PADA 21 tahun yang lalu, empat Mahasiswa Universitas Trisakti gugur
terkena peluru panas aparat rezim Orde Baru pada 12 Mei 1998 yang kini
disematkan sebagai pahlawan Bintang Jasa Pratama. Mengambil pelajaran atas
tragedi itu, mahasiswa Indonesia saat ini dinilai kurang kritis.
Hal itu disampaikan Pengamat
Politik dan Peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah,
Adi Prayitno saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Senin (13/5).
“Lima tahun ini nyaris tak
ada gerakan mahasiswa kritis yang bisa memberikan check and balances bagi
penguasa. Entah pada kemana mahasiswa pewaris sejarah itu?,” kata Adi.
Padahal kata dia, banyak
kebijakan yang merugikan rakyat seperti impor beras, kenaikan BBM dan Tarif Dasar
Listri (TDL) yang berulang, kebebabasan berekspresi, serta massifnya praktik
money politik yang makin vulgar. Nyaris hampir tak pernah bersuara, Mahasiswa
bahkan hampir kalah dengan suara kritikan emak-emak.
“Mahasiswa kini nyaris tak
terdengar daya krititisnya, suara mereka tenggelam oleh gemuruh emak-emak yang
kerap protes terhadap kebijakan tak populis. Mestinya mahasiswa malu pada
emak-emak karena peran meran kritis mereka sudah diambil alih,” tandas
Adi.
Diketahui dalam kejadian tragedi
Reformasi 12 Mei 1998, keempat pejuang gerakan mahasiswa 1998 itu gugur demi
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menuntur perubahan atas orde lama.
Kematian mereka juga mempercepat eskalasi perubahan politik di bawah kekuasaan
rezim Orde Baru.
Keempat mahasiswa itu adalah
Hendriawan Sie bin Hendrik Sie, Elang Mulya Lesmana bin Bagus Yoga Nandita,
Herry Hartanto bin Syahrir, dan Hafidin Royan bin Raden Enus Yunus.
Eks Aktivis gerakan mahasiswa
1998, Julianto Hendro Cahyono mengatakan pasca kematian empat mahasiswa itu,
rezim Orde Baru berusaha mengubur tuntutan perubahan total dari para mahasiswa
pasca Tragedi Trisakti dengan menciptakan kerusuhan berbau SARA, namun para
mahasiswa bergeming, dengan melanjutkan perjuangan, mengubah pola aksi jalanan
dengan Aksi Pendudukan DPR-RI pada Senin, 18 Agustus 1998, dan berhasil memuat
Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.
Meskipun begitu kata Julianto,
Soeharto yang menjadi simbol kekuasaan totaliter itu telah mundur, namun
kekuatan Orde Baru belum pupus, bahkan semakin bermetamorfosa, dan
memanfaatkan deregulasi politik berupa pendirian partai-partai politik.
“Pada saat yang sama para
aktivis 98 yang memang berjuang berdasarkan gerakan moral kemudian kembali ke
kampus. Aktivis 98 terus melakukan pengawalan transisi melalui gerakan moral
hingga bertahun-tahun kemudian,” papar Julianto saat ziarah makam pejuang
reformasi di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Minggu (12/5). (rmol/kpc)