25.4 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

Peningkatan Pendidikan Vokasi Jangan Sekadar Tambah Gedung

Pemerintah kabupaten/kota
ikut bertanggung jawab atas kualitas pendidikan di daerahnya. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengingatkan pemerintah daerah (pemda),
khususnya provinsi, agar cermat dalam penganggaran di sektor pendidikan vokasi.
Sebab, persentase anggaran yang diwajibkan cukup besar, yakni 20 persen.

Dari kajian yang
dilakukan Bappenas, pemda umumnya memiliki pekerjaan rumah yang sama. Yakni,
kurang efisien dalam penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
bidang pendidikan.

“Saya sarankan belanja
untuk pendidikan vokasi ditingkatkan. Tapi peningkatannya jangan hanya sekadar
menambah gedung atau peralatan,” jelas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN) Bambang Brodjonegoro, Senin (12/8).

Persentase 20 persen
sering kali habis untuk peningkatan atau perbaikan sarana fisik. Hal itu memang
diperlukan. Tapi pemda kurang jeli untuk peningkatan kualitas non-fisik.
Contoh, pembinaan untuk guru dan penataan kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan industri. “Perlu menyentuh kurikulum agar benar-benar mengurangi
ketidakcocokan antara dunia pendidikan dengan pasar kerja,” lanjut Bambang.

Apalagi, setelah ini
pemerintah pusat akan mengupayakan bantuan untuk revitalisasi SMK.
Masing-masing sekolah ditaksir membutuhkan biaya antara Rp 7 hingga Rp 15
miliar. Jumlah yang cukup besar. Apalagi untuk sekolah yang tidak membutuhkan
peralatan kasar yang mahal.

Baca Juga :  551 Pasien Covid-19 Sembuh dalam Sehari, Totalnya Capai 9.441 Orang

Bambang usul pemda
maupun sekolah yang bersangkutan memberikan penekanan pada hal yang belum
tercapai. Bila masih ada ketidakcocokan dengan industri, maka poin itu yang
harus diprioritaskan.

Saat ini, Bappenas
tengah fokus dalam sosialisasi ke pemda soal efisiensi penggunaan anggaran ke
pemda. Tujuannya agar pagu anggaran yang disediakan tepat sasaran. “Untuk
pendidikan, kalau dirasa angka partisipasi kasarnya sudah cukup baik, sudah
saatnya belanja diarahkan lebih kepada kualitasnya,” terang Bambang.

Sementara itu,
pertumbuhan jumlah SMK belum diiringi dengan peningkatan kualitas. Direktur
Pembinaan Sekolah SMK Kemendikbud M. Bakrun menyebut, saat ini ada sekitar 14
ribu SMK di Indonesia. Sebanyak 4 ribu unit di antaranya berstatus negeri,
sedangkan sisanya swasta. Menurut M. Bakrun jumlah itu tidak ideal.

”Izin mendirikan SMK
itu wewenang pemerintah provinsi. Kami hanya bisa mengintervensi agar pemrpov
mengevaluasi. Apakah sudah berjalan sesuai kaidah SMK yang mampu memberikan
ketrampilan kepada lulusannya,” urai Bakrun.

Monitoring dan
evaluasi, lanjut dia, sangat penting untuk mendukung program revitalisasi
pendidikan vokasi. Tahun 2020, Kemendikbud memiliki target merevitalisasi 557
SMK di semua daerah. Khususnya daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal).
SMK yang kurang memenuhi standar layanan pendidikan sebaiknya digabung saja.

Baca Juga :  Prabowo Cekik dan Tampar Wamentan Ternyata Hoax, Rudi S Kamri Minta Maaf

Revitalisasi meliputi
perbaikan fasilitas gedung, laboratorium, bengkel workshop, hingga penyesuaian
kurikulum dengan kebutuhan industri.

Bakrun mengaku sering
mendapat masukan dari pelaku industri bahwa lulusan SMK kurang tangguh. Padahal
SMK dituntut untuk menciptakan lulusan yang terampil dan memiliki etos kerja
tinggi. Tentu, hal tersebut menjadi sebuah anomali.

”Makanya kami fokus
dalam pembinaan karakter kerja tahun depan. Kalau karakter kerjanya bagus,
apapun jenis pekerjaannya bisa beradaptasi dengan baik,” jelasnya.

Kemendikbud juga
mewacanakan pemasaran lulusan SMK untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Pihaknya sudah berkoordinasi dan bekerja sama dengan BNP2TKI (Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Mereka melakukan pilot
project pada tiga daerah. Indramayu (Jabar), Cilacap (Jateng), dan Ponorogo
(Jatim). ”Fokus negaranya ke Jepang, karena negara itu memang sedang
membutuhkan tenaga kerja. Untuk SMK apa kami sedang kaji,” ujarnya.(jpg)

 

Pemerintah kabupaten/kota
ikut bertanggung jawab atas kualitas pendidikan di daerahnya. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengingatkan pemerintah daerah (pemda),
khususnya provinsi, agar cermat dalam penganggaran di sektor pendidikan vokasi.
Sebab, persentase anggaran yang diwajibkan cukup besar, yakni 20 persen.

Dari kajian yang
dilakukan Bappenas, pemda umumnya memiliki pekerjaan rumah yang sama. Yakni,
kurang efisien dalam penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
bidang pendidikan.

“Saya sarankan belanja
untuk pendidikan vokasi ditingkatkan. Tapi peningkatannya jangan hanya sekadar
menambah gedung atau peralatan,” jelas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN) Bambang Brodjonegoro, Senin (12/8).

Persentase 20 persen
sering kali habis untuk peningkatan atau perbaikan sarana fisik. Hal itu memang
diperlukan. Tapi pemda kurang jeli untuk peningkatan kualitas non-fisik.
Contoh, pembinaan untuk guru dan penataan kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan industri. “Perlu menyentuh kurikulum agar benar-benar mengurangi
ketidakcocokan antara dunia pendidikan dengan pasar kerja,” lanjut Bambang.

Apalagi, setelah ini
pemerintah pusat akan mengupayakan bantuan untuk revitalisasi SMK.
Masing-masing sekolah ditaksir membutuhkan biaya antara Rp 7 hingga Rp 15
miliar. Jumlah yang cukup besar. Apalagi untuk sekolah yang tidak membutuhkan
peralatan kasar yang mahal.

Baca Juga :  551 Pasien Covid-19 Sembuh dalam Sehari, Totalnya Capai 9.441 Orang

Bambang usul pemda
maupun sekolah yang bersangkutan memberikan penekanan pada hal yang belum
tercapai. Bila masih ada ketidakcocokan dengan industri, maka poin itu yang
harus diprioritaskan.

Saat ini, Bappenas
tengah fokus dalam sosialisasi ke pemda soal efisiensi penggunaan anggaran ke
pemda. Tujuannya agar pagu anggaran yang disediakan tepat sasaran. “Untuk
pendidikan, kalau dirasa angka partisipasi kasarnya sudah cukup baik, sudah
saatnya belanja diarahkan lebih kepada kualitasnya,” terang Bambang.

Sementara itu,
pertumbuhan jumlah SMK belum diiringi dengan peningkatan kualitas. Direktur
Pembinaan Sekolah SMK Kemendikbud M. Bakrun menyebut, saat ini ada sekitar 14
ribu SMK di Indonesia. Sebanyak 4 ribu unit di antaranya berstatus negeri,
sedangkan sisanya swasta. Menurut M. Bakrun jumlah itu tidak ideal.

”Izin mendirikan SMK
itu wewenang pemerintah provinsi. Kami hanya bisa mengintervensi agar pemrpov
mengevaluasi. Apakah sudah berjalan sesuai kaidah SMK yang mampu memberikan
ketrampilan kepada lulusannya,” urai Bakrun.

Monitoring dan
evaluasi, lanjut dia, sangat penting untuk mendukung program revitalisasi
pendidikan vokasi. Tahun 2020, Kemendikbud memiliki target merevitalisasi 557
SMK di semua daerah. Khususnya daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal).
SMK yang kurang memenuhi standar layanan pendidikan sebaiknya digabung saja.

Baca Juga :  Prabowo Cekik dan Tampar Wamentan Ternyata Hoax, Rudi S Kamri Minta Maaf

Revitalisasi meliputi
perbaikan fasilitas gedung, laboratorium, bengkel workshop, hingga penyesuaian
kurikulum dengan kebutuhan industri.

Bakrun mengaku sering
mendapat masukan dari pelaku industri bahwa lulusan SMK kurang tangguh. Padahal
SMK dituntut untuk menciptakan lulusan yang terampil dan memiliki etos kerja
tinggi. Tentu, hal tersebut menjadi sebuah anomali.

”Makanya kami fokus
dalam pembinaan karakter kerja tahun depan. Kalau karakter kerjanya bagus,
apapun jenis pekerjaannya bisa beradaptasi dengan baik,” jelasnya.

Kemendikbud juga
mewacanakan pemasaran lulusan SMK untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Pihaknya sudah berkoordinasi dan bekerja sama dengan BNP2TKI (Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Mereka melakukan pilot
project pada tiga daerah. Indramayu (Jabar), Cilacap (Jateng), dan Ponorogo
(Jatim). ”Fokus negaranya ke Jepang, karena negara itu memang sedang
membutuhkan tenaga kerja. Untuk SMK apa kami sedang kaji,” ujarnya.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru