PROKALTENG.CO – Survei Lembaga Riset Institute for Demographic and
Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa kelompok keluarga miskin sangat patuh
terhadap protokol kesehatan. Namun demikian, justru merekalah pihak yang paling
keras terdampak krisis akibat adanya pandemi.
Survei tersebut digelar di lima
wilayah aglomerasi utama di Indonesia yaitu Jakarta Raya (Jabodetabek),
Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya. Survei dilakukan
kepada 1.013 kepala keluarga miskin secara tatap muka sepanjang 7 Januari
sampai 11 Februari 2021.
Pada survei tersebut secara
menarik, keluarga miskin tidak banyak terpengaruh langsung oleh pandemi.
Sebesar 99,4 persen responden menyatakan tidak ada satupun anggota keluarga
mereka yang terinfeksi Covid-19 dan secara mengejutkan 97,6 persen mengaku
mematuhi protokol kesehatan.
“Temuan ini cukup mengejutkan,
mengindikasikan kesadaran dan kepatuhan protokol kesehatan yang sangat baik di
keluarga miskin, meski secara umum kita melihat masih banyak masyarakat di
kawasan metropolitan yang abai dan tidak mematuhi protokol kesehatan,†kata
Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya pada Senin (3/5).
Dia menambahkan bahwa secara
medis pandemi Covid-19 tidak terlalu berpengaruh kepada keluarga miskin, hal
justru keras menghantam adalah krisis akibat dari pandemi. Sebanyak 97,9 persen
responden dari keluarga miskin mengaku ekonominya sangat terdampak pandemi.
“97,9 persen yang mengaku
ekonominya terdampak merasakan berbagai masalah ekonomi yang mereka hadapi
mulai dari turunnya penghasilan keluarga, kehilangan pekerjaan hingga
pendidikan anak mereka terlantar,†tuturnya.
Dalam penjabaranya Yusuf menjelaskan
Sebesar 84,6 persen responden menyatakan pekerjaan atau usahanya terdampak oleh
pandemi, dengan dampak paling banyak dirasakan adalah usaha sepi pembeli, jam
kerja dan gaji dipotong hingga mengalami PHK, sulit mencari pekerjaan baru dan
menganggur.
Terdapat Sebanyak 77,2 persen
mengaku turunnya penghasilan keluarga, 76,9 persen mengaku kebutuhan pangan
keluarga mereka terganggu, dan 32,6 persen kehilangan pekerjaan.
“Responden yang mengaku
menganggur melonjak dari 8,3 persen sebelum pandemi menjadi 14,3 persen setelah
pandemi. Dari 85,7 persen responden yang masih bekerja setelah pandemi, 17,5
persen diantaranya mengaku harus beralih profesi untuk dapat terus bekerja,â€
ungkap Yusuf.
Profesi utama keluarga miskin
yang menurun paling banyak karena pandemi adalah buruh pabrik, sopir, penjaga
toko/warung, petugas keamanan, petugas kebersihan, karyawan, buruh bangunan
hingga asisten rumah tangga.
“Sedangkan profesi keluarga
miskin yang meningkat paling banyak setelah pandemi adalah bekerja serabutan,
diikuti buruh lepas/harian, buruh tani, pemulung dan berdagang/ usaha mandiri,â€
ujar Yusuf.
Disrupsi pada usaha dan pekerjaan
keluarga miskin, membuat penghasilan mereka merosot tajam. Penghasilan
responden jatuh dari rata-rata Rp 2,1 juta per bulan sebelum pandemi menjadi
rata-rata Rp 1,3 juta per bulan saat pandemi.
“Jatuhnya penghasilan keluarga
miskin ini diikuti dengan jatuhnya pengeluaran mereka, dari rata-rata Rp 1,7
juta per bulan sebelum pandemi menjadi rata-rata Rp 1,4 juta per bulan saat
pandemi,†ungkap Yusuf.
IDEAS menyarankan pihak terkait
untuk mengoptimalkan ruang-ruang intervensi dalam rangka meminimalkan beban
yang dihadapi keluarga miskin agar mereka dapat melewati krisis.
“Pertama, mengintensifkan bantuan
sosial dan membuatnya menjadi regular dan permanen selama pandemi belum
berakhir. Beban berat yang telah menyentuh kebutuhan paling dasar yaitu pangan,
membuat bantuan sosial menjadi krusial,†paparnya.
Kedua, intervensi non bansos yang
sangat bagi keluarga miskin, terutama intervensi terkait dengan ketahanan
pangan dan ketahanan psikologis keluarga miskin.
“Intervensi yang mempromosikan
pertanian tanpa lahan atau urban farming terutama untuk keluarga miskin
perkotaan berpotensi besar menopang ketahanan pangan dan bahkan ketahanan
ekonomi keluarga miskin,†tutup Yusuf.