PROKALTENG.CO-Kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi, anggota Bidang Propam Polda NTB, menyisakan banyak tanda tanya. Peristiwa yang terjadi di Villa Tekek, The Beach House Resort, Gili Trawangan, Lombok Utara, pada 16 April 2025 itu, kini menyeret tiga nama sebagai tersangka: Kompol I Made Yogi Purusa Utama alias Kompol Yogi, Ipda Haris Chandra, dan seorang perempuan bernama Misri Puspita Sari.
Perempuan muda asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu kini menghadapi tuduhan berat. Yakni turut serta atau lalai hingga menyebabkan kematian Brigadir Brigadir Nurhadi.
Tuduhan itu tertuang berdasarkan Surat Ketetapan Tersangka bernomor S.Tap/115/V/RES.1.6/2025/Ditreskrimum, tertanggal 17 Juni 2025.
Meski begitu, tim penasihat hukum Misri dari Aliansi Reformasi Polri untuk Masyarakat NTB menilai ada potensi pelanggaran hak asasi dan risiko peradilan sesat dalam proses hukum ini.
Kronologi Liburan Maut
Bermula dari undangan Kompol YG kepada Misri via media sosial, perempuan 24 tahun itu diajak menemani liburan di Gili Trawangan dengan imbalan Rp 10 juta. Misri yang saat itu berada di Bali, akhirnya menerima ajakan dan tiba di Lombok pada Rabu, 16 April 2025.
Misri dijemput oleh Brigadir Nurhadi di pelabuhan dan kemudian bersama Kompol Yogi serta Ipda Haris Chandra menuju Gili Trawangan.
Mereka menginap di dua hotel berbeda: Kompol Yogi dan Misri di Villa Tekek, sementara Ipda Haris Chandra, Brigadir Nurhadi, dan saksi perempuan lainnya, P di hotel Natya.
Sore hari, mereka berlima berkumpul di kolam Villa Tekek dan mengonsumsi narkotika jenis ekstasi (inex) serta obat penenang Riklona. Alkohol jenis tequila juga ikut dikonsumsi oleh Brigadir Nurhadi dan Ipda Haris Chandra.
Dalam kondisi mabuk, suasana mulai tidak terkendali. Misri mengaku melihat Brigadir Nurhadi mendekati dan mencium saksi P hingga ia menegur korban.
Setelah itu, suasana perlahan bubar. Sekitar pukul 18.20 Wita, sebagian kembali ke hotel Natya. Misri yang sempat mevideokan Brigadir Nurhadi sendirian di kolam karena tampak “lucu”, lalu masuk kamar dan mandi.
Sekitar pukul 21.00 Wita, ia kaget melihat tubuh Brigadir Nurhadi tergeletak di dasar kolam.
Misri langsung berteriak, dan Kompol Yogi bergegas menolong. Brigadir Nurhadi dievakuasi dan sempat mendapat bantuan napas buatan. Dokter dari Warna Medika datang memberi pertolongan, namun nyawa korban tak tertolong. Kematian itu awalnya disebut akibat tenggelam.
Dugaan Kekerasan dan Hasil Otopsi
Namun keterangan itu mulai dipertanyakan setelah hasil otopsi menunjukkan adanya tanda kekerasan di beberapa bagian tubuh korban, termasuk wajah, leher, tengkuk, lengan, dan lutut.
Bahkan, lidah dan kepala Brigadir Nurhadi juga menunjukkan bekas luka, menguatkan dugaan bahwa korban mengalami penganiayaan sebelum ditemukan di kolam.
Otopsi baru dilakukan pada 1 Mei 2025 melalui proses ekshumasi. Sekitar dua pekan setelah korban dimakamkan.
Proses Hukum Dinilai Tidak Adil
Aliansi Reformasi Polri menyebut proses hukum terhadap Misri rentan tidak adil. Selain karena Misri bukan anggota kepolisian, ia juga tidak mengenal Brigadir Nurhadi sebelumnya, dan baru pertama kali bertemu korban di hari kejadian.
“Kondisi fisik dan psikis M (Misri, red) sangat rentan. Ia di bawah pengaruh obat penenang dan narkotika, kehilangan sebagian kesadaran, serta mengalami trauma berat hingga kerasukan. Ia bukan pelaku penganiayaan,” ujar Yan Mangandar Putra, Penasihat Hukum Misri.
Pengacara dari Aliansi Reformasi Polri juga menyoroti ketidakwajaran tindakan Ipda Haris Chandra yang mengantarkan jenazah ke RS Bhayangkara tanpa prosedur semestinya.
Saat itu, keluarga korban percaya bahwa Brigadir Nurhadi tewas karena tenggelam dan langsung menguburkan jenazah.
Penangkapan dan Permohonan Penangguhan
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Misri ditangkap pada 1 Juli 2025 oleh Subdit III Ditreskrimum Polda NTB saat tiba di Bandara Lombok.
Ia sempat didampingi tim Aliansi ke kantor polisi, namun pemeriksaan terganggu akibat kondisi fisik dan mental yang tidak stabil.
Tanggal 2 Juli 2025, Misri resmi ditahan di Rutan Polda NTB. Dua hari kemudian, pihak pengacara mengajukan penangguhan penahanan dengan jaminan dari aliansi.
“Sejak ayahnya meninggal, M jadi tulang punggung keluarga. Ia siswi berprestasi, belum menikah, dan satu-satunya penanggung jawab pendidikan lima saudara dan ibunya,” tambah Yan.
Fakta Tambahan dan Dugaan Penggunaan Obat
Dalam pemeriksaan, terungkap bahwa ekstasi diperoleh dari Kompol Yogi. Sementara Riklona dibeli melalui Misri yang dipesankan Kompol Yogi dengan transfer Rp 2 juta. Sementara alkohol dikonsumsi sebagian dari mereka.
Namun, baik Misri, Kompol Yogi, maupun Ipda Haris Chandra mengaku tidak mengetahui kejadian pasti kematian Brigadir Nurhadi.
Kasus ini membuka tabir gelap dalam relasi kekuasaan di tubuh institusi penegak hukum.
Aliansi mendesak agar penyidikan dilakukan secara objektif dan transparan, dengan menjamin hak-hak tersangka, terutama terhadap pihak sipil yang rentan terhadap tekanan sistemik. (jpg)