SAMPAH makanan adalah momok mayoritas negara. Konsumsi makanan memunculkan dampak sampah dalam jumlah besar. Mereka sibuk mencari cara agar sampah makanan tidak sia-sia. MAKANAN bersisa, denda. Kebijakan baru itu diterapkan di Tiongkok sejak April. Tujuannya satu, mengurangi sampah makanan. Limbah makanan rumah tangga di negara yang dipimpin Xi Jinping itu masih tinggi. Yakni, mencapai 64 kilogram per tahun per rumah tangga. Tiongkok duduk di urutan ke-21 sebagai penyumbang sampah makanan tertinggi.
Karena itulah, pada akhir April lalu, mereka menerapkan aturan hukum yang melarang video pesta makan besar alias mokbang dalam istilah Korea. Mereka yang melanggar bisa didenda CNY 100 ribu atau setara dengan Rp 223,5 juta. Restoran juga diminta memberikan biaya tambahan kepada pelanggan yang menyisakan banyak makanan tak termakan. Jika si pemilik restoran membiarkan, merekalah yang akan didenda. Nominalnya mencapai CNY 10 ribu (Rp 22,3 juta).
Tiongkok memang mencari solusi terkait itu. Sebab, 70 persen sampah nasional adalah bahan makanan. Sebanyak 61 persen sampah rumah tangga juga berupa makanan. Xinhua melaporkan bahwa sekitar 18 miliar makanan terbuang setiap tahun dari industri katering di wilayah perkotaan.
’’Aturan hukum itu akan memandu perusahaan, konsumen, dan pemerintah dalam rantai industri makanan tentang bagaimana mengatasi limbah yang sudah parah ini dengan cara yang legal,’’ tegas Zheng Fengtian, profesor di Sekolah Ekonomi Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Universitas Renmin. Hingga saat ini, pengolahan limbah pangan di Tiongkok minim.
Negeri Panda mungkin bisa belajar dari tetangganya, Korea Selatan (Korsel). Pada 1995, Korsel hanya mampu mengolah 2 persen limbah makanan. Namun, kini proses daur ulang sudah mencapai 98 persen. Ia tidak lagi dibuang begitu saja di tempat pembuangan sampah (TPS).
Korsel serupa dengan Tiongkok. Mereka memiliki budaya makan dengan banyak menu tambahan. Di restoran, menu tambahan seperti kimci dan acar-acaran lain diberikan gratis. Mereka menyebutnya dengan istilah banchan. Ia kadang bersisa dan ditinggalkan begitu saja.
Korsel butuh waktu puluhan tahun untuk bisa sampai di titik saat ini. Mulai upaya ubah laku penduduk, sanksi denda, hingga penerapan teknologi tinggi. Mereka menerapkan konsep 3R (reduce, reuse, and recycle) sejak 1986. Pada 1992, ada kebijakan penduduk yang menghasilkan sampah harus membayar. Ada plastik khusus yang disediakan.
Pada era 90-an itu, limbah makanan memang melonjak drastis akibat standar hidup penduduk yang mulai meningkat. Membuang sampah makanan di TPS menjadi ilegal. Kebijakan yang terbilang sukses tersebut dimulai pada 2013 saat ada kewajiban untuk membayar setiap limbah makanan yang dihasilkan setiap keluarga.
Limbah makanan harus dipisah dari sampah lainnya. Ia dimasukkan dalam kotak kecil khusus dan diberi stiker yang harus dibeli. Nominal setiap stiker berbeda. Kotak kecil dilabeli stiker senilai KRW 2.800 atau setara Rp 35 ribu.
Opsi kedua adalah membuangnya ke smart bin. Setiap penduduk punya kartu khusus berisi deposit uang. Tempat sampah pintar itu menimbang sampah, lalu memotong isi deposit kartu khusus tadi. Sampah itu diolah menjadi pupuk, makanan ternak, dan biodiesel.
Pemerintah Korsel juga berencana mengadopsi aturan baru. Yaitu, mengganti tanggal kedaluwarsa. Selama ini tanggal kedaluwarsa ditulis berdasar kelayakan makanan. Makanan yang kedaluwarsa sejatinya masih bisa dimakan dalam waktu tertentu, bergantung jenisnya. Karena itu, rencananya tanggal kedaluwarsa diganti dengan masa makanan layak dimakan.
’’Aturan ini akan berkontribusi mengurangi limbah makanan dan emisi gas rumah kaca serta membantu melindungi lingkungan,’’ bunyi pernyataan Kementerian Pangan sebagaimana yang dikutip The Korea Herald.
Sepertiga Makanan Dunia Berakhir Jadi Limbah
Seperempat limbah makanan berasal dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Seandainya masih bisa dikonsumsi, ia dapat memberi makan 1 miliar penduduk dunia yang kelaparan. Berdasar data PBB, sepertiga makanan di dunia dibuang dan menjadi limbah. Sekitar 45 persen adalah sayur dan buah, disusul makanan laut, biji-bijian, produk susu, serta daging.
Di AS, masalah ada kepada konsumen. Rumah tangga di AS membuang sekitar 43 persen makanan yang tidak terpakai. Berdasar data yang dihimpun Save the Food, jika diuangkan, kerugiannya mencapai USD 1.500 (Rp 21,5 juta) per tahun untuk satu keluarga dengan empat anggota. Lebih dari 40 juta ton makanan berakhir di TPS setiap tahun yang nilainya setara USD 161 miliar (Rp 2,3 kuadriliun)
Direktur Eksekutif Food Recovery Network Regina Anderson menyatakan, AS tidak memiliki masalah kekurangan pangan. Ada banyak makanan dan sebagian justru dibuang. Meski begitu, masih ada cukup makanan untuk memberi makan semua orang. ’’Ini hanya masalah distribusi,’’ tegasnya.
Sementara, di negara-negara UE, sekitar 50 persen limbah makanan juga berasal dari rumah tangga. Mereka menyumbang 47 juta ton sampah setiap tahun. Makanan yang dibuang masih layak dikonsumsi. Agar makanan itu tidak terbuang percuma, banyak lembaga di setiap negara yang rela mengumpulkannya. Salah satu contohnya adalah program MYSaveFood Ramadan yang diprakarsai Pertubuhan Pemuda GEMA Malaysia.