26.7 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Syarat Calon Pilkada digugat ke MK

JAKARTA–Jelang pembukaan
masa pendaftaran calon kepala daerah 4 September mendatang, gugatan terkait norma
pencalonan di ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan diajukan dua warga Solo,
Johan Syafaat dan Almas Tsaqibbirru yang bertindak sebagai ketua-sekretaris Paguyuban
Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP).

Keduanya menggugat pasal
7 ayat 2 huruf I UU Pilkada yang mengatur syarat pencalonan. Dalam pasal tersebut
disebutkan, salah satu syarat calon kepala daerah adalah tidak pernah melakukan
perbuatan tercela. Dalam lampiranya UU tersebut dijelaskan, yang dimaksud perbuatan
tercela adalah Judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, berzinah dan perbuatan melanggar
kesusilaan lainnya.

Johan menjelaskan, semestinya
frasa perbuatan tercela tidak hanya terbatas pada pelanggaran hukum pidana. Melainkan
harus diperluas pada norma yang ada di masyarakat. Termasuk norma etika berdemokrasi.
Salah satu perbuatan yang dinilai tidak dapat ditoleransi adalah pernah mengkampanyekan/mengajak
orang untuk golput.

Baca Juga :  Jangan Khawatir, Kemendikbud Pastikan Data Pribadi Penerima Kuota Grat

“Perbuatan ini adalah perbuatan
tercela dalam demokrasi karena tidak memberikan contoh baik bagi masyarakat sehingga
tidak layak dipilih menjadi pemimpin,” ujarnya dalam laman MK, kemarin (21/8).

Johan menambahkan, orang
yang mengajak seseorang tidak menggunakan hak pilih pada pilkada sebelumnya, namun
maju pada Pilkada selanjutnya melanggar etika. Dia menilai sebagai contoh buruk.
Sebab hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan bangsa.

“Hanya ingin menggunakan
hak dipilihnya saja tetapi tidak ingin menggunakan hak pilihnya,” imbuhnya. Kampanye
golput, lanjut dia, juga dapat menurunkan angka partisipasi pemilih. Sehingga berdampak
pada penurunan kualitas maupun legitimasi terhadap hasil Pilkada.

Hal itu, bertentangan dengan
alinea ke 4 UUD 1945 yang mengamanatkan sistem demokrasi yang baik dan bertanggung
jawab. Kemudian melanggar pasal 28 D ayat 1, 3 tentang jaminan kepastian hukum dan
hak yang sama, serta pasal 18 ayat 4 soal Pilkada demokratis.

Baca Juga :  Komisi III DPR Tolak 4 Calon Hakim Agung, Ini Alasannya

Oleh karenanya, dia berharap
MK membatalkan frasa perbuatan tercela dalam pasal 7 ayat 2 huruf I UU Pilkada.
“Sepanjang tidak dimaknai termasuk perbuatan mengajak, menghalangi atau menghasut
seseorang untuk tidak menggunakan hak pilih,” tuturnya.

Sementara itu, gugatan itu
sendiri berkejaran dengan masa pendaftaran pencalonan. Jika menilik PKPU tentang
tahapan, pendaftaran dibuka 4-6 september 2020, maka waktu yang tersisa hanya sekitar
dua pekan.

Sebelumnya, Jubir MK Fajar Laksono mengatakan, kecepatan
penanganan perkara menjadi kewenangan penuh para hakim konstitusi. Namun dia memastikan,
dalam menangani perkara, para hakim MK selalu mempertimbangkan berbagai faktor termasuk
agenda ketatanegaraan. “MK mempertimbangkan,” pungkasnya.

JAKARTA–Jelang pembukaan
masa pendaftaran calon kepala daerah 4 September mendatang, gugatan terkait norma
pencalonan di ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan diajukan dua warga Solo,
Johan Syafaat dan Almas Tsaqibbirru yang bertindak sebagai ketua-sekretaris Paguyuban
Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP).

Keduanya menggugat pasal
7 ayat 2 huruf I UU Pilkada yang mengatur syarat pencalonan. Dalam pasal tersebut
disebutkan, salah satu syarat calon kepala daerah adalah tidak pernah melakukan
perbuatan tercela. Dalam lampiranya UU tersebut dijelaskan, yang dimaksud perbuatan
tercela adalah Judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, berzinah dan perbuatan melanggar
kesusilaan lainnya.

Johan menjelaskan, semestinya
frasa perbuatan tercela tidak hanya terbatas pada pelanggaran hukum pidana. Melainkan
harus diperluas pada norma yang ada di masyarakat. Termasuk norma etika berdemokrasi.
Salah satu perbuatan yang dinilai tidak dapat ditoleransi adalah pernah mengkampanyekan/mengajak
orang untuk golput.

Baca Juga :  Jangan Khawatir, Kemendikbud Pastikan Data Pribadi Penerima Kuota Grat

“Perbuatan ini adalah perbuatan
tercela dalam demokrasi karena tidak memberikan contoh baik bagi masyarakat sehingga
tidak layak dipilih menjadi pemimpin,” ujarnya dalam laman MK, kemarin (21/8).

Johan menambahkan, orang
yang mengajak seseorang tidak menggunakan hak pilih pada pilkada sebelumnya, namun
maju pada Pilkada selanjutnya melanggar etika. Dia menilai sebagai contoh buruk.
Sebab hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan bangsa.

“Hanya ingin menggunakan
hak dipilihnya saja tetapi tidak ingin menggunakan hak pilihnya,” imbuhnya. Kampanye
golput, lanjut dia, juga dapat menurunkan angka partisipasi pemilih. Sehingga berdampak
pada penurunan kualitas maupun legitimasi terhadap hasil Pilkada.

Hal itu, bertentangan dengan
alinea ke 4 UUD 1945 yang mengamanatkan sistem demokrasi yang baik dan bertanggung
jawab. Kemudian melanggar pasal 28 D ayat 1, 3 tentang jaminan kepastian hukum dan
hak yang sama, serta pasal 18 ayat 4 soal Pilkada demokratis.

Baca Juga :  Komisi III DPR Tolak 4 Calon Hakim Agung, Ini Alasannya

Oleh karenanya, dia berharap
MK membatalkan frasa perbuatan tercela dalam pasal 7 ayat 2 huruf I UU Pilkada.
“Sepanjang tidak dimaknai termasuk perbuatan mengajak, menghalangi atau menghasut
seseorang untuk tidak menggunakan hak pilih,” tuturnya.

Sementara itu, gugatan itu
sendiri berkejaran dengan masa pendaftaran pencalonan. Jika menilik PKPU tentang
tahapan, pendaftaran dibuka 4-6 september 2020, maka waktu yang tersisa hanya sekitar
dua pekan.

Sebelumnya, Jubir MK Fajar Laksono mengatakan, kecepatan
penanganan perkara menjadi kewenangan penuh para hakim konstitusi. Namun dia memastikan,
dalam menangani perkara, para hakim MK selalu mempertimbangkan berbagai faktor termasuk
agenda ketatanegaraan. “MK mempertimbangkan,” pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru