JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
memperbolehkan kepala sekolah untuk menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) Reguler untuk membayar honor guru bukan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pelaksana tugas (Plt) Direktur
Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Hamid Muhammad
menjelaskan, bahwa instruksi tersebut sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020.
Terlebih lagi, syarat untuk guru
honorer juga dibuat lebih fleksibel, tidak lagi dibatasi untuk guru yang
memiliki NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan). Persentase juga
tidak lagi dibatasi maksimal 50 persen, tetapi bisa lebih.
“Tetapi, guru honorer tetap harus
terdaftar di Dapodik (data pokok pendidikan) sebelum 31 Desember 2019, belum
mendapat tunjangan profesi, dan memenuhi beban mengajar,†kata Hamid, Jumat
(17/4).
Selain itu, kata Hamid, para
kepala satuan pendidikan PAUD dan Pendidikan Kesetaraan juga diberikan
fleksibilitas dalam pengelolaan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP).
Permendikbud Nomor 20 Tahun 2020
juga mengubah ketentuan besaran persentase dana BOP per kategori pemakaian di
Permendikbud sebelumnya tidak berlaku.
“Penggunaan BOP PAUD dan
Kesetaraan juga sekarang diperbolehkan untuk honor dan transportasi pendidik,â€
ujarnya.
Hamid menambahkan, BOS Reguler
dan BOP PAUD dan Pendidikan Kesetaraan dapat digunakan untuk melakukan
pembelian pulsa/paket data bagi pendidik dan peserta didik agar memudahkan
pembelajaran dalam jaringan (daring).
“BOS dan BOP juga dapat digunakan
untuk membeli penunjang kebersihan di masa Covid-19, seperti sabun cuci tangan,
cairan disinfektan, dan masker,†imbuhnya.
Hamid menegaskan, bahwa alokasi
penggunaan dana BOS atau BOP juga fleksibel sesuai kebutuhan sekolah/satuan
pendidikan yang berbeda-beda.
Hamid juga menjelaskan, bahwa Kemendikbud
tidak mewajibkan sekolah/satuan pendidikan untuk melakukan pembelian
pulsa/paket data untuk menunjang pembelajaran secara daring dnegan menggunakan
dana BOS atau BOP.
“Kewenangan sepenuhnya ada di
kepala sekolah. Jadi, kepala sekolah harus dapat mempertimbangkan dan
menghitung secara cermat apa saja yang menjadi prioritas untuk menyelenggarakan
pembelajaran selama masa darurat ini,†terangnya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan
Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim menilai, bahwa kebijakan tersebut
dirasa kurang baik bagi proses pendidikan sekolah. Salah satunya adalah, beban
biaya yang dikeluarkan sekolah akan semakin besar.
“Karena selain harus membeli
layanan pendidikan daring berbayar seperti Ruangguru, Quipper, Zenius dan
sebagainya, siswa dan guru juga tetap harus membeli pulsa untuk kuota
internet,†katanya.
Ramli juga khawatir, dengan
diperbolehkannya dana BOS untuk pembelian layanan pendidikan daring berbayar,
bagi pendidik malah menimbulkan kecurigaan.
“Biaya untuk layanan ini hanya
akan membuat kebutuhan biaya makin besar, karena selain harus membeli layanan
pendidikan juga harus membeli kuota data,†ujarnya.
Menurut Ramli, penggunaan layanan
pendidikan bisa membuat jalinan komunikasi antara guru dengan siswanya
terputus. Padahal, kata dia, jalinan komunikasi pengajaran dan pendidikan itu
penting, dan tetap bisa dilakukan di dunia maya dengan bantuan teknologi.
“Sekolah sebenarnya tidak perlu
membeli layanan pendidikan daring berbayar tersebut. Sebab, yang dibutuhkan
dalam pembelajaran daring ini adalah tetap menjaga jalinan pendidikan dan
pengajaran antara guru dan siswanya tetap terjalin, begitu pula sebaliknya,â€
pungkasnya.