31.7 C
Jakarta
Friday, September 20, 2024

Mahfud MD Sebut Judicial Review UU KPK Pasti Ditolak, Ini Alasannya

JAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
membeberkan tiga langkah yang bisa ditempuh untuk mengoreksi atau membatalkan
revisi UU KPK yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu.

Pertama, legislatif review.
Kedua, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu.
Ketiga, judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu dikatakan Mahfud MD saat
menjadi narasumber dalam Indonesia Lawyers Club (ILC) TvOne.

Pakar hukum tata negara itu
mengatakan, penetapan UU KPK sudah konstitusional. Namun, keabsahannya
diperdebatkan.

Ia menjelaskan, keabsahan UU
mengandung tiga hal, yakni keabsahan filosofis, keabsahan yuridis, dan
keabsahan sosiologis. “Ini
(keabsahan) filosofis dan sosiologis diperdebatkan,” kata Mahfud yang
menceritakan pertemuannya dengan Presiden Jokowi di Istana Negara.

Mahfud mengatakan, langkah paling
mudah adalah legislatif review
di DPR.

“Tapi risikonya kalau dibahas biasa, yang
dipertentangkan itu tetap kalah di DPR karena partainya sudah setuju ini
(revisi UU KPK). Padahal rakyat bukan menghendaki itu. Pasti tidak ada
gunanya,” kata Mahfud.

Baca Juga :  Kendala Ekonomi Bikin Anak Memilih Tak Lanjutkan Studi, Mending Kerja

Langkah lain yang bisa ditempuh
yakni juducial review. Namun Mahfud meyakini judicial review akan ditolak oleh MK.

“MK dilarang membatalkan dilarang
membatalkan isi undang-undang yang tidak disukai rakyat selama tidak
bertentangan dengan konstitusi. Ini (revisi UU KPK) tidak disukai oleh rakyat,
tapi tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Mahfud.

“Ini yang disebut open legalcy policy. Saya dulu menolak
untuk membatalkan undang-undang penodaan agama, meskipun saya tahu itu jelek.
Tetapi itu konstitusional,” imbuhnya.

Menurut Mahfud, yang mengubah hal
jelek adalah legislatif, bukan MK. Karena itu, percuma mengajukan judicil
review ke MK karena pasti ditolak.“Ini kalau dibawa ke MK pasti MK akan bilang,
lah ini urusan legislatif, pasti ditolak. Kok bermimpi orang ke Mahkamah
Konstitusi,” jelas Mahfud.

“Saya itu mantan ketua MK menangani
hal-hal yang kayak gini, pasti ditolak. Paling dikabulkan satu bagian satu
bagian yang tidak prinsif. Kecuali bisa membuktikan uji formalnya. Kalau uji
materinya pastilah ditolak, tidak ada gunanya Anda ke Mahkamah Konstitusi,”
tegas Mahfud.

Baca Juga :  Jokowi Jadi Studi Kasus Disertasi Kolonel Pustaka Bangun

Selain legislatif reviuw dan
judicial review, opsi ketiga yakni Perppu. “Perppu
itu dasarnya adalah hak subjektif presiden,” kata Mahfud.

Ada tiga syarat untuk
mengeluarkan Perppu. Pertama, kegentingan yang memaksa atau kebutuhan yang
mendesak. Kedua, kekosongan hukum
atau UU sudah ada tapi tidak memadai dan tidak bisa mengatasi keadaan.

Ketiga, kekosongan hukum tidak
bisa diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan
membutuhkan waktu lama. Padahal keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian
hukum untuk diselesaikan segera.

Mahfud heran dengan pernyataan
sejumlah pihak yang menyatakan presiden bisa di-impeachment jika menerbitkan
Perpu revisi UU KPK.

Dikatakan Mahfud, Presiden hanya
bisa di-impeachment jika terlibat korupsi, terlibat pengkhianatan, terlibat
penyuapan, kejahatan besar yang bisa diancam pidana lebih dari 5 tahun, dan
perbuatan tercela.

“Di luar itu, presiden berbuat
apa pun tidak bisa dijatuhkan,” tandas Mahfud. (one/pojoksatu/kpc)

Simak videonya berikut ini:

JAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
membeberkan tiga langkah yang bisa ditempuh untuk mengoreksi atau membatalkan
revisi UU KPK yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu.

Pertama, legislatif review.
Kedua, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu.
Ketiga, judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu dikatakan Mahfud MD saat
menjadi narasumber dalam Indonesia Lawyers Club (ILC) TvOne.

Pakar hukum tata negara itu
mengatakan, penetapan UU KPK sudah konstitusional. Namun, keabsahannya
diperdebatkan.

Ia menjelaskan, keabsahan UU
mengandung tiga hal, yakni keabsahan filosofis, keabsahan yuridis, dan
keabsahan sosiologis. “Ini
(keabsahan) filosofis dan sosiologis diperdebatkan,” kata Mahfud yang
menceritakan pertemuannya dengan Presiden Jokowi di Istana Negara.

Mahfud mengatakan, langkah paling
mudah adalah legislatif review
di DPR.

“Tapi risikonya kalau dibahas biasa, yang
dipertentangkan itu tetap kalah di DPR karena partainya sudah setuju ini
(revisi UU KPK). Padahal rakyat bukan menghendaki itu. Pasti tidak ada
gunanya,” kata Mahfud.

Baca Juga :  Kendala Ekonomi Bikin Anak Memilih Tak Lanjutkan Studi, Mending Kerja

Langkah lain yang bisa ditempuh
yakni juducial review. Namun Mahfud meyakini judicial review akan ditolak oleh MK.

“MK dilarang membatalkan dilarang
membatalkan isi undang-undang yang tidak disukai rakyat selama tidak
bertentangan dengan konstitusi. Ini (revisi UU KPK) tidak disukai oleh rakyat,
tapi tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Mahfud.

“Ini yang disebut open legalcy policy. Saya dulu menolak
untuk membatalkan undang-undang penodaan agama, meskipun saya tahu itu jelek.
Tetapi itu konstitusional,” imbuhnya.

Menurut Mahfud, yang mengubah hal
jelek adalah legislatif, bukan MK. Karena itu, percuma mengajukan judicil
review ke MK karena pasti ditolak.“Ini kalau dibawa ke MK pasti MK akan bilang,
lah ini urusan legislatif, pasti ditolak. Kok bermimpi orang ke Mahkamah
Konstitusi,” jelas Mahfud.

“Saya itu mantan ketua MK menangani
hal-hal yang kayak gini, pasti ditolak. Paling dikabulkan satu bagian satu
bagian yang tidak prinsif. Kecuali bisa membuktikan uji formalnya. Kalau uji
materinya pastilah ditolak, tidak ada gunanya Anda ke Mahkamah Konstitusi,”
tegas Mahfud.

Baca Juga :  Jokowi Jadi Studi Kasus Disertasi Kolonel Pustaka Bangun

Selain legislatif reviuw dan
judicial review, opsi ketiga yakni Perppu. “Perppu
itu dasarnya adalah hak subjektif presiden,” kata Mahfud.

Ada tiga syarat untuk
mengeluarkan Perppu. Pertama, kegentingan yang memaksa atau kebutuhan yang
mendesak. Kedua, kekosongan hukum
atau UU sudah ada tapi tidak memadai dan tidak bisa mengatasi keadaan.

Ketiga, kekosongan hukum tidak
bisa diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan
membutuhkan waktu lama. Padahal keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian
hukum untuk diselesaikan segera.

Mahfud heran dengan pernyataan
sejumlah pihak yang menyatakan presiden bisa di-impeachment jika menerbitkan
Perpu revisi UU KPK.

Dikatakan Mahfud, Presiden hanya
bisa di-impeachment jika terlibat korupsi, terlibat pengkhianatan, terlibat
penyuapan, kejahatan besar yang bisa diancam pidana lebih dari 5 tahun, dan
perbuatan tercela.

“Di luar itu, presiden berbuat
apa pun tidak bisa dijatuhkan,” tandas Mahfud. (one/pojoksatu/kpc)

Simak videonya berikut ini:

Terpopuler

Artikel Terbaru