26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Akui Salah Ketik, Pemerintah Persilakan Perbaiki RUU Ciptaker di DPR

Polemik RUU Cipta Kerja (Ciptaker) diharapkan
bisa tuntas dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR. Termasuk pasal 170 yang
disebut salah ketik oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Secara garis besar, pasal
tersebut menyatakan bahwa UU bisa diubah dengan peraturan pemerintah (PP). Bagi
beberapa pihak, pasal 170 yang dipersoalkan itu bukanlah bentuk salah ketik.

Kemarin (18/2) Mahfud mengakui, memang ada
kekeliruan pada pasal 170. ’’Tadi sudah disepakati kalau kembali ke teori dasar
ilmu perundang-undangan,’’ terang Mahfud setelah ratas di kantor presiden
kemarin. Teori dasar yang dimaksud menyatakan bahwa yang bisa mengubah UU itu
hanya UU. PP hanya bisa mengatur lebih lanjut.

Saat ini, lanjut Mahfud, RUU Ciptaker masih
berbentuk rancangan. Karena itu, perbaikan masih dimungkinkan selama proses di
DPR. ’’Jadi, tidak ada PP itu bisa mengubah undang-undang,’’ lanjut mantan
menteri pertahanan tersebut. Kekeliruan redaksional bisa diperbaiki dalam
proses di DPR. Parlemen bisa mengubah, rakyat bisa memberikan masukan.

Kekeliruan tersebut, lanjut Mahfud, tidak
lantas mengharuskan pemerintah membuat keterangan resmi ke parlemen bahwa pasal
itu keliru. Perbaikan bisa langsung dilakukan selama proses pembahasan di DPR.
Mana saja bagian UU tersebut yang dianggap tidak tepat, bisa diajukan perbaikan
dan dilakukan pembahasan.

Mahfud menambahkan, sebenarnya sudah ada gate
atau penyaring di Kemenko Perekonomian. “Cuma saat-saat terakhir ada perbaikan,
lalu ada keliru itu,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut
Mahfud, kekeliruan dalam sebuah rancangan UU bukan hal aneh. ’’Itu tidak
apa-apa, biasa sejak dulu ada kekeliruan,’’ ucapnya. Karena itu, rakyat diberi
kesempatan untuk memantau di DPR, termasuk memantau naskahnya. Lewat kesempatan
tersebut, rakyat menjadi tahu bahwa ada kesalahan sehingga memberikan saran
perbaikan. Dalam hal redaksional, bila ada yang tidak pas, dilakukan perbaikan
agar tepat.

Baca Juga :  DPR Akan Bentuk Pansus Pemindahan Ibu Kota

Sementara itu, peneliti pada Pusat Studi
Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura menuturkan, harus dibedakan
antara kesalahan ketik dan ketidakcermatan dalam menggarap substansi. ’’Tipo
itu kalau undang-undang jadi udang-udang, kurang kata ’wajib’ atau ’dapat’
misalnya,’’ ujarnya. Namun, kalau yang keliru adalah sebuah naskah yang sudah
jelas maknanya, itu bukan lagi kesalahan ketik. Publik bisa berasumsi bahwa ada
pasal titipan dalam RUU tersebut. Potensi pasal titipan, tutur Charles, juga
pernah disinggung Mahfud sebelum dia menjadi menteri. Karena itu, wajar ketika
publik mendapati pasal-pasal aneh, lalu menganggapnya titipan yang keburu
ketahuan.

Dari sisi substansi, menurut Charles, pasal
yang dianggap salah ketik itu sebenarnya sudah klir. Pemerintah ingin punya
wewenang untuk mengubah ketentuan dalam UU tersebut. Atau, ada UU lain yang
tertinggal alias tidak sempat diubah melalui RUU Ciptaker. Perubahan ketentuan
itu hendak diatur dengan PP.

Persoalannya, pasal tersebut tidak hanya
menabrak regulasi, tapi juga konstitusi. Bagaimanapun, PP adalah turunan dari
UU. Dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa presiden menetapkan PP untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. PP mengatur hal-hal teknis yang
memang tidak diatur dalam UU yang biasanya bersifat lebih umum. ’’Jadi, PP itu
melaksanakan undang-undang. Selesai itu,’’ tegas dosen Fakultas Hukum
Universitas Andalas tersebut.

Presiden hanya bisa mengubah isi UU melalui
satu cara. Yakni, mengeluarkan perppu. Namun, ada syarat hal ihwal kegentingan
yang memaksa. Di luar itu, UU hanya bisa diubah dengan UU. Juga, bisa lewat
putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi terhadap satu atau
beberapa pasal dalam UU.

Yang berbahaya dari pasal itu, kata Charles,
adalah maknanya. UU yang ada, bila tidak diubah UU Ciptaker, bisa direvisi
pemerintah dengan menggunakan PP. Dalam hal ini, termasuk UU lain yang belum
masuk Omnibus Law Ciptaker.

Baca Juga :  Obat Covid Langka, Menkes Bilang Begini

Charles menambahkan, poin mendasar terkait
polemik pasal 170 adalah itu bukanlah kesalahan ketik. Pernyataan Mahfud soal
kesalahan ketik tersebut disampaikan untuk menutupi muka pemerintah agar hal
itu tidak terus menjadi polemik.

Aturan Baru Industri Maskapai

Di bagian lain, RUU Ciptaker menghapus syarat
jumlah kepemilikan pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal. Pengamat
penerbangan Gatot Raharjo menilai aturan baru itu menjadi angin segar bagi para
pengusaha. Hilangnya syarat tersebut bisa menjadi salah satu kemudahan untuk
berinvestasi di bidang penerbangan. Sebab, syarat kepemilikan lima pesawat yang
semula diwajibkan dirasa cukup berat.

Dia menjelaskan, harga satu pesawat berkisar
Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun. Dengan demikian, jika disyaratkan memiliki
lima pesawat, pengusaha harus punya modal minimal Rp 2,5 triliun. ”Itu belum
termasuk modal untuk lainnya,” tutur Gatot. Ketika persyaratan tersebut
dihilangkan, beban pengusaha menjadi lebih ringan. ”Mungkin tujuan pemerintah
biar banyak yang mendirikan perusahaan maskapai, terus banyak persaingan dan
harga tiketnya jadi murah,” tuturnya.

Namun, lanjut dia, hal itu saja tak cukup
untuk mengembalikan kejayaan bisnis penerbangan di Indonesia. Tetap harus ada
bantuan khusus agar biaya operasional maskapai jadi ringan. Misalnya, harga
avtur diturunkan atau bea masuk spare part dihapus. ”Kemudian, kurs rupiah
terhadap dolar juga jangan terlalu tinggi soalnya kebanyakan biaya maskapai
pakai dolar,” ungkapnya.

Meski demikian, kebijakan tersebut tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Pemerintah tetap harus punya aturan baru terkait jumlah
pesawat yang dioperasikan. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya kejadian
penjualan tiket gila-gilaan tanpa disertai armada memadai. ”Jadi, maskapai
tetap harus menguasai pesawat. Ini yang harus dijelaskan pemerintah sebagai
konsekuensi dihapusnya ayat kepemilikan tadi,” sambungnya.(jpc)

 

Polemik RUU Cipta Kerja (Ciptaker) diharapkan
bisa tuntas dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR. Termasuk pasal 170 yang
disebut salah ketik oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Secara garis besar, pasal
tersebut menyatakan bahwa UU bisa diubah dengan peraturan pemerintah (PP). Bagi
beberapa pihak, pasal 170 yang dipersoalkan itu bukanlah bentuk salah ketik.

Kemarin (18/2) Mahfud mengakui, memang ada
kekeliruan pada pasal 170. ’’Tadi sudah disepakati kalau kembali ke teori dasar
ilmu perundang-undangan,’’ terang Mahfud setelah ratas di kantor presiden
kemarin. Teori dasar yang dimaksud menyatakan bahwa yang bisa mengubah UU itu
hanya UU. PP hanya bisa mengatur lebih lanjut.

Saat ini, lanjut Mahfud, RUU Ciptaker masih
berbentuk rancangan. Karena itu, perbaikan masih dimungkinkan selama proses di
DPR. ’’Jadi, tidak ada PP itu bisa mengubah undang-undang,’’ lanjut mantan
menteri pertahanan tersebut. Kekeliruan redaksional bisa diperbaiki dalam
proses di DPR. Parlemen bisa mengubah, rakyat bisa memberikan masukan.

Kekeliruan tersebut, lanjut Mahfud, tidak
lantas mengharuskan pemerintah membuat keterangan resmi ke parlemen bahwa pasal
itu keliru. Perbaikan bisa langsung dilakukan selama proses pembahasan di DPR.
Mana saja bagian UU tersebut yang dianggap tidak tepat, bisa diajukan perbaikan
dan dilakukan pembahasan.

Mahfud menambahkan, sebenarnya sudah ada gate
atau penyaring di Kemenko Perekonomian. “Cuma saat-saat terakhir ada perbaikan,
lalu ada keliru itu,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut
Mahfud, kekeliruan dalam sebuah rancangan UU bukan hal aneh. ’’Itu tidak
apa-apa, biasa sejak dulu ada kekeliruan,’’ ucapnya. Karena itu, rakyat diberi
kesempatan untuk memantau di DPR, termasuk memantau naskahnya. Lewat kesempatan
tersebut, rakyat menjadi tahu bahwa ada kesalahan sehingga memberikan saran
perbaikan. Dalam hal redaksional, bila ada yang tidak pas, dilakukan perbaikan
agar tepat.

Baca Juga :  DPR Akan Bentuk Pansus Pemindahan Ibu Kota

Sementara itu, peneliti pada Pusat Studi
Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura menuturkan, harus dibedakan
antara kesalahan ketik dan ketidakcermatan dalam menggarap substansi. ’’Tipo
itu kalau undang-undang jadi udang-udang, kurang kata ’wajib’ atau ’dapat’
misalnya,’’ ujarnya. Namun, kalau yang keliru adalah sebuah naskah yang sudah
jelas maknanya, itu bukan lagi kesalahan ketik. Publik bisa berasumsi bahwa ada
pasal titipan dalam RUU tersebut. Potensi pasal titipan, tutur Charles, juga
pernah disinggung Mahfud sebelum dia menjadi menteri. Karena itu, wajar ketika
publik mendapati pasal-pasal aneh, lalu menganggapnya titipan yang keburu
ketahuan.

Dari sisi substansi, menurut Charles, pasal
yang dianggap salah ketik itu sebenarnya sudah klir. Pemerintah ingin punya
wewenang untuk mengubah ketentuan dalam UU tersebut. Atau, ada UU lain yang
tertinggal alias tidak sempat diubah melalui RUU Ciptaker. Perubahan ketentuan
itu hendak diatur dengan PP.

Persoalannya, pasal tersebut tidak hanya
menabrak regulasi, tapi juga konstitusi. Bagaimanapun, PP adalah turunan dari
UU. Dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa presiden menetapkan PP untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. PP mengatur hal-hal teknis yang
memang tidak diatur dalam UU yang biasanya bersifat lebih umum. ’’Jadi, PP itu
melaksanakan undang-undang. Selesai itu,’’ tegas dosen Fakultas Hukum
Universitas Andalas tersebut.

Presiden hanya bisa mengubah isi UU melalui
satu cara. Yakni, mengeluarkan perppu. Namun, ada syarat hal ihwal kegentingan
yang memaksa. Di luar itu, UU hanya bisa diubah dengan UU. Juga, bisa lewat
putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi terhadap satu atau
beberapa pasal dalam UU.

Yang berbahaya dari pasal itu, kata Charles,
adalah maknanya. UU yang ada, bila tidak diubah UU Ciptaker, bisa direvisi
pemerintah dengan menggunakan PP. Dalam hal ini, termasuk UU lain yang belum
masuk Omnibus Law Ciptaker.

Baca Juga :  Obat Covid Langka, Menkes Bilang Begini

Charles menambahkan, poin mendasar terkait
polemik pasal 170 adalah itu bukanlah kesalahan ketik. Pernyataan Mahfud soal
kesalahan ketik tersebut disampaikan untuk menutupi muka pemerintah agar hal
itu tidak terus menjadi polemik.

Aturan Baru Industri Maskapai

Di bagian lain, RUU Ciptaker menghapus syarat
jumlah kepemilikan pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal. Pengamat
penerbangan Gatot Raharjo menilai aturan baru itu menjadi angin segar bagi para
pengusaha. Hilangnya syarat tersebut bisa menjadi salah satu kemudahan untuk
berinvestasi di bidang penerbangan. Sebab, syarat kepemilikan lima pesawat yang
semula diwajibkan dirasa cukup berat.

Dia menjelaskan, harga satu pesawat berkisar
Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun. Dengan demikian, jika disyaratkan memiliki
lima pesawat, pengusaha harus punya modal minimal Rp 2,5 triliun. ”Itu belum
termasuk modal untuk lainnya,” tutur Gatot. Ketika persyaratan tersebut
dihilangkan, beban pengusaha menjadi lebih ringan. ”Mungkin tujuan pemerintah
biar banyak yang mendirikan perusahaan maskapai, terus banyak persaingan dan
harga tiketnya jadi murah,” tuturnya.

Namun, lanjut dia, hal itu saja tak cukup
untuk mengembalikan kejayaan bisnis penerbangan di Indonesia. Tetap harus ada
bantuan khusus agar biaya operasional maskapai jadi ringan. Misalnya, harga
avtur diturunkan atau bea masuk spare part dihapus. ”Kemudian, kurs rupiah
terhadap dolar juga jangan terlalu tinggi soalnya kebanyakan biaya maskapai
pakai dolar,” ungkapnya.

Meski demikian, kebijakan tersebut tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Pemerintah tetap harus punya aturan baru terkait jumlah
pesawat yang dioperasikan. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya kejadian
penjualan tiket gila-gilaan tanpa disertai armada memadai. ”Jadi, maskapai
tetap harus menguasai pesawat. Ini yang harus dijelaskan pemerintah sebagai
konsekuensi dihapusnya ayat kepemilikan tadi,” sambungnya.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru