27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Hanya Guru Honorer yang Sudah Miliki Syarat Ini Berhak Dapat Dana BOS

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, hingga 18
Desember 2019 sebanyak 53 persen dari total 1.498.344 guru bukan pegawai negeri
sipil (Honorer) belum memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(NUPTK).

Padahal, berdasarkan kebijakan
Merdeka Belajar Epidose III mengenai perubahan mekanisme pemanfaatan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), untuk mendapatkan gaji tambahan dari Dana
BOS, guru-guru honorer harus memiliki NUPTK per 31 Desember 2019.

Sedangkan jumlah guru honorer
yang sudah memiliki NUPTK cut-off tanggal 18 Desember 2019, sebanyak 708.963
orang atau 47 persen dari total 1.498,344 guru honorer.

“Mereka ini memenuhi syarat
pertama untuk mendapatkan alokasi dana BOS maksimum 50 persen,” kata Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Kamis (13/2).

Nadiem juga menambahkan, bahwa
guru honorer yang berhak mendapatkan dana BOS maksimum 50 persen itu harus
berkinerja baik dan sudah lama mengabdi.

“Untuk guru honorer baru, tidak
berhak mendapatkan fasilitas tersebut. Makanya ada syarat-syaratnya yaitu harus
punya NUPTK, tidak memiliki sertifikat pendidik, dan terdata di dapodik per 31
Desember 2019,” terangnya.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia
(IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai, bahwa kebijakan gaji guru honorer diambil
dari dana BOS berpotensi melahirkan masalah baru di sekolah.

Menurutnya, dengan adanya aturan
50 persen BOS untuk honorer, ini akan membuat pemerintah daerah menganggap
urusan honorer sudah ditangani oleh pemerintah pusat lewat dana BOS.

Baca Juga :  Terjaring OTT Sunat Dana BOS, Belasan Kepsek Diamankan

“Maka itu kemungkinan besar
mayoritas pemerintah daerah akan berlepas tangan terhadap pendapatan guru
honorer,” katanya.

Terlebih lagi, dalam kebijakan
tersebut Kemendikbud menerapkan aturan yang berhak mendapatkan dana BOS 50
persen itu hanyalah pemilik Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
(NUPTK). Padahal, masih banyak guru yang tidak memiliki NUPTK.

“Apabila guru non-PNS yang tidak
memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik)
dikeluarkan, maka sekolah akan kekurangan guru. Hal ini tentunya menjadi
persoalan baru,” terangnya.

Dengan demikian, Ramli
memperkirakan bakal ada kemungkinan kepala sekolah mengakalinya tetap mempekerjakan
guru-guru yang tidak memiliki NUPTK dengan mengatasnamakan guru-guru ber-NUPTK.

“Sekolah bisa menjadi ladang
kebohongan serta kepura-puraan dan kepala kepala sekolah dipaksa untuk
melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas dalam dunia pendidikan yakni
memperkerjakan guru honorer, yang tidak memiliki NUPTK, namun mengatasnamakan
guru dengan NUPTK,” tuturnya.

Wakil Sekjen (Wasekjen) Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim mengatakan, bahwa kebijakan baru
penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) maksimal 50% untuk gaji guru
honorer berpotensi diskriminatif.

Pasalnya, untuk mendapatkan
alokasi tersebut, guru honorer harus memiliki nomor unik pendidik dan tenaga
kependidikan (NUPTK). Sementara pada kenyataannya, sangat banyak guru honorer
baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta yang belum punya NUPTK.

Baca Juga :  Gerakan Moral Menkes dengan Menyumbangkan Gaji Pertama

“Birokratisasi NUPTK yang ribet
dan menyusahkan guru menjadi salah satu penyebab banyaknya guru honorer belum
mendapatkan NUPTK. Dengan prasyarat NUPTK ini, guru honorer tidak akan
memperoleh upah dari dana BOS. Inilah potensi diskriminasi yang dimaksud,” kata
Satriwan.

Menurut Satriwan, semestinya upah
guru honorer itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui APBD atau
bersama dengan pemerintah pusat, bukan melalui dana BOS.

“Inilah yang kami dorong, agar
pemerintah daerah patuh kepada perintah UUD 1945 Pasal 31 tentang anggaran
pendidikan minimal 20% dari APBD dan APBN,” ujarnya.

Satriwan menyebutkan, potensi diskriminasi
berikutnya adalah ada persyaratan guru honorer tersebut belum memiliki
sertifikat pendidik. Artinya, guru yang sudah menerima tunjangan profesi guru
(TPG) tidak bisa menerima upah dari BOS.

Padahal, dalam UU Guru dan Dosen,
antara TPG dan gaji guru berada dalam pasal yang berbeda. TPG berada di Pasal
16, sementara gaji guru berada di Pasal 15.

“Lalu dari mana mereka akan
mendapatkan upah? Padahal TPG dan gaji itu kan berbeda substansinya. TPG
dibayar sebagai konsekuensi perolehan sertifikat pendidik yang diperoleh guru
dari profesionalitasnya dalam menjalankan tugas profesi,” pungkasnya. (der/fin/kpc)

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, hingga 18
Desember 2019 sebanyak 53 persen dari total 1.498.344 guru bukan pegawai negeri
sipil (Honorer) belum memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(NUPTK).

Padahal, berdasarkan kebijakan
Merdeka Belajar Epidose III mengenai perubahan mekanisme pemanfaatan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), untuk mendapatkan gaji tambahan dari Dana
BOS, guru-guru honorer harus memiliki NUPTK per 31 Desember 2019.

Sedangkan jumlah guru honorer
yang sudah memiliki NUPTK cut-off tanggal 18 Desember 2019, sebanyak 708.963
orang atau 47 persen dari total 1.498,344 guru honorer.

“Mereka ini memenuhi syarat
pertama untuk mendapatkan alokasi dana BOS maksimum 50 persen,” kata Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Kamis (13/2).

Nadiem juga menambahkan, bahwa
guru honorer yang berhak mendapatkan dana BOS maksimum 50 persen itu harus
berkinerja baik dan sudah lama mengabdi.

“Untuk guru honorer baru, tidak
berhak mendapatkan fasilitas tersebut. Makanya ada syarat-syaratnya yaitu harus
punya NUPTK, tidak memiliki sertifikat pendidik, dan terdata di dapodik per 31
Desember 2019,” terangnya.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia
(IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai, bahwa kebijakan gaji guru honorer diambil
dari dana BOS berpotensi melahirkan masalah baru di sekolah.

Menurutnya, dengan adanya aturan
50 persen BOS untuk honorer, ini akan membuat pemerintah daerah menganggap
urusan honorer sudah ditangani oleh pemerintah pusat lewat dana BOS.

Baca Juga :  Terjaring OTT Sunat Dana BOS, Belasan Kepsek Diamankan

“Maka itu kemungkinan besar
mayoritas pemerintah daerah akan berlepas tangan terhadap pendapatan guru
honorer,” katanya.

Terlebih lagi, dalam kebijakan
tersebut Kemendikbud menerapkan aturan yang berhak mendapatkan dana BOS 50
persen itu hanyalah pemilik Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
(NUPTK). Padahal, masih banyak guru yang tidak memiliki NUPTK.

“Apabila guru non-PNS yang tidak
memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik)
dikeluarkan, maka sekolah akan kekurangan guru. Hal ini tentunya menjadi
persoalan baru,” terangnya.

Dengan demikian, Ramli
memperkirakan bakal ada kemungkinan kepala sekolah mengakalinya tetap mempekerjakan
guru-guru yang tidak memiliki NUPTK dengan mengatasnamakan guru-guru ber-NUPTK.

“Sekolah bisa menjadi ladang
kebohongan serta kepura-puraan dan kepala kepala sekolah dipaksa untuk
melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas dalam dunia pendidikan yakni
memperkerjakan guru honorer, yang tidak memiliki NUPTK, namun mengatasnamakan
guru dengan NUPTK,” tuturnya.

Wakil Sekjen (Wasekjen) Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim mengatakan, bahwa kebijakan baru
penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) maksimal 50% untuk gaji guru
honorer berpotensi diskriminatif.

Pasalnya, untuk mendapatkan
alokasi tersebut, guru honorer harus memiliki nomor unik pendidik dan tenaga
kependidikan (NUPTK). Sementara pada kenyataannya, sangat banyak guru honorer
baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta yang belum punya NUPTK.

Baca Juga :  Gerakan Moral Menkes dengan Menyumbangkan Gaji Pertama

“Birokratisasi NUPTK yang ribet
dan menyusahkan guru menjadi salah satu penyebab banyaknya guru honorer belum
mendapatkan NUPTK. Dengan prasyarat NUPTK ini, guru honorer tidak akan
memperoleh upah dari dana BOS. Inilah potensi diskriminasi yang dimaksud,” kata
Satriwan.

Menurut Satriwan, semestinya upah
guru honorer itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui APBD atau
bersama dengan pemerintah pusat, bukan melalui dana BOS.

“Inilah yang kami dorong, agar
pemerintah daerah patuh kepada perintah UUD 1945 Pasal 31 tentang anggaran
pendidikan minimal 20% dari APBD dan APBN,” ujarnya.

Satriwan menyebutkan, potensi diskriminasi
berikutnya adalah ada persyaratan guru honorer tersebut belum memiliki
sertifikat pendidik. Artinya, guru yang sudah menerima tunjangan profesi guru
(TPG) tidak bisa menerima upah dari BOS.

Padahal, dalam UU Guru dan Dosen,
antara TPG dan gaji guru berada dalam pasal yang berbeda. TPG berada di Pasal
16, sementara gaji guru berada di Pasal 15.

“Lalu dari mana mereka akan
mendapatkan upah? Padahal TPG dan gaji itu kan berbeda substansinya. TPG
dibayar sebagai konsekuensi perolehan sertifikat pendidik yang diperoleh guru
dari profesionalitasnya dalam menjalankan tugas profesi,” pungkasnya. (der/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru