29 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

Kasus Suap Komisioner KPU, Politikus PDIP Ini Salahkan MA

PDI Perjuangan seakan tengah mencari kambing hitam dalam kasus suap
yang membelit Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) nonaktif Wahyu Setiawan.
Putusan Mahkamah Agung (MA) ditengarai sebagai penyebabnya.

Adian Napitupulu menyebut dugaan
suap antara mantan caleg PDI Perjuangan Harun Masiku dan Wahyu Setiawan tak bakal
terjadi tanpa adanya putusan MA. Tindak pidana tersebut sebelumnya diungkap
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menetapkan Harun dan Wahyu,
serta mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan pihak swasta Saeful
sebagai tersangka.

Putusan yang memberikan diskresi
terhadap pimpinan partai politik (parpol) untuk menunjuk kader terbaik sebagai
Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR itu, disebut politisi PDI Perjuangan
itu, sebagai akar dari kasus korupsi ini. Menurut Adian, MA mesti menjelaskan
terkait hal tersebut.

“Ya, MA harus jelaskan. Karena
menurut saya ini akarnya. Kalo tidak ada keputusan MA itu, tidak akan ada surat
dari PDI Perjuangan yang kedua, ketiga, dan sebagainya,” kata Adian dalam
diskusi bertajuk ‘Ada Apa di Balik Kasus Wahyu?’ di kawasan Tebet, Jakarta,
Minggu (19/1).

Adian mengatakan, putusan itu
menumbuhkan harapan dalam diri Harun Masiku untuk menjadi Anggota DPR
menggantikan caleg terpilih PDI Perjuangan Nazarudin Kiemas yang meninggal
dunia pada Maret 2019 lalu. Sehingga, dugaan praktik suap pun terjadi.

Adian menyebutkan, jika tidak ada
putusan MA, maka peristiwa selanjutnya seperti bersuratnya PDIP ke KPU hingga
dugaan praktik suap urung terjadi.

Baca Juga :  KKB Makin Brutal, Puskesmas, Sekolah dan Rumah Guru Dibakar

“Konstruksi kasusnya, konstruksi
persoalannya harus jelas. Lain halnya kalo misal tidak ada keputusan MA lalu
tiba-tiba partai buat surat. Tidak ada keputusan MA lalu Harun Masiku tiba-tiba
berbuat (suap). Dasarnya keputusan MA,” kata dia.

Adian turut menyoroti tak
dijalankannya putusan MA oleh KPU sebagai lembaga yang berwenang menentukan
pengganti anggota DPR. Menurut dia, KPU juga harus menjelaskan hal ini sama
halnya dengan MA.

“MA harus jelaskan. Kenapa KPU
tidak menjalankan itu? KPU harus jelaskan kenapa dia tidak jalankan itu. Ada
harapan, ada keinginan kuat di Harun Masiku dia bisa menjadi anggota DPR. Dari
mana keinginan itu sementara suara sangat kecil? Keinginan itu, harapan itu
karena lahirnya keputusan MA,” tandas Adian.

Anggota Tim Hukum PDI Perjuangan
Maqdir Ismail menyatakan, persoalan yang muncul dalam kasus ini diakibatkan
oleh keengganan KPU menjalankan putusan MA. Hal ini kata dia, KPU lebih
memandang Peraturan KPU (PKPU) lebih tepat dijalankan ketimbang putusan itu.

“Sementara kita menganggap selama
ini adalah penafsir tunggal terhadap peraturan di bawah UU itu adalah MA. Ini
yang jadi masalah. Mestinya mereka (KPU) yang taat kepada tafsir yang
disampaikan oleh MA,” ucapnya.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro
mengatakan, gugatan yang dilayangkan PDI Perjuangan terkait PKPU Nomor 3 Tahun
2019 yang merupakan aturan pelaksana UU Pemilu, tepatnya terhadap pengujian
Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3), dikabulkan sebagian.

Baca Juga :  PK Ditolak MA, Baiq Nuril Dihukum Penjara 6 Bulan dan Denda Rp 500 Jut

“Bahwa perolehan suara calon
anggota legislatif yang meninggal dunia dan memperoleh suara terbanyak dalam
pemilihan anggota DPR dan DPRD, adalah menjadi kewenangan diskresi dari
pimpinan partai politik untuk menentukan kader terbaik yang akan menggantikan
calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut sebagai anggota
legislatif,” ujar Andi Samsan saat dikonfirmasi.

Akan tetapi, sambung Andi Samsan,
diskresi harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Wahyu Setiawan pun sebelumnya sempat menjelaskan duduk perkara ini dalam sidang
kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ia menuturkan, sedari awal PDI
Perjuangan ingin memasukkan Harun di daftar caleg terpilih. Usulan pertama kali
diterima KPU pada rapat pleno penetapan caleg terpilih. Saat itu, kata dia, PDI
Perjuangan melayangkan usulan caleg terpilih di dapil Kalimantan Barat dan
Sumatera Selatan atau dapil pemilihan Harun Masiku.

Menurutnya, dapil yang memenuhi
syarat hanya Kalimantan Barat. Sedangkan dapil Sumatera Selatan tidak dapat
dilaksanakan. Sehingga KPU menolak. Saat itu, kata dia, PDI Perjuangan
menyampaikan akan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) dan dipersilakan
oleh KPU.

Surat kedua pun dilayangkan
berikut lampiran fatwa hukum putusan MA terkait PAW. Wahyu menyatakan, KPU
lagi-lagi menolak. “Karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Seiring surat ketiga yang kemudian menjadi masalah,” ungkapnya. (riz/gw/fin/kpc)

PDI Perjuangan seakan tengah mencari kambing hitam dalam kasus suap
yang membelit Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) nonaktif Wahyu Setiawan.
Putusan Mahkamah Agung (MA) ditengarai sebagai penyebabnya.

Adian Napitupulu menyebut dugaan
suap antara mantan caleg PDI Perjuangan Harun Masiku dan Wahyu Setiawan tak bakal
terjadi tanpa adanya putusan MA. Tindak pidana tersebut sebelumnya diungkap
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menetapkan Harun dan Wahyu,
serta mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan pihak swasta Saeful
sebagai tersangka.

Putusan yang memberikan diskresi
terhadap pimpinan partai politik (parpol) untuk menunjuk kader terbaik sebagai
Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR itu, disebut politisi PDI Perjuangan
itu, sebagai akar dari kasus korupsi ini. Menurut Adian, MA mesti menjelaskan
terkait hal tersebut.

“Ya, MA harus jelaskan. Karena
menurut saya ini akarnya. Kalo tidak ada keputusan MA itu, tidak akan ada surat
dari PDI Perjuangan yang kedua, ketiga, dan sebagainya,” kata Adian dalam
diskusi bertajuk ‘Ada Apa di Balik Kasus Wahyu?’ di kawasan Tebet, Jakarta,
Minggu (19/1).

Adian mengatakan, putusan itu
menumbuhkan harapan dalam diri Harun Masiku untuk menjadi Anggota DPR
menggantikan caleg terpilih PDI Perjuangan Nazarudin Kiemas yang meninggal
dunia pada Maret 2019 lalu. Sehingga, dugaan praktik suap pun terjadi.

Adian menyebutkan, jika tidak ada
putusan MA, maka peristiwa selanjutnya seperti bersuratnya PDIP ke KPU hingga
dugaan praktik suap urung terjadi.

Baca Juga :  KKB Makin Brutal, Puskesmas, Sekolah dan Rumah Guru Dibakar

“Konstruksi kasusnya, konstruksi
persoalannya harus jelas. Lain halnya kalo misal tidak ada keputusan MA lalu
tiba-tiba partai buat surat. Tidak ada keputusan MA lalu Harun Masiku tiba-tiba
berbuat (suap). Dasarnya keputusan MA,” kata dia.

Adian turut menyoroti tak
dijalankannya putusan MA oleh KPU sebagai lembaga yang berwenang menentukan
pengganti anggota DPR. Menurut dia, KPU juga harus menjelaskan hal ini sama
halnya dengan MA.

“MA harus jelaskan. Kenapa KPU
tidak menjalankan itu? KPU harus jelaskan kenapa dia tidak jalankan itu. Ada
harapan, ada keinginan kuat di Harun Masiku dia bisa menjadi anggota DPR. Dari
mana keinginan itu sementara suara sangat kecil? Keinginan itu, harapan itu
karena lahirnya keputusan MA,” tandas Adian.

Anggota Tim Hukum PDI Perjuangan
Maqdir Ismail menyatakan, persoalan yang muncul dalam kasus ini diakibatkan
oleh keengganan KPU menjalankan putusan MA. Hal ini kata dia, KPU lebih
memandang Peraturan KPU (PKPU) lebih tepat dijalankan ketimbang putusan itu.

“Sementara kita menganggap selama
ini adalah penafsir tunggal terhadap peraturan di bawah UU itu adalah MA. Ini
yang jadi masalah. Mestinya mereka (KPU) yang taat kepada tafsir yang
disampaikan oleh MA,” ucapnya.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro
mengatakan, gugatan yang dilayangkan PDI Perjuangan terkait PKPU Nomor 3 Tahun
2019 yang merupakan aturan pelaksana UU Pemilu, tepatnya terhadap pengujian
Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3), dikabulkan sebagian.

Baca Juga :  PK Ditolak MA, Baiq Nuril Dihukum Penjara 6 Bulan dan Denda Rp 500 Jut

“Bahwa perolehan suara calon
anggota legislatif yang meninggal dunia dan memperoleh suara terbanyak dalam
pemilihan anggota DPR dan DPRD, adalah menjadi kewenangan diskresi dari
pimpinan partai politik untuk menentukan kader terbaik yang akan menggantikan
calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut sebagai anggota
legislatif,” ujar Andi Samsan saat dikonfirmasi.

Akan tetapi, sambung Andi Samsan,
diskresi harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Wahyu Setiawan pun sebelumnya sempat menjelaskan duduk perkara ini dalam sidang
kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ia menuturkan, sedari awal PDI
Perjuangan ingin memasukkan Harun di daftar caleg terpilih. Usulan pertama kali
diterima KPU pada rapat pleno penetapan caleg terpilih. Saat itu, kata dia, PDI
Perjuangan melayangkan usulan caleg terpilih di dapil Kalimantan Barat dan
Sumatera Selatan atau dapil pemilihan Harun Masiku.

Menurutnya, dapil yang memenuhi
syarat hanya Kalimantan Barat. Sedangkan dapil Sumatera Selatan tidak dapat
dilaksanakan. Sehingga KPU menolak. Saat itu, kata dia, PDI Perjuangan
menyampaikan akan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) dan dipersilakan
oleh KPU.

Surat kedua pun dilayangkan
berikut lampiran fatwa hukum putusan MA terkait PAW. Wahyu menyatakan, KPU
lagi-lagi menolak. “Karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Seiring surat ketiga yang kemudian menjadi masalah,” ungkapnya. (riz/gw/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru