Masalah pungutan untuk peserta didik baru tidak hanya terjadi di
level sekolah dasar hingga menengah atas. Universitas Mulawarman (Unmul) yang
merupakan perguruan tinggi terbesar Kalimantan Timur (Kaltim) juga diterpa
masalah serupa.
Beruntun aksi penolakan mewarnai kampus hijau ini. Gelombang
pertama datang dari Forum Mahasiswa Fakultas Teknik (Forma FT), Senin (15/7)
lalu. Forma FT aksi di depan GOR 27 September, Unmul.
Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap sejumlah kebijakan
rektorat seputar penerimaan mahasiswa baru, seperti pembelian almamater dan
penerapan uang pangkal. Termasuk mempermasalahkan penolakan terhadap mahasiswa
penerima beasiswa Bidikmisi yang sistem pembayarannya disamaratakan.
Gelombang penolakan juga datang dari Aliansi Mulawarman Bersatu
(AMB). Mereka adalah aliansi mahasiswa dari beberapa fakultas,
dengan tuntutan sama. Mereka merasa mahasiswa kembali dijadikan sapi
perah. Mereka mempermasalahkan sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang dianggap
kebijakan omong kosong.
Faktanya, jas almamater yang seharusnya diberikan secara subsidi
kepada mahasiswa baru, baru tahun ini ditarik biaya. Korlap aksi, Muhammad
Akbar menilai, kebijakan ini merupakan eksploitasi terhadap mahasiswa.
Setiap mahasiswa baru harus membayar Rp 200 ribu untuk menebus
almamater. Kebijakan ini berdasarkan surat edaran bernomor 3041/UN17.KP/KU/2019
tertanggal 10 Juli 2019.
Surat tersebut ditandatangi Wakil Rektor Bidang Umum, SDM dan
Keuangan, Prof Abdunnur. Isinya meminta kepada seluruh dekan di semua fakultas
agar mahasiswa baru saat mengambil jaket almamater harus membayar Rp 200 ribu.
Dalam edaran tidak dicantumkan kata wajib maupun tidak wajib.
Namun bagi mahasiswa, ada kekhawatiran edaran tersebut merupakan suatu
kewajiban.
Tuntutan lain, mahasiswa juga menolak ada penerapan uang
pangkal. Uang pangkal digunakan untuk pengembangan institusi bagi mahasiswa
jalur mandiri, jalur kerja sama, kelas internasional dan mahasiswa asing.
Tahun 2019 Unmul telah menetapkan lima fakultas yang boleh
menarik uang pangkal. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan sarana dan
prasarana.
Di Fakultas Perikanan ditarik Rp 10 juta. Fakultas Farmasi dari
Rp 30 juta hingga Rp 75 juta. Fakultas Kesmas Rp 20 juta, Fakultas Pertanian Rp
2,5 juta dan terakhir yang paling mahal Fakultas Kedokteran dari Rp 150 juta
untuk golongan I, Rp 200 juta golongan II dan golongan III Rp 250 juta.
Dana tersebut dibayar di luar UKT. Muhammad Akbar mengatakan,
besaran dana tersebut sangat membebani mahasiswa jalur mandiri. Apalagi jalur
ini jumlah mahasiswanya memang sangat besar. Padahal mahasiswa jalur mandiri
banyak yang tidak mampu.
“Pungutannya sangat tinggi. Ini sangat membebankan. Kami minta
dibatalkan uang pangkal ini,†katanya dikutip dari Samarinda Pos (Jawa
Pos Group), Jumat (19/7).
Kekhawatir lain muncul. Pemberlakukan dana tersebut akan
berdampak bagi banyak mahasiswa yang tidak mampu melanjutkan kuliah, karena
tidak mampu membayar. Penggunaan dana tersebut pun terkesan tertutup. Tidak ada
transparansi.
Akbar membanding penolakan dana pangkal ini dengan sejumlah
universitas lain. Pada 2016 lalu, ada 8 ribu mahasiswa Universitas Gadjah Mada
(UGM) Jogjakarta menolak penerapan dana pangkal di kampusnya. Rektor UGM pun
membatalkan. Semboyan penolakan mereka: Revolusi Pendidikan.
Di tahun yang sama, penolakan juga datang dari Universitas
Negeri Jakarta (UNJ). Ada 2 ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak dana
pangkal. Hasilnya: rektor juga membatalkan. Terakhir, Universitas Jendral
Sudirman juga menolak. Ribuan mahasiswa turun memrotes uang pangkal.
“Makanya kami akan mengkonsolidasikan mahasiswa
sebanyak-banyaknya. Menekan agar rektor membatalkan,†tegas Akbar.
Tuntutan terakhir, kata Akbar, meminta agar pihak Unmul segera
menvalidasi ulang mahasiswa semester 8 yang menerima beasiswa Bidikmisi. Sesuai
ketentuan, penerima beasiswa ini adalah mahasiswa tidak mampu dengan kecerdasan
di atas rata-rata.
Namun, karena masa studi lewat dari 4 tahun, pembiayaan
Bidikmisi pun dicabut. Anehnya, Unmul memberlakukan pembayaran UKT merata
dengan mahasiswa golongan lain yang mampu. Hal ini tentu menyulitkan eks
mahasiswa Bidikmisi untuk menuntaskan studinya, karena ketidakmampuan membayar
uang UKT.
“Mestinya UKT mereka disetarakan dengan mahasiswa golongan tidak
mampu. Karena mereka memang tidak mampu,†tegas Akbar.
Mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi sebelumnya hanya membayar
setiap semester Rp 500 ribu per semester. Namun, kini diberlakukan merata. Atau
membayar hingga Rp 2,5 juta per semester. Meski setiap penerima beasiswa
Bidikmisi membayar beragam sesuai golongan.
Bukan Pungutan Liar
Sejumlah tuntutan mahasiswa ini mendapat respons unsur pimpinan
Unmul. Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama dan Hubungan Masyarakat, Prof
Bohari Yusuf mengatakan, penolakan mahasiswa terhadap pembelian almamater yang
dijual BPU Unmul, tidak bersifat wajib.
“Jadi, terserah. Jika ada mahasiswa baru yang sudah punya
almamater dari kakak mereka yang dulu-dulu, silakan pakai. Tidak perlu lagi
beli almamater,†ungkapnya.
Bohari menambahkan, pengenaan biaya untuk pembelian almamater
tersebut karena dalam komponen UKT yang dibayar mahasiswa, tidak termasuk
almamater. “Jadi, itu bukan pungutan liar,†tegasnya.
Kemudian, soal dana pangkal. Bohari mengatakan dana tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Nomor 39
Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan
Tinggi Negeri (PTN).
Pada Pasal 8 Ayat (1) memuat ketentuan PTN dapat memungut uang
pangkal dari mahasiswa dengan kategori mahasiswa asing, kelas internasional,
mahasiswa jalur kerja sama dan mahasiswa jalur mandiri.
“Jadi, memang ada dasar hukumnya,†kata Bohari.
Hanya saja, pada Ayat (2) dimuat ketentuan mengenai besaran dana
pangkal disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa.
Samarinda Pos (Jawa Pos Group) menemukan ada
pasal dalam peraturan Menristekdikti ini saling tabrak. Meski di Pasal 8 PTN
diberi ruang memungut dana pangkal, namun di Pasal 6 PTN justru diminta tidak
memungut biaya pangkal atau pungutan lain selain UKT.
Bohari menjelaskan, kewenangan menentukan dana pangkal
berdasarkan kebijakan masing-masing fakultas. Usulan besaran dana itu lalu
diusulkan ke pihak rektorat. Baru diterbitkan SK oleh rektor.
“Makanya hanya lima fakultas yang menerapkan dana pangkal.
Selebihnya tidak mengusulkan. Ini berdasarkan kebutuhan,†katanya lagi.
Bohari juga merespons tuntutan lain mengenai mahasiswa penerima
beasiswa Bidikmisi yang dicabut karena batas waktu studi melebihi 4 tahun.
Bohari mengatakan, mahasiswa yang merasa keberatan dengan pemberlakukan UKT
terlalu tinggi bisa mengajukan permohonan untuk diturunkan.
“Kalau dianggap membebankan, bisa diajukan permohonan untuk
keringanan,†katanya.(jpn)