JAKARTA – Sejumlah kepala daerah diketahui memiliki jejak transaksi
keuangan di luar negeri. Transaksi itu tercatat pada rekening kasino. Bentuk
berupa valuta asing dengan nominal setara Rp 50 miliar. Tak hanya itu.
Ditemukan pula, penggunaan dana hasil tindak pidana untuk pembelian barang
mewah dan emas batangan.
Temuan tersebut diungkapkan
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad
Badaruddin di kantor PPATK, Jakarta, Jumat (13/12). Namun, Badaruddin enggan
menjelaskan detail soal temuan tersebut.
“PPATK menelusuri ada dugaan
transaksi keuangan beberapa kepala daerah. Diduga ada melakukan penempatan dana
yang signifikan. Bentuknya valuta asing dengan nominal setara Rp 50 miliar.
Dana tersebut tersimpan di rekening kasino di luar negeri,†jelas Badaruddin.
Dia juga menyebut adanya pembelian barang-barang mewah serta emas batangan.
Disinyalir, dana itu merupakan hasil tindak pidana.
Selain kepala daerah, PPATK juga
mengidentifikasi beberapa transaksi mencurigakan lainnya selama tahun 2019.
Badaruddin menyatakan ditemukan transaksi yang tidak sesuai dengan
peruntukannya. Terlebih, ada sumber dana pada rekening pemenang tender yang
berasal dari APBN dan APBD.
Dia menyebut, tercatat 33 pihak
disinyalir menerima aliran dana proyek pembangunan tersebut. Mereka merupakan
pejabat publik dan penyelenggara negara. “33 pihak yang memiliki profil sebagai
pejabat publik dan penyelenggara negara. Mereka diduga menerima aliran dana
terkait proyek pembangunan jembatan dan jalan,†tuturnya.
Menurutnya, terdapat total Rp 573
miliar untuk proyek pembangunan jalan dan jembatan. Berdasarkan hasil
pemeriksaan PPATK, dana yang terpakai untuk kegiatan pembangunan tersebut hanya
sebesar Rp 112 miliar.
“Dari total nilai proyek sebesar
Rp 573.028.662.867 tersebut, hanya Rp 112.377.014.349 (19,61 persen) yang dapat
diidentifikasikan sebagai transaksi yang terkait dengan kegiatan operasional
pembangunan jalan dan jembatan. Sedangkan sisanya Rp 223.640.478.069 (39,03
persen) diduga tidak terkait dengan kegiatan usaha. Sebab, dilakukan melalui
transaksi tunai,†paparnya.
Terkait dana fantastis itu,
lanjutnya, PPATK sudah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Namun,
Badaruddin tidak bersedia memberikan informasi siapa atau lembaga mana yang
diduga terlibat. Dia menyatakan tugas PPATK hanya sebatas melakukan penelusuran
terkait adanya transaksi. “Untuk tindak lanjutnya ada lembaga penegak hukum
yang lebih berwenang. Yang pasti, PPATK selalu berkoordinasi dengan aparat penegak
hukum,†ucapnya.
Dari sejumlah penelusuran itu,
PPATK juga menemukan aliran dana terkait penyelundupan bibit lobster. Dia
menyebut penyelundupan benih lobster itu melibatkan banyak pihak. Bahkan, modus
yang digunakan pelaku melibatkan sindikat internasional. Sumber dananya berasal
dari bandar yang di luar negeri. Selanjutnya, dana itu dialirkan ke berbagai
pengepul di Indonesia.
Menurutnya, transaksi antara
sindikat di luar negeri dengan pelaku di Indonesia menggunakan valuta asing
sebagai perantaranya. Sementara rekeningnya melalui pihak ketiga. “Ada
penggunaan rekening pihak ketiga. Misalnya toko mainan, perusahaan garmen, dan
perusahaan ekspor ikan untuk menampung dana dari luar negeri,†tukasnya.
Dalam setahun aliran dana dari
luar negeri yang diduga digunakan mendanai pengepul mencapai Rp 300 miliar
sampai hingga Rp 900 miliar. PPATK, kata Badaruddin, bekerjasama dengan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Bareskrim Polri.
Sementara itu, Wakil Kepala
PPATK, Dian Ediana Rae menambahkan pihaknya ingin memperkuat strategi untuk
membantu penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi. “Ada data daftar yang
bisa dikatakan database pejabat negara dan pejabat partai politik yang diduga
terkait dan sebagainya,†imbuh Dian.
Selain itu, PPATK melakukan
analisis terhadap lembaga-lembaga negara yang terindikasi terlibat korupsi.
Menurutnya, korupsi tidak mungkin dilakukan satu sampai dua orang saja. Dia
mengaku dalam sehari PPATK bisa menerima 300 laporan transaksi keuangan
mencurigakan (LKTM). Laporan itu didapat dari para penyedia jasa keuangan.
Apabila telah dilakukan
penelusuran dan ditemukan adanya tindak pidana, PPATK menyerahkannya kepada
aparat penegak hukum. Hal ini agar LKTM itu dapat ditindaklanjuti. “Ada
kesimpulan misalnya masuk ranah adalah pidana, tentu kami serahkan ke KPK atau
Polisi,†terang Dian.
Dian menjelaskan dari penelusuran
yang dilakukan ada sejumlah pencuci uang profesional yang menjalankan bisnis
konsultasi di Indonesia. Tugasnya memberikan arahan kepada pelaku kejahatan.
Salah satunya koruptor. Tujuannya untuk menempatkan uang agar tak terdeteksi
aparat hukum. “Mereka ini profesional. Ini yang sedang ditelusuri, siapa saja
pelakunya. Sebab, mereka sangat ahli mengatur bagaimana transaksi dilakukan,â€
beber Dian.
Para pelaku, kata Dian, diduga
merekayasa hukum dan keuangan. Salah satunya dengan menggunakan modus transfer
uang ke luar negeri. Para pelaku pencucian uang ini, dari penelusuran PPATK
sebagian ada yang menjalankan bisnis di Indonesia. Bahkan, profesinya beragam.
Seperti akuntan, notaris dan pengacara. Namun, Dian menyebutnya sebagai oknum.
Dia mencontohkan kasus pejabat di
suatu daerah dapat menempatkan uangnya di luar negeri. Modus ini tidak mungkin
dilakukan sang pejabat tanpa bantuan pencuci uang profesional. “PPATK sudah
berkoordinasi dengan lembaga hukum negara lain untuk menelusuri aliran dana
dari dalam negeri,†tukasnya. Karena itu, PPATK berharap aparat hukum dapat
meringkus para pencuci uang profesional tersebut. (rh/fin/kpc)