JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2025 yang tembus 5,12% disambut optimistis oleh banyak pihak. Namun, bagi Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI Mukhtarudin, angka itu bukan akhir dari cerita. Ia melihat ada persoalan serius di balik capaian tersebut. Ketimpangan yang masih menganga antarwilayah, terutama antara Jawa dan luar Jawa.
Politikus senior asal Kalimantan Tengah itu mengingatkan, pertumbuhan yang tampak sehat di atas kertas belum tentu berdampak merata di lapangan.
“Pertumbuhan ekonomi 5,12% adalah sinyal positif bahwa mesin ekonomi kita masih berjalan. Ini menunjukkan ketahanan di tengah ketidakpastian global, seperti perlambatan ekonomi di beberapa negara maju dan fluktuasi harga komoditas,” ujarnya saat dihubungi wartawan, Senin (11/8).
Wakil Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) ini mengapresiasi peran sektor konsumsi rumah tangga dan investasi swasta yang menjadi pendorong utama, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi konsumsi sebesar 53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Angka ini tidak boleh membuat kita terlena. Pertumbuhan 5,12% belum sepenuhnya mencerminkan kesejahteraan rakyat. Distribusi manfaat ekonomi masih timpang, terutama di daerah-daerah luar Jawa,” tegasnya.
Anggota Komisi XII DPR RI itu menyoroti bahwa pertumbuhan yang terkonsentrasi di sektor perkotaan dan industri besar sering kali tidak dirasakan oleh masyarakat pedesaan, khususnya petani dan pekerja sektor informal. Ketimpangan regional, menurutnya, adalah ancaman nyata.
“Jawa masih mendominasi lebih dari 60% PDB nasional. Bagaimana dengan Kalimantan, Sulawesi, atau Papua? Infrastruktur di sana masih tertinggal, akses ke pasar terbatas, dan investasi swasta belum merata,” beber Mukhtarudin.
Ia mendorong kebijakan agresif untuk mempercepat industrialisasi di luar Jawa, termasuk pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berpihak pada masyarakat lokal. Ketergantungan tinggi pada konsumsi juga menjadi sorotan.
“Konsumsi rumah tangga memang kuat, tapi ini juga menunjukkan kita belum berhasil membangun fondasi ekonomi yang berbasis pada produktivitas dan inovasi,” katanya.
Mukhtarudin menyinggung rendahnya kontribusi sektor manufaktur yang hanya tumbuh 4,2% pada kuartal ini. Revitalisasi industri manufaktur, menurutnya, harus fokus pada hilirisasi sumber daya alam yang inklusif dan ramah lingkungan.
Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan tekanan inflasi yang menghantui masyarakat kecil.
“Meski inflasi inti terkendali di kisaran 3%, harga bahan pokok seperti beras dan cabai masih fluktuatif. Ini memukul daya beli masyarakat kelas bawah,” ucapnya.
Ia juga mengkritik kurangnya sinergi pusat-daerah dalam menjaga stabilitas harga pangan dan mengusulkan penguatan cadangan nasional serta distribusi yang efisien.
Fraksi Golkar, kata Mukhtarudin, terus mendorong pemerintah memperkuat program ketahanan pangan, modernisasi pertanian, dan insentif bagi petani kecil.
“Pentingnya menjaga daya beli masyarakat melalui kebijakan stimulus yang tepat sasaran, seperti bantuan langsung tunai yang lebih terukur dan transparan,” tegasnya.
Terkait investasi, ia menyebut hambatan koordinasi birokrasi dan perizinan masih menjadi keluhan investor.
“Saya kira investor, baik domestik maupun asing, sering kali mengeluh soal ketidakpastian hukum dan proses perizinan yang berbelit. Ini harus dibenahi jika kita ingin pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ujarnya.
Politikus Dapil Kalteng ini merujuk pada laporan Bank Dunia yang menempatkan Indonesia di peringkat 73 dalam Ease of Doing Business.
“Pertumbuhan 5,12% adalah langkah awal, tapi tidak cukup. Pemerintah harus lebih berani melakukan reformasi struktural, dari hilirisasi yang inklusif hingga pemerataan pembangunan. DPR, khususnya Fraksi Golkar, akan terus mengawasi dan memberikan masukan konstruktif,” tegasnya.
Peraih Parlemen Award 2023 itu mengajak masyarakat turut mengawasi kinerja pemerintah agar capaian ekonomi tidak berhenti pada angka, melainkan benar-benar dirasakan rakyat. Fraksi Golkar juga berkomitmen mendorong RAPBN 2026 yang lebih berpihak pada rakyat kecil.
“Kami ingin anggaran lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan UMKM, karena di situlah nadi ekonomi rakyat berdetak,” tandas Mukhtarudin.
Di balik angka 5,12%, Mukhtarudin melihat cerita petani yang berjuang membeli pupuk, pekerja informal yang tertekan inflasi, dan daerah terpencil yang menunggu sentuhan pembangunan. Dengan pengalamannya di parlemen, ia bertekad memastikan DPR menjadi penggerak pembangunan nyata demi kesejahteraan rakyat. (tim)