30.7 C
Jakarta
Saturday, December 14, 2024

Strategi Dirjen PEN Kemendag Dorong Peningkatan Ekspor

Kementerian
Perdagangan (Kemendag) baru saja melakukan perombakan pejabat eselon I. Salah
satu yang mendapat perombakan adalah Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor
Nasional (PEN) yang kini posisi Dirjennya ditempati Dody Edward.

Posisi tersebut
sebelumnya ditempati oleh Arlinda yang kini menempati posisi sebagai Staf Ahli
Bidang Hubungan Internasional. Dody sebagai Dirjen PEN Kemendag yang baru
menyebut bahwa meningkatkan ekspor saat ini masih menjadi fokus utamanya.

Sebagai informasi,
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (15/8) dilaporkan
bahwa neraca perdagangan sepanjang Juli 2019 mengalami defisit sebesar USD
63,5. Nilai ekspor tercatat naik menjadi USD 15,45 miliar. Meski begitu,
kenaikan nilai impor masih lebih tinggi yakni sebesar USD 15,51 miliar. BPS
juga mencatat nilai ekspor Juli 2019 turun 5,12 persen secara tahunan dari USD
16,24 miliar menjadi USD 15,45 miliar.

Menanggapi hal
tersebut, Dody mengamini bahwa secara neraca perdagangan, Indonesia memang
masih lebih rendah (ekspor) dari pada impor. “Tapi kalau kita bicara ekspor
nonmigas, kita masih surplus. Surplusnya memang masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun lalu, tapi tetap surplus,” ujar Dody saat ditemui
JawaPos.com di Jakarta, Jumat (16/8).

Baca Juga :  Transaksi Digital BRI Tembus 4.000 Triliun Pada Kuartal II 2021

Dalam mendorong
ekspor, Dody menyebut akan terus melakukan transformasi yang bersifat
terobosan. “Kita akan terus mencari pasar baru tanpa meninggalkan pasar-pasar
lama yang sudah ada,” imbuhnya.

Dody menambahkan,
pasar negara nontradisional ke depan semakin penting dengan ekspansi ke wilayah
tersebut. Di sana, persyaratan pasarnya dibandingkan dengan negara-negara maju
lebih mudah dipenuhi.

“Di negara-negara
nontradisional ini ekonominya masih tumbuh, beda dengan negara maju yang
permintaannya sudah moderat, tidak seperti negara berkembang yang masih growing
yang bisa jadi kesempatan buat kita,” lanjutnya.

Masih fokus soal
mendorong ekspor, menurut Dody, saat ini seluruh negara fokus melakukan ekspor.
Oleh karenanya, Indonesia dan industri di dalamnya diminta untuk mengembangkan
pasar di lebih banyak negara, juga membuka perjanjian perdagangan internasional
lebih banyak lagi untuk meningkatkan daya saing.

“Selain dari sisi
pasar, kita juga mesti melakukan diversifikasi daripada pelaku ekspornya. Mencetak
pelaku ekspor yang baru, meningkatkan value added kita sendiri. Produk kita
masih didominasi oleh produk primer, di situ ada tugas kita untuk melakukan
nilai tambah produk ekspor dan kita bisa masuk kepada global play good change,”
ujarnya.

Baca Juga :  Asiamoney Kembali Kukuhkan BRI Sebagai Bank UKM Terbaik

Bicara tantangan
ekspor, Dody menyebut saat ini perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok
menjadi salah satu faktor turunnya angka ekspor. Selain sentimen perang dagang
ada juga tantangan lainnya. “Tantangannya selain perang dagang ya ada hal
lainnnya. Pertama harga komoditi, demand-nya yang terbatas karena banyak juga
melakukan komoditi ekspor yang sama dan banyak lagi,” sebut Dody.

Untuk komoditi ekspor
paling jadi primadona, menurut Dody, antara lain adalah mebel. Mebel disebut
menjadi komoditi yang tinggi peminat untuk dipasarkan ke wilayah AS, Amerika
Latin, Eropa, dan Timur Tengah.

Selain mebel, yang
juga menjanjikan untuk ekspor adalah tekstil, food ware, kopi, crude palm oil
(CPO). “CPO menjadi produk dominan karena kontribusinya yang sangat besar untuk
pasar ekspor,” jelas Dody.(jpg)

 

Kementerian
Perdagangan (Kemendag) baru saja melakukan perombakan pejabat eselon I. Salah
satu yang mendapat perombakan adalah Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor
Nasional (PEN) yang kini posisi Dirjennya ditempati Dody Edward.

Posisi tersebut
sebelumnya ditempati oleh Arlinda yang kini menempati posisi sebagai Staf Ahli
Bidang Hubungan Internasional. Dody sebagai Dirjen PEN Kemendag yang baru
menyebut bahwa meningkatkan ekspor saat ini masih menjadi fokus utamanya.

Sebagai informasi,
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (15/8) dilaporkan
bahwa neraca perdagangan sepanjang Juli 2019 mengalami defisit sebesar USD
63,5. Nilai ekspor tercatat naik menjadi USD 15,45 miliar. Meski begitu,
kenaikan nilai impor masih lebih tinggi yakni sebesar USD 15,51 miliar. BPS
juga mencatat nilai ekspor Juli 2019 turun 5,12 persen secara tahunan dari USD
16,24 miliar menjadi USD 15,45 miliar.

Menanggapi hal
tersebut, Dody mengamini bahwa secara neraca perdagangan, Indonesia memang
masih lebih rendah (ekspor) dari pada impor. “Tapi kalau kita bicara ekspor
nonmigas, kita masih surplus. Surplusnya memang masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun lalu, tapi tetap surplus,” ujar Dody saat ditemui
JawaPos.com di Jakarta, Jumat (16/8).

Baca Juga :  Transaksi Digital BRI Tembus 4.000 Triliun Pada Kuartal II 2021

Dalam mendorong
ekspor, Dody menyebut akan terus melakukan transformasi yang bersifat
terobosan. “Kita akan terus mencari pasar baru tanpa meninggalkan pasar-pasar
lama yang sudah ada,” imbuhnya.

Dody menambahkan,
pasar negara nontradisional ke depan semakin penting dengan ekspansi ke wilayah
tersebut. Di sana, persyaratan pasarnya dibandingkan dengan negara-negara maju
lebih mudah dipenuhi.

“Di negara-negara
nontradisional ini ekonominya masih tumbuh, beda dengan negara maju yang
permintaannya sudah moderat, tidak seperti negara berkembang yang masih growing
yang bisa jadi kesempatan buat kita,” lanjutnya.

Masih fokus soal
mendorong ekspor, menurut Dody, saat ini seluruh negara fokus melakukan ekspor.
Oleh karenanya, Indonesia dan industri di dalamnya diminta untuk mengembangkan
pasar di lebih banyak negara, juga membuka perjanjian perdagangan internasional
lebih banyak lagi untuk meningkatkan daya saing.

“Selain dari sisi
pasar, kita juga mesti melakukan diversifikasi daripada pelaku ekspornya. Mencetak
pelaku ekspor yang baru, meningkatkan value added kita sendiri. Produk kita
masih didominasi oleh produk primer, di situ ada tugas kita untuk melakukan
nilai tambah produk ekspor dan kita bisa masuk kepada global play good change,”
ujarnya.

Baca Juga :  Asiamoney Kembali Kukuhkan BRI Sebagai Bank UKM Terbaik

Bicara tantangan
ekspor, Dody menyebut saat ini perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok
menjadi salah satu faktor turunnya angka ekspor. Selain sentimen perang dagang
ada juga tantangan lainnya. “Tantangannya selain perang dagang ya ada hal
lainnnya. Pertama harga komoditi, demand-nya yang terbatas karena banyak juga
melakukan komoditi ekspor yang sama dan banyak lagi,” sebut Dody.

Untuk komoditi ekspor
paling jadi primadona, menurut Dody, antara lain adalah mebel. Mebel disebut
menjadi komoditi yang tinggi peminat untuk dipasarkan ke wilayah AS, Amerika
Latin, Eropa, dan Timur Tengah.

Selain mebel, yang
juga menjanjikan untuk ekspor adalah tekstil, food ware, kopi, crude palm oil
(CPO). “CPO menjadi produk dominan karena kontribusinya yang sangat besar untuk
pasar ekspor,” jelas Dody.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru