26.7 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

Rohingya Entitas yang Tak Pernah Ada

Saya akan menjadi buron atau tidak eksis sama
sekali. Kalimat itu adalah penggalan isi buku 
From First, They Erased
Our Name: A Rohingya Speaks
karya Habiburahman.

Pria yang dipanggil Habib itu warga asli
Rohingya. Dia lahir di salah satu desa di Rakhine, Myanmar, pada 1979. Habib
melarikan diri dari negaranya dan tiba di Australia pada 2009 dengan menaiki
perahu.

Buku karya Habib tersebut baru dirilis bulan
ini. Di dalamnya, dia menceritakan perjuangan hidup, hinaan, dan ketakutan yang
dialami penduduk Rohingya sehari-hari. Setidaknya dari yang dialami Habib
selama tinggal di Rakhine.

Habib dan seluruh penduduk Rohingya tak pernah
diakui sebagai warga negara Myanmar. Pun demikian ketika dia sampai di
Australia. Nasibnya belum jelas. Meski dia diakui sebagai pengungsi dan punya
visa sementara, status kewarganegaraannya masih tak pasti. “Saya tak bisa pergi
ke mana-mana,” ujar Habib sebagaimana dikutip The Guardian.

Baca Juga :  Pengalaman Dapat Vaksin Covid-19, Begini Kata Ratu Elizabeth

Habib menceritakan, pada 1982, diktator
Myanmar Ne Win mengeluarkan aturan hukum yang menyatakan bahwa warga negara
seharusnya anggota etnis tertentu. Dan, di daftar etnis itu, tak ada Rohingya.
Sejak saat itu, kata Rohingya menjadi terlarang. Mereka dilabeli sebagai
pengungsi dari Bangladesh.

Habib yang kala itu masih anak-anak sering
dipanggil dengan sebutan kalar. Itu adalah istilah hinaan untuk menyebut orang
berkulit gelap. Warga Rohingya harus mendapat izin jika keluar ke desa lain
atau untuk menikah. Akses kesehatan dan pendidikan sangat dibatasi dan bahkan
kadang terlarang. Habib harus menyembunyikan identitasnya agar bisa kuliah.

Suap sudah menjadi hal yang wajar. Penduduk
Rohingya rela memberikan apa saja ke militer atau pejabat pemerintah lainnya
agar terhindar dari masalah. Mereka bahkan harus rela rumahnya diambil untuk
toilet militer.

Baca Juga :  Satu Jam Sebelum Peluncuran, India Batalkan Misi ke Bulan

Habib mengaku ingin menuliskan kisahnya karena
penderitaan warga Rohingya tidak pernah dilaporkan selama puluhan tahun. Mereka
yang pernah menulis hanya tahu dari luar, tidak menjalaninya sehari-hari. Habib
ingin seluruh orang tahu seperti apa rasanya menjadi seorang Rohingya.

“Generasi baru di Burma (Myanmar, Red), mereka
tak tahu apa-apa tentang Rohingya,” terangnya.(jpg)

 

Saya akan menjadi buron atau tidak eksis sama
sekali. Kalimat itu adalah penggalan isi buku 
From First, They Erased
Our Name: A Rohingya Speaks
karya Habiburahman.

Pria yang dipanggil Habib itu warga asli
Rohingya. Dia lahir di salah satu desa di Rakhine, Myanmar, pada 1979. Habib
melarikan diri dari negaranya dan tiba di Australia pada 2009 dengan menaiki
perahu.

Buku karya Habib tersebut baru dirilis bulan
ini. Di dalamnya, dia menceritakan perjuangan hidup, hinaan, dan ketakutan yang
dialami penduduk Rohingya sehari-hari. Setidaknya dari yang dialami Habib
selama tinggal di Rakhine.

Habib dan seluruh penduduk Rohingya tak pernah
diakui sebagai warga negara Myanmar. Pun demikian ketika dia sampai di
Australia. Nasibnya belum jelas. Meski dia diakui sebagai pengungsi dan punya
visa sementara, status kewarganegaraannya masih tak pasti. “Saya tak bisa pergi
ke mana-mana,” ujar Habib sebagaimana dikutip The Guardian.

Baca Juga :  Pengalaman Dapat Vaksin Covid-19, Begini Kata Ratu Elizabeth

Habib menceritakan, pada 1982, diktator
Myanmar Ne Win mengeluarkan aturan hukum yang menyatakan bahwa warga negara
seharusnya anggota etnis tertentu. Dan, di daftar etnis itu, tak ada Rohingya.
Sejak saat itu, kata Rohingya menjadi terlarang. Mereka dilabeli sebagai
pengungsi dari Bangladesh.

Habib yang kala itu masih anak-anak sering
dipanggil dengan sebutan kalar. Itu adalah istilah hinaan untuk menyebut orang
berkulit gelap. Warga Rohingya harus mendapat izin jika keluar ke desa lain
atau untuk menikah. Akses kesehatan dan pendidikan sangat dibatasi dan bahkan
kadang terlarang. Habib harus menyembunyikan identitasnya agar bisa kuliah.

Suap sudah menjadi hal yang wajar. Penduduk
Rohingya rela memberikan apa saja ke militer atau pejabat pemerintah lainnya
agar terhindar dari masalah. Mereka bahkan harus rela rumahnya diambil untuk
toilet militer.

Baca Juga :  Satu Jam Sebelum Peluncuran, India Batalkan Misi ke Bulan

Habib mengaku ingin menuliskan kisahnya karena
penderitaan warga Rohingya tidak pernah dilaporkan selama puluhan tahun. Mereka
yang pernah menulis hanya tahu dari luar, tidak menjalaninya sehari-hari. Habib
ingin seluruh orang tahu seperti apa rasanya menjadi seorang Rohingya.

“Generasi baru di Burma (Myanmar, Red), mereka
tak tahu apa-apa tentang Rohingya,” terangnya.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru