33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Ini Penjelasan Kapolri Terkait Telegram Larangan Meliput Polisi Arogan

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Surat Telegram (ST) Nomor:
ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 5 April 2021, yang diterbitkan Kapolri
tentang larangan media meliput polisi arogan menuai banyak kritikan. Di tengah
sorotan banyak pihak, akhirnya Kapolri pun buka suara.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit
Prabowo mengatakan penerbitan Surat Telegram (ST) No: ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021
bukan bertujuan untuk melarang media merekam anggota Polri yang bersikap
arogan. Akan tetapi bertujuan agar jajaran Polri lebih berhati-hati dalam
menjaga sikap di lapangan.

Sebab, menurutnya, hingga kini
masih ditemukan anggota Polri yang tampil arogan saat diliput media.
Menurutnya, arahan tersebut dinilai penting. Sebab sikap dan perbuatan anggota
Polri di masyarakat merupakan cerminan citra institusi Polri.

“Dalam kesempatan ini saya
meluruskan anggotanya (jajaran Polri) yang saya minta untuk memperbaiki diri
untuk tidak tampil arogan, jangan suka pamer tindakan yang kebablasan.
Tampilkan Polri yang tegas, namun tetap terlihat humanis. Bukan melarang media
untuk tidak boleh merekam atau mengambil gambar anggota yang arogan atau
melakukan pelanggaran,” kata Kapolri Listyo Sigit dikutip Antara, Selasa (6/4).

“Semua perilaku anggota pasti
akan disorot, jangan sampai ada beberapa perbuatan oknum yang arogan merusak
(wajah) satu institusi,” lanjutnya.

Akan tetapi, arahan Kapolri
tersebut dijabarkan secara berbeda oleh jajarannya. Akibatnya menimbulkan
kekeliruan penafsiran di publik.

“Penjabaran STR tersebut, anggota
salah menuliskan sehingga menimbulkan beda penafsiran di mana ST yang dibuat
tersebut keliru sehingga malah media yang dilarang merekam anggota yang berbuat
arogan di lapangan,” jelasnya.

Baca Juga :  Abu Janda Semakin Terpojok, GP Ansor Dukung Proses Hukum

Salah satu poin dalam Surat
Telegram Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu adalah media dilarang menyiarkan
upaya/ tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan serta
diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanis.

Kapolri pun langsung
memerintahkan Kadiv Humas Polri untuk mencabut/ membatalkan Surat Telegram Nomor:
ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 melalui diterbitkannya Surat Telegram Nomor:
ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 pada 6 April 2021.

“Oleh karena itu, saya sudah
perintahkan Kadiv Humas untuk mencabut ST tersebut,” katanya.

Sebelumnya, Surat Telegram
Kapolri ini sempat mendapat kritikan dari banyak kalangan. Di antaranya dari
Kompolnas dan Dewan Pers.

Komisioner Kompolnas, Poengky
Indarti menilai, poin-poin kontroversial yang termuat dalam surat telegram itu
dapat membatasi kebebasan pers, serta menutup akuntabilitas dan transparansi
Polri kepada publik. Dia pun meminta poin-poin itu dicabut.

Meski telegram itu bersifat
internal, menurut Poengky, poin yang diatur juga akan berdampak pada
pihak-pihak eksternal, khususnya jurnalis. “Kami berharap STR (surat telegram)
ini direvisi, khususnya poin-poin yang kontroversial membatasi kebebasan pers
serta yang menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik agar
dicabut,” kata Poengky dalam keterangan tertulis, Selasa (6/4).

Sementara Anggota Dewan Pers Agus
Sudibyo juga mengatakan tidak setuju dengan salah satu poin surat telegram yang
melarang peliputan media. Sebab media sudah punya pedoman Kode Etik Jurnalistik
dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

“Itu tak Perlu, karena liputan
media sudah diatur dalam kode etik jurnalistik dan undang-undang pers,” ujar
Agus kepada wartawan, Selasa (6/4).

Baca Juga :  Bejat, Guru Ngaji Usia 57 Tahun Cabuli 5 Muridnya, Begini Modusnya

Menurut Agus, polisi bisa merujuk
kepada dua aturan tersebut. Sehingga tidak perlu untuk membuat aturan baru
lewat Surat Telegram Kapolri. “Semestinya polisi merujuk pada keduanya sudah
cukup,” ungkapnya.

Berikut 11 poin telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri terkait kebijakan
peliputan media massa:

1. Media dilarang menyiarkan
upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Diimbau
untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

2. Tidak menyajikan rekaman
proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

3. Tidak menayangkan secara
terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

4. Tidak memberitakan secara
terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang
berwenang dan atau fakta pengadilan.

5. Tidak menayangkan reka ulang
pemerkosaan atau kejahatan seksual.

6. Menyamarkan gambar wajah dan
identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga
pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

7. Menyamarkan gambar wajah dan
identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya
yaitu anak di bawah umur.

8. Tidak menayangkan secara
eksplist dan terperinci adegan atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan
identitas pelaku.

9. Tidak menayangkan adegan
tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

10. Upaya penangkapan pelaku
kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live,
dokumentasi dilakukan personel Polri yang berkompeten.

11. Tidak menampilkan gambar
eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

JAKARTA, PROKALTENG.CO – Surat Telegram (ST) Nomor:
ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 5 April 2021, yang diterbitkan Kapolri
tentang larangan media meliput polisi arogan menuai banyak kritikan. Di tengah
sorotan banyak pihak, akhirnya Kapolri pun buka suara.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit
Prabowo mengatakan penerbitan Surat Telegram (ST) No: ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021
bukan bertujuan untuk melarang media merekam anggota Polri yang bersikap
arogan. Akan tetapi bertujuan agar jajaran Polri lebih berhati-hati dalam
menjaga sikap di lapangan.

Sebab, menurutnya, hingga kini
masih ditemukan anggota Polri yang tampil arogan saat diliput media.
Menurutnya, arahan tersebut dinilai penting. Sebab sikap dan perbuatan anggota
Polri di masyarakat merupakan cerminan citra institusi Polri.

“Dalam kesempatan ini saya
meluruskan anggotanya (jajaran Polri) yang saya minta untuk memperbaiki diri
untuk tidak tampil arogan, jangan suka pamer tindakan yang kebablasan.
Tampilkan Polri yang tegas, namun tetap terlihat humanis. Bukan melarang media
untuk tidak boleh merekam atau mengambil gambar anggota yang arogan atau
melakukan pelanggaran,” kata Kapolri Listyo Sigit dikutip Antara, Selasa (6/4).

“Semua perilaku anggota pasti
akan disorot, jangan sampai ada beberapa perbuatan oknum yang arogan merusak
(wajah) satu institusi,” lanjutnya.

Akan tetapi, arahan Kapolri
tersebut dijabarkan secara berbeda oleh jajarannya. Akibatnya menimbulkan
kekeliruan penafsiran di publik.

“Penjabaran STR tersebut, anggota
salah menuliskan sehingga menimbulkan beda penafsiran di mana ST yang dibuat
tersebut keliru sehingga malah media yang dilarang merekam anggota yang berbuat
arogan di lapangan,” jelasnya.

Baca Juga :  Abu Janda Semakin Terpojok, GP Ansor Dukung Proses Hukum

Salah satu poin dalam Surat
Telegram Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu adalah media dilarang menyiarkan
upaya/ tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan serta
diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanis.

Kapolri pun langsung
memerintahkan Kadiv Humas Polri untuk mencabut/ membatalkan Surat Telegram Nomor:
ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 melalui diterbitkannya Surat Telegram Nomor:
ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 pada 6 April 2021.

“Oleh karena itu, saya sudah
perintahkan Kadiv Humas untuk mencabut ST tersebut,” katanya.

Sebelumnya, Surat Telegram
Kapolri ini sempat mendapat kritikan dari banyak kalangan. Di antaranya dari
Kompolnas dan Dewan Pers.

Komisioner Kompolnas, Poengky
Indarti menilai, poin-poin kontroversial yang termuat dalam surat telegram itu
dapat membatasi kebebasan pers, serta menutup akuntabilitas dan transparansi
Polri kepada publik. Dia pun meminta poin-poin itu dicabut.

Meski telegram itu bersifat
internal, menurut Poengky, poin yang diatur juga akan berdampak pada
pihak-pihak eksternal, khususnya jurnalis. “Kami berharap STR (surat telegram)
ini direvisi, khususnya poin-poin yang kontroversial membatasi kebebasan pers
serta yang menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik agar
dicabut,” kata Poengky dalam keterangan tertulis, Selasa (6/4).

Sementara Anggota Dewan Pers Agus
Sudibyo juga mengatakan tidak setuju dengan salah satu poin surat telegram yang
melarang peliputan media. Sebab media sudah punya pedoman Kode Etik Jurnalistik
dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

“Itu tak Perlu, karena liputan
media sudah diatur dalam kode etik jurnalistik dan undang-undang pers,” ujar
Agus kepada wartawan, Selasa (6/4).

Baca Juga :  Bejat, Guru Ngaji Usia 57 Tahun Cabuli 5 Muridnya, Begini Modusnya

Menurut Agus, polisi bisa merujuk
kepada dua aturan tersebut. Sehingga tidak perlu untuk membuat aturan baru
lewat Surat Telegram Kapolri. “Semestinya polisi merujuk pada keduanya sudah
cukup,” ungkapnya.

Berikut 11 poin telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri terkait kebijakan
peliputan media massa:

1. Media dilarang menyiarkan
upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Diimbau
untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

2. Tidak menyajikan rekaman
proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

3. Tidak menayangkan secara
terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

4. Tidak memberitakan secara
terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang
berwenang dan atau fakta pengadilan.

5. Tidak menayangkan reka ulang
pemerkosaan atau kejahatan seksual.

6. Menyamarkan gambar wajah dan
identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga
pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

7. Menyamarkan gambar wajah dan
identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya
yaitu anak di bawah umur.

8. Tidak menayangkan secara
eksplist dan terperinci adegan atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan
identitas pelaku.

9. Tidak menayangkan adegan
tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

10. Upaya penangkapan pelaku
kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live,
dokumentasi dilakukan personel Polri yang berkompeten.

11. Tidak menampilkan gambar
eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Terpopuler

Artikel Terbaru