26.7 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

Exoskeleton Bantu Thibault Kembali Berjalan

Orang yang mengalami
kelumpuhan punya harapan baru. Kini tengah dikembangkan alat yang dinamai
exoskeleton. Alat itu bisa digerakkan lewat perintah otak.

SITI AISYAH, Jawa Pos

Pandangan Thibault
fokus ke depan. Dia lalu berjalan. Gerakannya lambat dan kaku. Sebuah alat
serupa robot menopang kaki, tangan, dan punggungnya. Pelan tapi pasti, pria 28
tahun itu sampai di ujung ruangan.

Thibault tertawa
semringah ketika sampai. Bagi dia, hal itu luar biasa. Sebab, sudah empat tahun
ini dia terbaring tak berdaya. Bisa kembali berjalan setelah sekian lama adalah
berkah.

Semua itu bisa terjadi
berkat exoskeleton yang dikembangkan oleh para pakar dari Hospital of Grenoble
Alpes, University of Grenoble, perusahaan biomedis Clinatec, dan pusat
penelitian CEA. Sesuai namanya, exoskeleton berarti kerangka luar tubuh. Alat
itu digerakkan oleh perintah otak.

”Teknologi ini telah
memberi saya kesempatan hidup baru,” ujar Thibault kepada Agence France-Presse
Kamis (3/10).

Pria dari Lyon,
Prancis, tersebut mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa pun
dengan tubuhnya. Karena itu, dia ingin menggunakan otaknya. Exoskeleton adalah
jawaban atas keinginannya selama ini.

Thibault menceritakan,
dirinya mulai lumpuh sekitar empat tahun lalu. Kala itu dia pergi ke kelab
malam. Entah bagaimana dia terjatuh dari balkon yang terletak 12 meter dari
permukaan tanah. Tulang belakangnya patah. Dia lumpuh dari bahu ke bawah.

Baca Juga :  Terima Dubes Iran-AS, Ini Permintaan Tegas Menlu Retno Marsudi

Pada 2017 dia menjadi
relawan Clinatec dan University of Grenoble. Tidak mudah memakai exoskeleton
itu. Thibault harus menjalani operasi untuk menanam alat perekam di dua sisi
area otak yang bertugas memerintahkan gerak tubuh.

Setelah menjalani
prosedur tersebut, dia masih harus berlatih agar terbiasa menggunakannya. Dia
menggunakan avatar untuk mengetahui otaknya sudah sinkron atau belum dengan
alat yang diimplan itu.

Thibault harus
berlatih selama berbulan-bulan sebelum akhirnya menguasainya. Baru setelah itu
exoskeleton dipasang di tubuhnya. Alat tersebut tidak dipasang permanen seperti
yang diimplan di otak. Melainkan hanya ditalikan ke tubuh.

”Ini rasanya seperti
orang pertama yang berjalan di bulan. Saya tidak pernah berjalan, saya lupa
caranya berdiri, lupa bahwa saya lebih tinggi daripada sebagian besar orang di
ruangan ini,” ujarnya.

Thibault
mengungkapkan, belajar berjalan memang susah. Tapi, yang lebih susah adalah
menggerakkan tangan. Sebab, untuk melakukannya, dibutuhkan banyak koordinasi.
Dia butuh waktu lama untuk belajar mengontrol gerakan tangan.

Exoskeleton memang
belum bisa dibawa pulang. Masih butuh waktu beberapa tahun lagi untuk
mengembangkannya. Bahkan, untuk pemakaian di laboratorium saja, alat itu harus
dikaitkan ke langit-langit. Para peneliti ingin meminimalkan risiko. Mereka
khawatir Thibault terjatuh. Apalagi, alat tersebut berat. Yakni, 65 kilogram.

Baca Juga :  Tandai Tonggak Sejarah, Surat Kabar NYT Tulis Daftar Korban Covid-19 d

Meski begitu, para
peneliti menegaskan bahwa exoskeleton punya potensi untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kemandirian pasien yang lumpuh. Cedera sumsum tulang belakang dari
leher mengakibatkan 20 persen pasien mengalami kelumpuhan pada kaki dan tangan.
Tapi, otak pasien masih berfungsi normal. Karena itulah, exoskeleton memberikan
harapan baru.

Para peneliti ingin
mengembangkan lagi alat tersebut hingga bisa menggerakkan jari-jari. Dengan
begitu, Thibault bisa memegang barang-barang. ”Ini bukan tentang mengubah
manusia menjadi mesin, tapi respons atas masalah medis,” tegas Alim-Louis
Benabid, profesor emeritus di University of Grenoble yang memimpin penelitian itu.

BAGAIMANA EXOSKELETON
MENOLONG HIDUP THIBAULT?

– Thibault, pasien
lumpuh yang jadi relawan, menjalani operasi pemasangan dua alat perekam di
permukaan otaknya. Alat itu diletakkan di area yang mengontrol gerak.

– Di masing-masing
implan ada 64 elektroda yang bisa membaca aktivitas otak dan mengirimkan
instruksi ke komputer di dekatnya.

– Exoskeleton seberat
65 kilogram dipasang di tubuh Thibault.

– Perangkat lunak
komputer membaca gelombang otak yang dikirim implan dan mengubahnya menjadi
instruksi untuk mengontrol exoskeleton.

– Exoskeleton
dikaitkan di langit-langit untuk meminimalkan risiko Thibault jatuh karena tak
seimbang. Alat ini belum siap dipakai di luar lab.

– Exoskeleton bergerak
sesuai instruksi. Misal, otak memerintahkan jalan, maka bagian kaki akan
bergerak.(jpg)

 

Orang yang mengalami
kelumpuhan punya harapan baru. Kini tengah dikembangkan alat yang dinamai
exoskeleton. Alat itu bisa digerakkan lewat perintah otak.

SITI AISYAH, Jawa Pos

Pandangan Thibault
fokus ke depan. Dia lalu berjalan. Gerakannya lambat dan kaku. Sebuah alat
serupa robot menopang kaki, tangan, dan punggungnya. Pelan tapi pasti, pria 28
tahun itu sampai di ujung ruangan.

Thibault tertawa
semringah ketika sampai. Bagi dia, hal itu luar biasa. Sebab, sudah empat tahun
ini dia terbaring tak berdaya. Bisa kembali berjalan setelah sekian lama adalah
berkah.

Semua itu bisa terjadi
berkat exoskeleton yang dikembangkan oleh para pakar dari Hospital of Grenoble
Alpes, University of Grenoble, perusahaan biomedis Clinatec, dan pusat
penelitian CEA. Sesuai namanya, exoskeleton berarti kerangka luar tubuh. Alat
itu digerakkan oleh perintah otak.

”Teknologi ini telah
memberi saya kesempatan hidup baru,” ujar Thibault kepada Agence France-Presse
Kamis (3/10).

Pria dari Lyon,
Prancis, tersebut mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa pun
dengan tubuhnya. Karena itu, dia ingin menggunakan otaknya. Exoskeleton adalah
jawaban atas keinginannya selama ini.

Thibault menceritakan,
dirinya mulai lumpuh sekitar empat tahun lalu. Kala itu dia pergi ke kelab
malam. Entah bagaimana dia terjatuh dari balkon yang terletak 12 meter dari
permukaan tanah. Tulang belakangnya patah. Dia lumpuh dari bahu ke bawah.

Baca Juga :  Terima Dubes Iran-AS, Ini Permintaan Tegas Menlu Retno Marsudi

Pada 2017 dia menjadi
relawan Clinatec dan University of Grenoble. Tidak mudah memakai exoskeleton
itu. Thibault harus menjalani operasi untuk menanam alat perekam di dua sisi
area otak yang bertugas memerintahkan gerak tubuh.

Setelah menjalani
prosedur tersebut, dia masih harus berlatih agar terbiasa menggunakannya. Dia
menggunakan avatar untuk mengetahui otaknya sudah sinkron atau belum dengan
alat yang diimplan itu.

Thibault harus
berlatih selama berbulan-bulan sebelum akhirnya menguasainya. Baru setelah itu
exoskeleton dipasang di tubuhnya. Alat tersebut tidak dipasang permanen seperti
yang diimplan di otak. Melainkan hanya ditalikan ke tubuh.

”Ini rasanya seperti
orang pertama yang berjalan di bulan. Saya tidak pernah berjalan, saya lupa
caranya berdiri, lupa bahwa saya lebih tinggi daripada sebagian besar orang di
ruangan ini,” ujarnya.

Thibault
mengungkapkan, belajar berjalan memang susah. Tapi, yang lebih susah adalah
menggerakkan tangan. Sebab, untuk melakukannya, dibutuhkan banyak koordinasi.
Dia butuh waktu lama untuk belajar mengontrol gerakan tangan.

Exoskeleton memang
belum bisa dibawa pulang. Masih butuh waktu beberapa tahun lagi untuk
mengembangkannya. Bahkan, untuk pemakaian di laboratorium saja, alat itu harus
dikaitkan ke langit-langit. Para peneliti ingin meminimalkan risiko. Mereka
khawatir Thibault terjatuh. Apalagi, alat tersebut berat. Yakni, 65 kilogram.

Baca Juga :  Tandai Tonggak Sejarah, Surat Kabar NYT Tulis Daftar Korban Covid-19 d

Meski begitu, para
peneliti menegaskan bahwa exoskeleton punya potensi untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kemandirian pasien yang lumpuh. Cedera sumsum tulang belakang dari
leher mengakibatkan 20 persen pasien mengalami kelumpuhan pada kaki dan tangan.
Tapi, otak pasien masih berfungsi normal. Karena itulah, exoskeleton memberikan
harapan baru.

Para peneliti ingin
mengembangkan lagi alat tersebut hingga bisa menggerakkan jari-jari. Dengan
begitu, Thibault bisa memegang barang-barang. ”Ini bukan tentang mengubah
manusia menjadi mesin, tapi respons atas masalah medis,” tegas Alim-Louis
Benabid, profesor emeritus di University of Grenoble yang memimpin penelitian itu.

BAGAIMANA EXOSKELETON
MENOLONG HIDUP THIBAULT?

– Thibault, pasien
lumpuh yang jadi relawan, menjalani operasi pemasangan dua alat perekam di
permukaan otaknya. Alat itu diletakkan di area yang mengontrol gerak.

– Di masing-masing
implan ada 64 elektroda yang bisa membaca aktivitas otak dan mengirimkan
instruksi ke komputer di dekatnya.

– Exoskeleton seberat
65 kilogram dipasang di tubuh Thibault.

– Perangkat lunak
komputer membaca gelombang otak yang dikirim implan dan mengubahnya menjadi
instruksi untuk mengontrol exoskeleton.

– Exoskeleton
dikaitkan di langit-langit untuk meminimalkan risiko Thibault jatuh karena tak
seimbang. Alat ini belum siap dipakai di luar lab.

– Exoskeleton bergerak
sesuai instruksi. Misal, otak memerintahkan jalan, maka bagian kaki akan
bergerak.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru