JAKARTA – Banyak pihak yang menyambut baik
penerbitan UU Omnibus Law yang nantinya bakal menggeliatkan perekonomian
nasional. Harapan tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab apabila tidak
terkontrol justru akan menjadi bumerang bagi ekonomi Indonesia.
Peneliti Institute for Developmen of Economic and Finance (Indef), Andry
Satrio Nugroho mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam
mengimplementasikan Omnibus Law. Pasalnya kebijakan tersebut berpotensi
memperburuk neraca perdagangan apabila tidak dapat mengontrolnya.
Dia menjelaskan, jika dilakukan penyederhaan perizinan berusaha, maka
kegiatan ekspor dan impor bakal berpotensi longgar. Dari sisi frekuensi
perdagangan memang bakal naik signifikan, namun akan terjadi tidak terkontrol
dan terjadi perdagangan yang tidak berkualias.
“Efek Omnibus Law justru akan meningkatkan defisit perdangan kita ke depan.
Ini perlu diwaspadai,†ujar dia, Minggu (19/1).
Catatan dia, selama dua tahun terakhir defisi neraca dagang masih belum
membaik. Ini bisa dilihat dari persentase degree of openess terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) semakin rendah dari 47,7 persen pada periode 2011-2015
menjadi 39,9 persen pada 2016-2018.
Saat ini, menurut Andry, model kerja sama perdagangan di berbagai dunia
mulai mengarah pada restriksi perdagangan karena isu kedaulatan ekonomi. Oleh
karena itu, Indonesia jangan terlena dengan Omnibus Law. “Dalam hal ini dengan
memberikan karpet merah terhadap skema perdagangan yang tidak berkualitas,â€
ucap dia.
Terkait restriksi, Andry meminta pemerintah perlu menguatkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) pada produk dalam negeri. Persoalannya, karena masih
banyak produk dalam negeri yang belum SNI, sehingga banyak produk impor yang
mudah masuk ke Indonesia dan melibas produk domestik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan
Indonesia per Oktober 2019 mengalami surplus USD161,3 juta. Hal itu didapat
karena nilai ekspor sebesar USD14,93 miliar dan impor USD14,77 miliar.
Namun secara kumulatif dari Januari-Oktober 2019 neraca perdagangan
Indonesia defisit USD1,79 milar. Di mana total ekspornya USD139,1 miliar dan
impornya USD140,8 miliar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad
Faisal menuturkan, ada tiga faktor penyebab defisit neraca perdagangan semakin
meningkat. Di antaranya, ketergantungan terhadap bahan baku dan modal dari
produksi luar negeri atau impor yang semakin tinggi.
Penyebab kedua adalah pelemahan nilai rupiah. Apabila banyak impor di saat
rupiah melemah, maka harga yang dibeli pun semakin menjadi mahal. Kemudian
ketiga, dari sisi migas dan selama ini minyak masih mengandalkan impor.
Sebagai upaya menekan defisit neraca perdagangan, maka Faisal menyarankan
pemerintah untuk memperkua ekonomi khusus pada kegiaan produksi dalam negeri.
Artinya harus benar-benar memanfaatkan potensi dalam negeri dan mengurangi
ketergantungan terhadap impor.
Selain itu, barang-barang produksi dalam negeri harus benar-benar
berkualitas, dan tentunya harus membenahi Sumber Daya Manusia (SDM). Dia
melihat harus ada skema transfer teknologi. Hal ini bertujuan idak lagi
bergantung pada tenaga luar negeri. “Baik itu dari segi manusianya maupun
alamnya,†tukas dia.
Adapun pemerintah menargetkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja rampung
pada Minggu (19/1) bersama dengan naskah akademik. Dengan begitu, Senin (20/1)
draf resmi kemudian dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2020 melalui Sidang Paripurna pada Selasa (21/1). (din/fin/kpc)