PEMERINTAH China secara blak-blakkan menegaskan kepada Inggris agar
menahan diri dari campur tangan lebih lanjut atas gelombang protes yang terjadi
di Hong Kong pada Kamis (4/7).
Diketahui bahwa gelombang protes
yang terjadi di Hong Kong yang merupakan bekas jajahan Inggris, menghidupkan
kembali ketegangan yang melekat dalam perjanjian bersejarah kedua belah pihak
mengenai penyerahan Hong Kong kepada pemerintah China 22 tahun lalu.
Hong Kong sendiri merupakan
wilayah dengan pendekatan “satu negara, dua sistem” China. Pendekatan
ini pertama kali diadopsi oleh China pada 1980an.
Tetapi beberapa waktu terakhir
ada kekhawatiran bahwa China semakin menekankan pengaruh di Hong Kong.
Salah satu titik baliknya adalah
munculnya RUU Ekstradisi yang memungkinkan tahanan Hong Kong untuk diadili di
China. RUU itu mendapat penentangan luas di Hong Kong di mana gelombang protes
terjadi sejak bulan lalu.
Puncaknya terjadi awal pekan ini.
Ratusan pengunjuk rasa masuk ke dalam gedung parlemen Hong Kong dan merusak
sejumlah ruangan di gedung itu, serta melakukan vandalisme.
Tidak lama setelah kejadian
tersebut, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt yang merupakan salah satu
dari dua kandidat untuk menjadi perdana menteri Inggris berikutnya, mengambil
kepemimpinan global dalam mengecam pendekatan China pada Hong Kong.
Hunt meminta Beijing untuk tidak
menggunakan protes sebagai dalih untuk penindasan dan memperingatkan ada
konsekuensi serius jika China melanggar komitmen yang dibuat dengan Inggris
beberapa dekade lalu.
Komentarnya memicu serangkaian
kecaman dari China.
“Dia tampaknya berfantasi
pada kejayaan kolonialisme Inggris yang pudar dan kebiasaan buruk beraktifitas
sambil memandang rendah urusan negara lain,” kata jurubicara kementerian
luar negeri China Geng Shuang dalam sebuah pengarahan rutin di Beijing (Kamis,
4/7).
“Saya perlu menekankan
kembali bahwa Hong Kong sekarang telah kembali ke tanah asalnya,”
tambahnya seperti dimuat Channel News Asia. (rmol/kpc)