PROKALTENG.CO-Kabar bahagia untuk para buruh, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang memberatkan pekerja.
Dalam putusannya pada hari Kamis, 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi mengubah sebanyak 21 pasal yang diajukan serikat buruh dan Partai Buruh.
Dari sejumlah pasal yang diubah, ada beberapa poin penting dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Pertama adalah tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan yang harus dipisah dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Mahkamah Konstitusi meminta dengan segera pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Kemudian, pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja lokal atau dari Indonesia dalam segala jenis jabatan.
Jika jabatan tersebut belum diduduki oleh tenaga kerja lokal, maka tenaga kerja asing diperbolehkan masuk.
Selanjutnya terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau PKWT yang telah kini durasinya paling lama 5 tahun.
Selain itu, perjanjian tersebut tidak boleh menggunakan bahasa asing, wajib ditulis dengan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Mahkamah Konstitusi juga menyoroti sistem outsourcing yang jenisnya harus dibatasi serta mempertegas aturan yang boleh digunakan dan yang dilarang dalam pelaksanaan sistem tersebut.
Terkait hari libur, MK mengembalikan opsi alternatif libur 2 hari dalam seminggu, yang berarti 5 hari kerja.
Dalam aturan sebelumnya, tak ada opsi ini, yang tercantum adalah bahwa pekerja punya jatah libur sehari dalam seminggu.
Mahkaman Konstitusi juga menambahkan frasa proporsional untuk melengkapi kalimat tentang skala upah.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, penjelasan tentang hidup layak dalam pasal penghasilan atau upah telah dilenyapkan, padahal sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi mengembalikannya sehingga upah harus memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya secara layak, meliputi makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan, jaminan masa tua, hingga rekreasi.
Lalu, Dewan Pengupahan akan dihidupkan kembali setelah sebelumnya telah dihapus oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
Nantinya, penetapan kebijakan upah tak lagi dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat.
Kemudian, Upah Minimum Sektoral akan dikembalikan karena jika itu dilenyapkan maka bisa mengancam standar perlindungan pekerja.
Tak hanya itu, serikat pekerja bisa kembali berperan dalam kebijakan pengupahan, yang sebelumnya hanya terjadi antara perusahaan dan pekerja.
Poin terakhir terkait Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa perundingan antara pekerja, serikat pekerja dan perusahaan harus dilakukan dengan musyawarah.
Jika tak ada titik terang, PHK bisa dilakukan usai memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industri.
Sementara itu, Presiden KSPI, Said Iqbal akan mempelajari lebih lanjut mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.(jpg)