25.6 C
Jakarta
Monday, November 11, 2024

Singapura Punya UU Antihoaks

Parlemen Singapura
mengetukkan palu untuk mengesahkan Undang-Undang Perlindungan terhadap
Kebohongan dan Manipulasi Online Rabu malam (8/5). Setelah sidang maraton selam
dua hari, 72 anggota parlemen menyetujui regulasi antihoaks tersebut. Tak lama
setelah itu, protes dari perusahaan teknologi sampai organisasi pejuang HAM
muncul.

Menteri Hukum
Singapura Kasiviswanathan Shanmugam menegaskan bahwa aturan itu bukan alat
politik. Mereka hanya mengincar oknum-oknum yang membuat dan menyebarkan kabar
tanpa fakta yang dapat meresahkan masyarakat.

“Kebebasan berpendapat
tak akan terpengaruh dengan undang-undang ini. Yang kami incar adalah
kebohongan, internet trolls (orang yang suka ngompori, Red), atau akun palsu,”
tegas dia seperti dilansir Agence France-Presse.

Tentu sebagian besar
publik internasional tak percaya dengan komentar Shanmugam. Sebab, dengan
aturan tersebut, tangan pemerintah Singapura bisa sampai ke redaksi kantor
berita dan manajemen konten perusahaan media sosial. Risiko penyalahgunaan
wewenang untuk politik terbuka lebar.

Baca Juga :  Harganya Ratusan Juta, 2 Jenis Tas Hermes ini Tetap Laris saat Pandemi

“Mereka tak memberikan
definisi jelas apa yang disebut kabar bohong atau menyesatkan. Artinya, mereka
punya kekuatan untuk menindas pengkritik di online,” ujar Nicholas Bequelin,
direktur Amnesty International untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara.

Perusahaan teknologi
pun sependapat. Semua penyedia platform komunikasi pasti tak senang dapur
mereka diobok-obok pemerintah Singapura. Raksasa IT Google sampai angkat bicara
karena khawatir platform mereka bakal terganggu.

“Misinformasi memang
tantangan yang berat. Tapi, kami tetap khawatir bahwa hukum ini bisa menghambat
inovasi dan ekosistem informasi digital,” ujar jubir Google.

Pengelola media berita
pun resah. Mereka merasa terancam karena pemerintah bisa memerintahkan koreksi
kapan saja. Asal mereka merasa bahwa berita bisa meresahkan masyarakat atau,
lagi-lagi, menyesatkan.(jpc)

Baca Juga :  Batalkan Kebijakan Trump, Joe Biden Teken 15 Perintah Eksekutif

 

Parlemen Singapura
mengetukkan palu untuk mengesahkan Undang-Undang Perlindungan terhadap
Kebohongan dan Manipulasi Online Rabu malam (8/5). Setelah sidang maraton selam
dua hari, 72 anggota parlemen menyetujui regulasi antihoaks tersebut. Tak lama
setelah itu, protes dari perusahaan teknologi sampai organisasi pejuang HAM
muncul.

Menteri Hukum
Singapura Kasiviswanathan Shanmugam menegaskan bahwa aturan itu bukan alat
politik. Mereka hanya mengincar oknum-oknum yang membuat dan menyebarkan kabar
tanpa fakta yang dapat meresahkan masyarakat.

“Kebebasan berpendapat
tak akan terpengaruh dengan undang-undang ini. Yang kami incar adalah
kebohongan, internet trolls (orang yang suka ngompori, Red), atau akun palsu,”
tegas dia seperti dilansir Agence France-Presse.

Tentu sebagian besar
publik internasional tak percaya dengan komentar Shanmugam. Sebab, dengan
aturan tersebut, tangan pemerintah Singapura bisa sampai ke redaksi kantor
berita dan manajemen konten perusahaan media sosial. Risiko penyalahgunaan
wewenang untuk politik terbuka lebar.

Baca Juga :  Harganya Ratusan Juta, 2 Jenis Tas Hermes ini Tetap Laris saat Pandemi

“Mereka tak memberikan
definisi jelas apa yang disebut kabar bohong atau menyesatkan. Artinya, mereka
punya kekuatan untuk menindas pengkritik di online,” ujar Nicholas Bequelin,
direktur Amnesty International untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara.

Perusahaan teknologi
pun sependapat. Semua penyedia platform komunikasi pasti tak senang dapur
mereka diobok-obok pemerintah Singapura. Raksasa IT Google sampai angkat bicara
karena khawatir platform mereka bakal terganggu.

“Misinformasi memang
tantangan yang berat. Tapi, kami tetap khawatir bahwa hukum ini bisa menghambat
inovasi dan ekosistem informasi digital,” ujar jubir Google.

Pengelola media berita
pun resah. Mereka merasa terancam karena pemerintah bisa memerintahkan koreksi
kapan saja. Asal mereka merasa bahwa berita bisa meresahkan masyarakat atau,
lagi-lagi, menyesatkan.(jpc)

Baca Juga :  Batalkan Kebijakan Trump, Joe Biden Teken 15 Perintah Eksekutif

 

Terpopuler

Artikel Terbaru