran yang dipakai
sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana
dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti
PJJ secara daring,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Sekjen
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menilai, kesenjangan yang
terjadi selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa menurukan kualitas
pendidikan.

Sebab, masih banyak daerah yang
masih sulit mengakses internet dan listrik. Ada 46 ribu satuan pendidikan
selama PJJ tidak mendapatkan layanan pendidikan daring. Ini belum termasuk yang
tidak memiliki gawai.

“Pendidikan kita kualitasnya
jelas akan menurun,” kata Satriwan.

Satriwan menuturkan, PJJ
menunjukkan adanya ketimpangan pendidikan. Sebab, siswa-siswa yang berada di
kota-kota besar dengan akses internet bagus sangat mudah mengakses pembelajaran
secara daring. Namun, hal itu berbading terbalik di daerah-daerah terpencil.

“Di pedalaman NTT, di Alor,
Ngada, Jayawijaya, persoalan listrik, akses internet, gawai juga. Itu membuat
semrawut, kondisi ini membuat pendidikan kita tidak berkualitas,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru