25.4 C
Jakarta
Tuesday, April 22, 2025

Kampong Bahru Kuala Lumpur yang Bertahan di Tengah Tekanan Modernisasi

Kampungnya Upin dan
Ipin. Itulah yang saya rasakan saat memasuki Kampong Bahru, Kuala Lumpur,
Malaysia. Deretan rumah panggung berjajar rapi. Sebagian besar masih memiliki
pekarangan luas lengkap dengan pohon kelapa serta ayam dan itik. Banyak di
antaranya yang masih memakai atap seng. Mirip betul dengan film kartun produksi
Les’ Copaque Production yang sempat booming di Indonesia itu.

Beberapa rumah mungkin
sudah tidak asing lagi. Salah satunya rumah panggung warna biru dengan latar
belakang Menara Kembar Petronas yang kerap diunggah di Instagram. Catnya yang
masih baru membuat ia mencolok di antara rumah lainnya. Rumah mungil itu tidak
ditinggali, orang bebas berhenti dan mengambil gambar sesuka hati. Penduduk sekitar
juga sudah biasa melihat turis asing berpose di depan rumah mereka.

’’Ini adalah tempat
paling indah di Kuala Lumpur,’’ ujar turis asal Hungaria Bendequz Tunyoqi, lalu
melahap nasi lemak di depannya.

Pria yang biasa
dipanggil Bondi itu berkata bahwa keramahan di Kampong Bahru tersebut tidak dia
rasakan di tempat lain di Kuala Lumpur. Karena itulah, dia memilih hotel dekat
Kampong Bahru.

Selama di Kuala
Lumpur, dia selalu menyempatkan makan di deretan warung yang ada di gang masuk
Kampong Bahru sembari mengobrol dengan pemilik warung. Turis di Kampong Bahru
memang tak sebanyak di wilayah Kuala Lumpur lainnya. Karena itulah, di sana
lebih santai.

Saya pribadi
berpikiran sama dengan Bondi. Kampung ini indah dengan segala keunikan dan
keramahannya. Ia tidak dingin seperti area Kuala Lumpur lain yang serbaramai
dan cepat. Rasanya seperti pulang ke rumah. Nyaman.

Sayang, pemerintah
pusat Malaysia tidak memiliki pandangan yang sama. Perdana Menteri Malaysia
Mahathir Mohamad dalam sebuah wawancara Oktober lalu menyebut Kampong Bahru
harus berubah.
’’Kampung baru seperti kudis di tengah-tengah Kuala Lumpur yang dipenuhi gedung
pencakar langit,’’ ujar Mahathir kala itu kepada berbagai media.

Baca Juga :  Menkes Selandia Baru Berani Akui Kesalahan, Langgar Aturan Lockdown

Ibu kota Malaysia itu
memang dipenuhi gedung-gedung tinggi yang serbamodern. Kampong Bahru seperti
tak tersentuh dengan modernitas tersebut. Hanya sebagian kecil rumah yang sudah
dibangun ulang menggunakan batu bata. Itu pun sangat sedikit. Kadang mereka
hanya mengganti pilar bawah rumah dengan semen dan bata, sedangkan bagian
atasnya dibiarkan dari kayu yang dicat ulang.

Mahathir boleh
berencana, tapi warga yang punya kuasa. Ya, membeli lahan di Kampong Bahru
memang tak mudah. Sebab, satu lahan bukan hanya milik satu orang. Rata-rata
merupakan tanah warisan yang sudah dibagi-bagi menjadi milik belasan, bahkan
puluhan, orang. ’’Satu lahan bisa 90 nama, punya saya contohnya,’’ terang Maranon
Ali, salah seorang warga. Kakek buyutnya punya 13 anak dan keturunannya pun
rata-rata punya anak belasan. Jadilah tanah memiliki banyak ahli waris.

Dulu tanah di Kampong
Bahru adalah milik Kerajaan Selangor. Pada 1899 Sultan Selangor kala itu, Sultan
Alauddin Sulaiman Syah Raja Muda Musa, memberikan lahan di sana untuk
permukiman pertanian Melayu atau Malay agricultural settlement (MAS). Area
itulah yang menjadi Kampong Bahru saat ini. Dalam aturan hukumnya, hanya orang
Melayu muslim yang bisa tinggal di Kampong Bahru. Orang non-Melayu dan
nonmuslim boleh berniaga di area tersebut, tapi tak boleh tinggal.

Di area Kuala Lumpur
yang lain, jamak ditemui orang India, Bangladesh, Tionghoa, dan berbagai etnis
lain. Tapi, di Kampong Bahru, ke mana pun mata memandang, yang ada hanyalah
orang Melayu. Sisanya adalah turis yang datang untuk makan dan berfoto.

Baca Juga :  Israel Hancurkan Kuburan Muslim Dekat Masjid Al Aqsa

Tanah di Kampong Bahru
juga hanya bisa dibeli Melayu muslim. Karena itulah, tak ada kontraktor yang
bisa membeli lahan luas di Kampong Bahru. ’’Orang Bumiputra (Melayu Malaysia,
Red) yang kaya sangat tak banyak, tak ada lah yang bisa beli,’’ tegas Ali
dengan logat Melayu yang kental.

Kerajaan akhirnya
mengambil alih. Ia mau membeli lahan di Kampong Bahru untuk dikembangkan
menjadi flat, pertokoan, dan berbagai hal lainnya. Intinya, tumbuh ke atas,
bukan ke samping. Pemerintah akan menggandeng kontraktor untuk mengerjakan
proyek tersebut. Namun, hanya kurang dari 20 persen penduduk yang mau melepas
lahannya.

’’Mereka rata-rata mau
jual karena lahannya bermasalah,’’ terang Mosdzar Hamid. Pria 55 tahun itu
menjelaskan bahwa meski satu lahan di Kampong Bahru punya banyak nama, tak
berarti semua menghuni. Beberapa bangunan disewakan dan hasilnya dibagi rata
kepada tiap pemilik. Contohnya adalah lahan milik ayahnya yang harus dibagi
dengan tujuh saudaranya yang lain. ’’Pak Cik saya yang paling tua urus itu
tanah, tiap tahun dia bagi duit sewa,’’ tambahnya.

Pemerintah memberikan
beberapa skema pembelian. Di antaranya, dibayar tunai dan pindah ke daerah lain
atau dibayar 85 persen dan sisanya dalam bentuk saham untuk gedung yang sudah
dibangun. Tapi, sekali lagi, harga dari pemerintah tak membuat penduduk puas.
Versi Hamid, harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga pasaran.
Padahal, lahan mereka ada di tengah kota.

’’Kampung ini kan
warisan budaya, layaknya dilestarikan, bukan dihancurkan,’’ papar Hamid, lantas
meneguk minumannya dan pergi. Dia yakin Kampong Bahru akan bertahan. Tapi,
entah sampai kapan.(jpc)

 

Kampungnya Upin dan
Ipin. Itulah yang saya rasakan saat memasuki Kampong Bahru, Kuala Lumpur,
Malaysia. Deretan rumah panggung berjajar rapi. Sebagian besar masih memiliki
pekarangan luas lengkap dengan pohon kelapa serta ayam dan itik. Banyak di
antaranya yang masih memakai atap seng. Mirip betul dengan film kartun produksi
Les’ Copaque Production yang sempat booming di Indonesia itu.

Beberapa rumah mungkin
sudah tidak asing lagi. Salah satunya rumah panggung warna biru dengan latar
belakang Menara Kembar Petronas yang kerap diunggah di Instagram. Catnya yang
masih baru membuat ia mencolok di antara rumah lainnya. Rumah mungil itu tidak
ditinggali, orang bebas berhenti dan mengambil gambar sesuka hati. Penduduk sekitar
juga sudah biasa melihat turis asing berpose di depan rumah mereka.

’’Ini adalah tempat
paling indah di Kuala Lumpur,’’ ujar turis asal Hungaria Bendequz Tunyoqi, lalu
melahap nasi lemak di depannya.

Pria yang biasa
dipanggil Bondi itu berkata bahwa keramahan di Kampong Bahru tersebut tidak dia
rasakan di tempat lain di Kuala Lumpur. Karena itulah, dia memilih hotel dekat
Kampong Bahru.

Selama di Kuala
Lumpur, dia selalu menyempatkan makan di deretan warung yang ada di gang masuk
Kampong Bahru sembari mengobrol dengan pemilik warung. Turis di Kampong Bahru
memang tak sebanyak di wilayah Kuala Lumpur lainnya. Karena itulah, di sana
lebih santai.

Saya pribadi
berpikiran sama dengan Bondi. Kampung ini indah dengan segala keunikan dan
keramahannya. Ia tidak dingin seperti area Kuala Lumpur lain yang serbaramai
dan cepat. Rasanya seperti pulang ke rumah. Nyaman.

Sayang, pemerintah
pusat Malaysia tidak memiliki pandangan yang sama. Perdana Menteri Malaysia
Mahathir Mohamad dalam sebuah wawancara Oktober lalu menyebut Kampong Bahru
harus berubah.
’’Kampung baru seperti kudis di tengah-tengah Kuala Lumpur yang dipenuhi gedung
pencakar langit,’’ ujar Mahathir kala itu kepada berbagai media.

Baca Juga :  Menkes Selandia Baru Berani Akui Kesalahan, Langgar Aturan Lockdown

Ibu kota Malaysia itu
memang dipenuhi gedung-gedung tinggi yang serbamodern. Kampong Bahru seperti
tak tersentuh dengan modernitas tersebut. Hanya sebagian kecil rumah yang sudah
dibangun ulang menggunakan batu bata. Itu pun sangat sedikit. Kadang mereka
hanya mengganti pilar bawah rumah dengan semen dan bata, sedangkan bagian
atasnya dibiarkan dari kayu yang dicat ulang.

Mahathir boleh
berencana, tapi warga yang punya kuasa. Ya, membeli lahan di Kampong Bahru
memang tak mudah. Sebab, satu lahan bukan hanya milik satu orang. Rata-rata
merupakan tanah warisan yang sudah dibagi-bagi menjadi milik belasan, bahkan
puluhan, orang. ’’Satu lahan bisa 90 nama, punya saya contohnya,’’ terang Maranon
Ali, salah seorang warga. Kakek buyutnya punya 13 anak dan keturunannya pun
rata-rata punya anak belasan. Jadilah tanah memiliki banyak ahli waris.

Dulu tanah di Kampong
Bahru adalah milik Kerajaan Selangor. Pada 1899 Sultan Selangor kala itu, Sultan
Alauddin Sulaiman Syah Raja Muda Musa, memberikan lahan di sana untuk
permukiman pertanian Melayu atau Malay agricultural settlement (MAS). Area
itulah yang menjadi Kampong Bahru saat ini. Dalam aturan hukumnya, hanya orang
Melayu muslim yang bisa tinggal di Kampong Bahru. Orang non-Melayu dan
nonmuslim boleh berniaga di area tersebut, tapi tak boleh tinggal.

Di area Kuala Lumpur
yang lain, jamak ditemui orang India, Bangladesh, Tionghoa, dan berbagai etnis
lain. Tapi, di Kampong Bahru, ke mana pun mata memandang, yang ada hanyalah
orang Melayu. Sisanya adalah turis yang datang untuk makan dan berfoto.

Baca Juga :  Israel Hancurkan Kuburan Muslim Dekat Masjid Al Aqsa

Tanah di Kampong Bahru
juga hanya bisa dibeli Melayu muslim. Karena itulah, tak ada kontraktor yang
bisa membeli lahan luas di Kampong Bahru. ’’Orang Bumiputra (Melayu Malaysia,
Red) yang kaya sangat tak banyak, tak ada lah yang bisa beli,’’ tegas Ali
dengan logat Melayu yang kental.

Kerajaan akhirnya
mengambil alih. Ia mau membeli lahan di Kampong Bahru untuk dikembangkan
menjadi flat, pertokoan, dan berbagai hal lainnya. Intinya, tumbuh ke atas,
bukan ke samping. Pemerintah akan menggandeng kontraktor untuk mengerjakan
proyek tersebut. Namun, hanya kurang dari 20 persen penduduk yang mau melepas
lahannya.

’’Mereka rata-rata mau
jual karena lahannya bermasalah,’’ terang Mosdzar Hamid. Pria 55 tahun itu
menjelaskan bahwa meski satu lahan di Kampong Bahru punya banyak nama, tak
berarti semua menghuni. Beberapa bangunan disewakan dan hasilnya dibagi rata
kepada tiap pemilik. Contohnya adalah lahan milik ayahnya yang harus dibagi
dengan tujuh saudaranya yang lain. ’’Pak Cik saya yang paling tua urus itu
tanah, tiap tahun dia bagi duit sewa,’’ tambahnya.

Pemerintah memberikan
beberapa skema pembelian. Di antaranya, dibayar tunai dan pindah ke daerah lain
atau dibayar 85 persen dan sisanya dalam bentuk saham untuk gedung yang sudah
dibangun. Tapi, sekali lagi, harga dari pemerintah tak membuat penduduk puas.
Versi Hamid, harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga pasaran.
Padahal, lahan mereka ada di tengah kota.

’’Kampung ini kan
warisan budaya, layaknya dilestarikan, bukan dihancurkan,’’ papar Hamid, lantas
meneguk minumannya dan pergi. Dia yakin Kampong Bahru akan bertahan. Tapi,
entah sampai kapan.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru