28.1 C
Jakarta
Friday, September 20, 2024

Dirjen HAM Soroti Peningkatan Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum, Dorong Revisi UU SPPA

PROKALTENG.CO – Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra, mengungkapkan kekhawatirannya terkait peningkatan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) di Indonesia. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah preventif yang lebih efektif guna mencegah kasus ABH.

Menurut Dhahana, hak-hak anak sudah dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana penerapan keadilan restoratif bagi ABH bisa berjalan lebih efektif,” ujar Dhahana.

Ia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjadi dasar hukum pelaksanaan keadilan restoratif di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU SPPA menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, dengan diversi sebagai salah satu mekanismenya. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana.

Baca Juga :  Wisuda Purnabakti Pengayoman, Sekjen: Pengabdian Belum Selesai

Namun, Dhahana mencatat bahwa dalam kasus kejahatan dengan ancaman pidana di atas 7 tahun, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual, ketentuan diversi tidak dapat diterapkan. Oleh karena itu, ia menilai perlu adanya penyesuaian terhadap UU SPPA agar pendekatan keadilan restoratif lebih relevan dengan perkembangan dinamika kejahatan anak.

“Penyesuaian ini harus jelas, kapan rehabilitasi bisa diberikan dan kapan proses hukum formal lebih tepat, tentunya dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban serta tanpa mengabaikan hak-hak anak,” jelasnya. Revisi UU SPPA diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara hak anak dan keadilan bagi korban.

Selain itu, Dhahana juga mengusulkan perlunya regulasi lebih komprehensif mengenai keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan pemerintah, mengingat saat ini penerapannya diatur dalam berbagai peraturan seperti Peraturan Kepolisian, Peraturan Kejaksaan, dan Peraturan Mahkamah Agung.

Baca Juga :  Politeknik Pengayoman Indonesia Resmi Berdiri, Arah Baru Pendidikan Vokasi Hukum dan HAM

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Kalimantan Tengah, Maju Amintas Siburian, turut menyampaikan keprihatinannya atas tren peningkatan ABH. Menurutnya, hal ini menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama dalam upaya pencegahan dan penanganan agar masa depan generasi muda tidak semakin terpuruk.

“Anak adalah aset bangsa yang harus kita lindungi dan bina dengan baik. Namun, berbagai faktor seperti lingkungan sosial, ekonomi, keluarga, hingga akses terhadap pendidikan turut mempengaruhi terjadinya konflik hukum di kalangan anak-anak,” jelas Maju.

Sebagai langkah nyata, Kemenkumham berkomitmen mengoptimalkan peran pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan pendekatan berbasis rehabilitasi, edukasi, dan reintegrasi sosial.

“Kami juga akan memperkuat koordinasi dengan aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, serta keluarga untuk menciptakan sistem yang komprehensif dalam menangani kasus-kasus ABH,” tutupnya. (tim)

PROKALTENG.CO – Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra, mengungkapkan kekhawatirannya terkait peningkatan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) di Indonesia. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah preventif yang lebih efektif guna mencegah kasus ABH.

Menurut Dhahana, hak-hak anak sudah dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana penerapan keadilan restoratif bagi ABH bisa berjalan lebih efektif,” ujar Dhahana.

Ia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjadi dasar hukum pelaksanaan keadilan restoratif di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU SPPA menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, dengan diversi sebagai salah satu mekanismenya. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana.

Baca Juga :  Wisuda Purnabakti Pengayoman, Sekjen: Pengabdian Belum Selesai

Namun, Dhahana mencatat bahwa dalam kasus kejahatan dengan ancaman pidana di atas 7 tahun, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual, ketentuan diversi tidak dapat diterapkan. Oleh karena itu, ia menilai perlu adanya penyesuaian terhadap UU SPPA agar pendekatan keadilan restoratif lebih relevan dengan perkembangan dinamika kejahatan anak.

“Penyesuaian ini harus jelas, kapan rehabilitasi bisa diberikan dan kapan proses hukum formal lebih tepat, tentunya dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban serta tanpa mengabaikan hak-hak anak,” jelasnya. Revisi UU SPPA diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara hak anak dan keadilan bagi korban.

Selain itu, Dhahana juga mengusulkan perlunya regulasi lebih komprehensif mengenai keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan pemerintah, mengingat saat ini penerapannya diatur dalam berbagai peraturan seperti Peraturan Kepolisian, Peraturan Kejaksaan, dan Peraturan Mahkamah Agung.

Baca Juga :  Politeknik Pengayoman Indonesia Resmi Berdiri, Arah Baru Pendidikan Vokasi Hukum dan HAM

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Kalimantan Tengah, Maju Amintas Siburian, turut menyampaikan keprihatinannya atas tren peningkatan ABH. Menurutnya, hal ini menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama dalam upaya pencegahan dan penanganan agar masa depan generasi muda tidak semakin terpuruk.

“Anak adalah aset bangsa yang harus kita lindungi dan bina dengan baik. Namun, berbagai faktor seperti lingkungan sosial, ekonomi, keluarga, hingga akses terhadap pendidikan turut mempengaruhi terjadinya konflik hukum di kalangan anak-anak,” jelas Maju.

Sebagai langkah nyata, Kemenkumham berkomitmen mengoptimalkan peran pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan pendekatan berbasis rehabilitasi, edukasi, dan reintegrasi sosial.

“Kami juga akan memperkuat koordinasi dengan aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, serta keluarga untuk menciptakan sistem yang komprehensif dalam menangani kasus-kasus ABH,” tutupnya. (tim)

Terpopuler

Artikel Terbaru