26.3 C
Jakarta
Tuesday, April 15, 2025

Tiga Ibu Ajukan Permohonan Uji Materil UU Narkotika

PROKALTENG.CO – Ketentuan UU Narkotika yang melarang penggunaan
Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi
oleh 3 orang ibu dari anak dengan Cerebral
Palsy
.

Narkotika Golongan I yang salah
satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional
mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk
pengobatan dan pelayanan kesehatan  di
banyak negara.

WHO bahkan dalam rekomendasinya
pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam
pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). Bahkan beberapa
senyawa ganja direkomendasikan dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.

Dalam rangka memperingati Hari
Kesehatan Nasional, koalisi masyarakat sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu
dari anak-anak dengan Cerebral Palsy,
yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan
koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah
Konstitusi.

Melalui rilisnya yang diterima kaltengpos.co, Jumat (20/11/2020), Koalisi
Masyarakat Sipil “Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan” menjelaskan, para
pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk
pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan
Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin
hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan
memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C
ayat 1).

Baca Juga :  Anggota DPR Usulkan Kades Dapat Insentif Hingga Dana Pensiun

Para pemohon perseorangan terdiri
dari tiga orang ibu yang masing-masing anaknya didiagnosa dengan Cerebral Palsy. Salah satu anak tersebut
sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan
sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia,
pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan.

Oleh karena adanya larangan
penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia, menjadi
penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan sehingga kualitas kesehatan
dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak
dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat
dijangkau.

Selain pemohon perseorangan
tersebut, beberapa lembaga non-pemerintah juga bergabung sebagai para pemohon
dalam uji materil ini yakni ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang selama
ini banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika.

Sebagaimana diketahui,
pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan
multitafsir telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk juga menyasar
orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan. Hal
ini misalnya terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus
terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei
2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah
ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin
ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca Juga :  Selamat Jalan Memo, We Will Forever Miss You

Para pemohon meminta MK agar
mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan
Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi.
Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk
diubah dengan mencabut defenisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi,
dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini
diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali
ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga
dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan
narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan
hukum pidana.

Kebijakan narkotika sudah saatnya
mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan
masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan
semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan
dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong
adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali
pemanfaatan narkotika di Indonesia.

PROKALTENG.CO – Ketentuan UU Narkotika yang melarang penggunaan
Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi
oleh 3 orang ibu dari anak dengan Cerebral
Palsy
.

Narkotika Golongan I yang salah
satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional
mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk
pengobatan dan pelayanan kesehatan  di
banyak negara.

WHO bahkan dalam rekomendasinya
pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam
pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). Bahkan beberapa
senyawa ganja direkomendasikan dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.

Dalam rangka memperingati Hari
Kesehatan Nasional, koalisi masyarakat sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu
dari anak-anak dengan Cerebral Palsy,
yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan
koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah
Konstitusi.

Melalui rilisnya yang diterima kaltengpos.co, Jumat (20/11/2020), Koalisi
Masyarakat Sipil “Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan” menjelaskan, para
pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk
pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan
Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin
hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan
memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C
ayat 1).

Baca Juga :  Anggota DPR Usulkan Kades Dapat Insentif Hingga Dana Pensiun

Para pemohon perseorangan terdiri
dari tiga orang ibu yang masing-masing anaknya didiagnosa dengan Cerebral Palsy. Salah satu anak tersebut
sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan
sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia,
pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan.

Oleh karena adanya larangan
penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia, menjadi
penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan sehingga kualitas kesehatan
dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak
dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat
dijangkau.

Selain pemohon perseorangan
tersebut, beberapa lembaga non-pemerintah juga bergabung sebagai para pemohon
dalam uji materil ini yakni ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang selama
ini banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika.

Sebagaimana diketahui,
pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan
multitafsir telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk juga menyasar
orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan. Hal
ini misalnya terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus
terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei
2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah
ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin
ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca Juga :  Selamat Jalan Memo, We Will Forever Miss You

Para pemohon meminta MK agar
mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan
Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi.
Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk
diubah dengan mencabut defenisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi,
dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini
diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali
ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga
dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan
narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan
hukum pidana.

Kebijakan narkotika sudah saatnya
mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan
masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan
semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan
dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong
adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali
pemanfaatan narkotika di Indonesia.

Terpopuler

Artikel Terbaru