26.1 C
Jakarta
Monday, April 21, 2025

Pekerja Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

JAKARTA – Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan
menuai penolakan dari berbagai pihak. Seperti dari Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), menegaskan menolak dengan mentah-mentan terkait kenaikan
iuran BPJS Kesehatan karena memberatkan masyarakat dan bukan solusi
menyelesaikan masalah defisit.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan persoalan defisit BPJS Kesehatan yang
terus berulang adalah ketidakmampuan BPJS dalam mengelola penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah
defisit butan membebankan rakyat dengan menaikkan iuran.

Namun, usul dia, dengan menambah kepesertaan BPJS Kesehatan dan menaikkan
besaran iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh
pemerintah.

Lanjut dia, pemerintah juga harus memastikan 5 persen dari APBN dan 10
persen dari APBD (sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Kesehatan) untuk
anggaran kesehatan dialokasikan untuk BPJS Kesehatan.

“Cash flow anggaran juga harus diperhatikan. Termasuk sistem INA-CBG’s dan
kapitasi perlu dikaji kembali, sebab di situ banyak potensi kebocoran dan
penyelewengan,” ujar Iqbal dalam keterangannya, Minggu (1/9).

Sebagai bentuk penolakan, KSPI bersama buruh Indonesia akan melakukan aksi
yang diikuti 150 ribu buruh di 10 provinsi, pada 1 Oktober 2019.

Aksi tersebut digelar di Bandung Jawa Barat, Jakarta, Semarang Jawa Tegah,
Surabaya Jawa Timur, Lampung, Batam Kepulauan Riau, Medan Sumatera Utara, Aceh,
Kalimantan Timur, dan Gorontalo.

Khusus di Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di DPR RI bersamaan dengan
pelantikan anggota DPR RI yang baru.

KSPI juga menegaskan, menolak terhadap revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang merugikan hak-hak buruh. Sebagaimana diketahui, pemerintah menginginkan
ada perbaikan iklim investasi dengan cara merevisi beleid yang dianggap terlalu
kaku serta tidak ramah investasi ini.

Menurutnya, alih-alih melakukan perbaikan investasi, arah revisi adalah
untuk menekan kesejahteraan buruh. Misalnya dengan adanya rencana untuk
menurunkan nilai upah minimum, mengurangi pesangon, hingga membebaskan
penggunaan outsourcing di semua lini produksi.

Baca Juga :  Dukung Penanganan Pandemi, BRI Bantu Fasilitas Penunjang RS

Oleh karena itu, kata dia, alasan para pelaku usaha dan pemerintah
mendorong revisi UU Ketenagakerjaan dengan alasan untuk mendongkrak investasi
adalah hal yang mengada-ngada.

Sementara Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), Tulus
Abadi mengatakan, rencana kenaikan iuran BPJS bukan solusi tunggal untuk
dibebankan kepada konsumen. Sebab masih banyak cara lain, seperti relokasi
subsidi energi atau menaikkan cukai rokok.

“Sebagian dari subsidi energi yang masih mencapai Rp157 triliun sebagian
bisa direlokasi menjadi subsidi BPJS Kesehatan. Atau yang urgent adalah
menaikkan cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok
itu sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS Kesehatan,”
ujar Tulus kepada Fajar Indonesia Network (FIN), dalam keterangannya baru-baru
ini.

Namun, kata dia, jika pemerintah tetap ngotot tetap menaikkan iuran BPJS
Kesehatan, maka YLKI mendesak pemerintah dan manajemen untuk melakukan
reformasi total terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan.

Ada empat poin yang harus diperbaiki oleh BPJS Kesehatan, pertama,
menghilangkan kelas layanan, iuran bpjs berkeadilan, yg mampu bayar lebih
tinggi. Kedua, daftar peserta BPJS Kesehatan kategori PBI harus diverifikasi ulang,
dan agar lebih transparan dan akuntabel nama penerima PBI harus bisa diakses
oleh publik.

Lalu, desakan ketiga, manajemen BPJS Kesehatan harus membereskan tunggakan
iuran dari kategori mandiri/pekerja bukan penerima upah, yang mencapai 54
persen. Fenomena tunggakan ini jika dibiarkan akan menjadi benalu bagi
finansial BPJS Kesehatan. Di sisi yang lain, kenaikan iuran untuk kategori
peserta mandiri juga akan memicu tunggakan dari peserta mandiri akan semakin
tinggi.

Baca Juga :  Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal pada 13 Mei 2021

Sedangkan keempat, untuk menjadi mitra faskes tingkat pertama, seperti
puskesmas dan klinik, juga harus dilakukan verifikasi, khususnys terkait
ketersediaan dan jumlah dokter yang ada. Dan, terkait usulan besaran kenaikan
tarif YLKI memberikan toleransi dengan formulasi besaran, untuk kategori
peserta PBI kenaikannya pada kisaran Rp30 ribu-Rp40 ribu. Sedangkan untuk
peserta non PBI, usulan tarif rata-rata Rp60 ribu.

“Dengan demikian, YLKI mendorong pemerintah untuk memrioritaskan skenario
yang lain, seperti merelokasi subsidi energi dan atau menaikkan cukai rokok
untuk menambal defisit finansial BPJS Kesehatan, dan tidak perlu menaikkan
tarif. Kenaikan tarif adalah skenario terakhir. Atau setidaknya pemerintah
melakukan kombinasi keduanya,” tegas dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengatakan kenaikan
iuran BPJS Kesehatan akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin
sehat. Hitungan dia, bila kenaikan iuran yang diusulkannya diberlakukan, maka
kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi
surplus sebesar Rp17,2 triliun. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu
menyebut defisit Rp32,8 triliun pada tahun ini. Namun defsitbisa ditekan hingga
menjadi Rp14 triliun jika iuranpeserta PBI naik mulai Agustus 2019.

“Nah surplus itu bisa menutup defisit pada 2019. Pada tahun ini prediksi
defisitnya Rp14 triliun. Sudah ditutup pun masih surplus,” ucap Sri Mulyani di
Jakarta, Selasa (27/8).

Adapun Menteri Sri Mulyani mengusulkan kenaikan kelas mandiri I sebesar 100
persen, dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan. Untuk kelas mandiri II
dari Rp51 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu. Sementara kelas mandiri III dari
Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.(din/fin/kpc)

JAKARTA – Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan
menuai penolakan dari berbagai pihak. Seperti dari Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), menegaskan menolak dengan mentah-mentan terkait kenaikan
iuran BPJS Kesehatan karena memberatkan masyarakat dan bukan solusi
menyelesaikan masalah defisit.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan persoalan defisit BPJS Kesehatan yang
terus berulang adalah ketidakmampuan BPJS dalam mengelola penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah
defisit butan membebankan rakyat dengan menaikkan iuran.

Namun, usul dia, dengan menambah kepesertaan BPJS Kesehatan dan menaikkan
besaran iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh
pemerintah.

Lanjut dia, pemerintah juga harus memastikan 5 persen dari APBN dan 10
persen dari APBD (sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Kesehatan) untuk
anggaran kesehatan dialokasikan untuk BPJS Kesehatan.

“Cash flow anggaran juga harus diperhatikan. Termasuk sistem INA-CBG’s dan
kapitasi perlu dikaji kembali, sebab di situ banyak potensi kebocoran dan
penyelewengan,” ujar Iqbal dalam keterangannya, Minggu (1/9).

Sebagai bentuk penolakan, KSPI bersama buruh Indonesia akan melakukan aksi
yang diikuti 150 ribu buruh di 10 provinsi, pada 1 Oktober 2019.

Aksi tersebut digelar di Bandung Jawa Barat, Jakarta, Semarang Jawa Tegah,
Surabaya Jawa Timur, Lampung, Batam Kepulauan Riau, Medan Sumatera Utara, Aceh,
Kalimantan Timur, dan Gorontalo.

Khusus di Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di DPR RI bersamaan dengan
pelantikan anggota DPR RI yang baru.

KSPI juga menegaskan, menolak terhadap revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang merugikan hak-hak buruh. Sebagaimana diketahui, pemerintah menginginkan
ada perbaikan iklim investasi dengan cara merevisi beleid yang dianggap terlalu
kaku serta tidak ramah investasi ini.

Menurutnya, alih-alih melakukan perbaikan investasi, arah revisi adalah
untuk menekan kesejahteraan buruh. Misalnya dengan adanya rencana untuk
menurunkan nilai upah minimum, mengurangi pesangon, hingga membebaskan
penggunaan outsourcing di semua lini produksi.

Baca Juga :  Dukung Penanganan Pandemi, BRI Bantu Fasilitas Penunjang RS

Oleh karena itu, kata dia, alasan para pelaku usaha dan pemerintah
mendorong revisi UU Ketenagakerjaan dengan alasan untuk mendongkrak investasi
adalah hal yang mengada-ngada.

Sementara Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), Tulus
Abadi mengatakan, rencana kenaikan iuran BPJS bukan solusi tunggal untuk
dibebankan kepada konsumen. Sebab masih banyak cara lain, seperti relokasi
subsidi energi atau menaikkan cukai rokok.

“Sebagian dari subsidi energi yang masih mencapai Rp157 triliun sebagian
bisa direlokasi menjadi subsidi BPJS Kesehatan. Atau yang urgent adalah
menaikkan cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok
itu sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS Kesehatan,”
ujar Tulus kepada Fajar Indonesia Network (FIN), dalam keterangannya baru-baru
ini.

Namun, kata dia, jika pemerintah tetap ngotot tetap menaikkan iuran BPJS
Kesehatan, maka YLKI mendesak pemerintah dan manajemen untuk melakukan
reformasi total terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan.

Ada empat poin yang harus diperbaiki oleh BPJS Kesehatan, pertama,
menghilangkan kelas layanan, iuran bpjs berkeadilan, yg mampu bayar lebih
tinggi. Kedua, daftar peserta BPJS Kesehatan kategori PBI harus diverifikasi ulang,
dan agar lebih transparan dan akuntabel nama penerima PBI harus bisa diakses
oleh publik.

Lalu, desakan ketiga, manajemen BPJS Kesehatan harus membereskan tunggakan
iuran dari kategori mandiri/pekerja bukan penerima upah, yang mencapai 54
persen. Fenomena tunggakan ini jika dibiarkan akan menjadi benalu bagi
finansial BPJS Kesehatan. Di sisi yang lain, kenaikan iuran untuk kategori
peserta mandiri juga akan memicu tunggakan dari peserta mandiri akan semakin
tinggi.

Baca Juga :  Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal pada 13 Mei 2021

Sedangkan keempat, untuk menjadi mitra faskes tingkat pertama, seperti
puskesmas dan klinik, juga harus dilakukan verifikasi, khususnys terkait
ketersediaan dan jumlah dokter yang ada. Dan, terkait usulan besaran kenaikan
tarif YLKI memberikan toleransi dengan formulasi besaran, untuk kategori
peserta PBI kenaikannya pada kisaran Rp30 ribu-Rp40 ribu. Sedangkan untuk
peserta non PBI, usulan tarif rata-rata Rp60 ribu.

“Dengan demikian, YLKI mendorong pemerintah untuk memrioritaskan skenario
yang lain, seperti merelokasi subsidi energi dan atau menaikkan cukai rokok
untuk menambal defisit finansial BPJS Kesehatan, dan tidak perlu menaikkan
tarif. Kenaikan tarif adalah skenario terakhir. Atau setidaknya pemerintah
melakukan kombinasi keduanya,” tegas dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengatakan kenaikan
iuran BPJS Kesehatan akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin
sehat. Hitungan dia, bila kenaikan iuran yang diusulkannya diberlakukan, maka
kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi
surplus sebesar Rp17,2 triliun. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu
menyebut defisit Rp32,8 triliun pada tahun ini. Namun defsitbisa ditekan hingga
menjadi Rp14 triliun jika iuranpeserta PBI naik mulai Agustus 2019.

“Nah surplus itu bisa menutup defisit pada 2019. Pada tahun ini prediksi
defisitnya Rp14 triliun. Sudah ditutup pun masih surplus,” ucap Sri Mulyani di
Jakarta, Selasa (27/8).

Adapun Menteri Sri Mulyani mengusulkan kenaikan kelas mandiri I sebesar 100
persen, dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan. Untuk kelas mandiri II
dari Rp51 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu. Sementara kelas mandiri III dari
Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.(din/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru