30.8 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Pers di Indonesia Belum Sepenuhnya Bebas

PROKALTENG.CO – Adanya kriminalisasi pers mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas. Amanat Undang-Undang Pers untuk produk pemberitaan, harus diselesaikan di Dewan Pers. Bukan di pengadilan umum.

“Masih ada sejumlah kalangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat mengadukan produk pers. Atau produk pemberitaan kepada polisi dengan berbagai alasan. Ini yang menyebabkan dilakukannya penegakan hukum yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers,” kata Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ahmad Djauhar saat Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka), di Jakarta, Rabu (1/9).

Dia menjelaskan kasus yang melibatkan karya jurnalistik menunjukkan kesalahan etik, tidak seharusnya diperlakukan seperti tindak kriminal. Sehingga tidak tepat apabila dilaporkan kepada polisi.

Fenomena tersebut, lanjut Ahmad, menimbulkan kesan karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana. Sehingga terjadi kriminalisasi pers.

“Hal ini mencerminkan kriminalisasi pers masih ada. Walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” imbuhnya.

Bukan hanya kriminalisasi. Insan pers yang terdiri dari wartawan serta awak media, juga rentan mengalami tindak kekerasan selama proses penciptaan maupun setelah publikasi produk pers. Kekerasan tersebut dapat terjadi apabila isinya dipandang merugikan pihak yang diberitakan.

Tindak kekerasan yang mengancam insan pers, juga merupakan hambatan kemerdekaan pers. Di sisi lain, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi.

Berdasarkan pada catatan pengaduan Dewan Pers, terdapat 800-an surat aduan dari masyarakat sepanjang tahun 2020. Karena itu, meski Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia (IKP) Tahun 2021 mengalami peningkatan dari 75,27 pada tahun 2020 menjadi 76,02, pers masih belum sepenuhnya bebas.

Survei Indeks Kemerdekaan Pers ini dilakukan di 34 provinsi, di lingkungan Fisik dan Politik, Lingkungan Ekonomi, dan Lingkungan Hukum pada 12 responden di setiap provisi, yang terdiri dari wartawan, pengusaha pers, pemerintah, dan masyarakat.

Wakil Ketua Dewan Pers Henry Ch Bangun mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan pers mengalami penurunan pendapatan karena merosotnya kegiatan perekonomian.

Kondisi ini menurutnya juga ditemukan pada hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021. Sehingga mendorong perusahaan pers mencari sumber pemasukan antara lain dari anggaran iklan pemerintah daerah.

Hasil Survei IKP 2021

Sementara peneliti dari PT Sucofindo, Ratih Siti Aminah menyampaikan bahwa nilai IKP 2021 mencapai angka 76,02, artinya bahwa kehidupan pers selama tahun 2020 termasuk “cukup bebas”. Rentang nilai yang masuk kategori “cukup bebas” adalah 70-89.

Baca Juga :  Putri Proklamator RI Bung Karno Ini Dukung Pemindahan Ibu Kota, Asal I

Sedangkan nilai 90-100 merupakan kategori “bebas”. Selanjutnya berturut-turut kategori “agak bebas” yaitu 56-69; “kurang bebas” (31-55) dan tidak bebas (1-30). Dibanding nilai hasil survei IKP 2020 yang mencapai 75,27, nilai IKP 2021 naik sangat tipis yaitu 0,75.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa secara umum kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2020 – yaitu kondisi yang diamati dalam survei tahun 2021 – tidak mengalami perubahan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Namun,dilihat nilai per indikatornya terjadi pergerakan cukup dinamis.

Kebebasan Media Alternatif

Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik, indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan memiliki peringkat tinggi pada survei IKP 2019 – 2021. Selama tiga tahun berturut- turut (2019 – 2021) indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan selalu menempati peringkat  pertama, yang mengindikasikan bahwa tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah.

Kebebasan Media Alternatif yang menempati urutan ke 2 tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup bebas untuk menciptakan media alternatif dengan kegiatan jurnalisme warga hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Merebaknya media alternatif beriringan dengan penetrasi teknologi informasi secara nasional, akses internet yang berkembang hampir merata, telah membuka kran informasi lebih luas, termasuk bagi kelompok rentan.

Kualitas Jurnalistik Buruk

Namun, terkait isi informasi yang dihasilkan oleh jurnalisme masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik terdapat dua indikator, yaitu Akurat dan Berimbang (#16) dan Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan (#17) yang masih memiliki permasalahan.

Permasalahan pada indikator Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan terutama terkait dengan belum terlaksananya media massa daerah dalam menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, misalnya, bagi penyandang tunarungu dan tunanetra.

Pada Lingkungan Ekonomi, rendahnya nilai indikator Independensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat terutama disebabkan oleh subindikator yang terkait dengan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan dari pemerintah, partai politik, kekuatan politik lain, maupun perusahaan besar.

Hal ini semakin nyata karena melemahnya situasi ekonomi pada situasi pandemi Covid-19 yang menyusutkan jumlah pendapatan dari iklan-iklan komersial. Sehingga ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan, terutama dari pemerintah semakin besar. Ketergantungan yang besar ini memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers.

Baca Juga :  Erick Tohir Apresiasi BRI, Percepat Herd Immunity

Kesejahteraan Wartawan Buruk

Pada Lingkungan Ekonomi masih terdapat satu lagi indikator yang memiliki persoalan, yaitu Tata Kelola Perusahaan yang Baik.

Pada indikator ini, persoalan yang paling banyak dibahas adalah kesejahteraan wartawan. Banyak wartawan di daerah yang tidak mendapat gaji ke-13 atau tunjangan hari raya (THR) setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun, beserta jaminan sosial lainnya sebagaimana di atur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.

Hal ini menyebabkan ketergantungan media pada dana pemerintah daerah, maraknya praktik amplop, dan penerimaan bantuan dari pihak lain yang dapat tengganggu independensi wartawan.

Pada kondisi Lingkungan Hukum, terdapat dua indikator dengan nilai yang rendah, yaitu Etika Pers (#15) dan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas (#20).

Persoalan etika pers banyak terkait dengan praktik wartawan menerima amplop meski ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak memengaruhi independensi kerja wartawan.

Pemberitaan Bombastis

Persoalan lainnya yang masih sering muncul adalah pemberitaan yang tidak sesuai etika jurnalistik, yaitu pemberitaan yang tidak berimbang, mengabaikan akurasi, dan sensasional.

Sementara itu, hasil IKP tahun 2017-2020 menunjukkan adanya satu indikator, yaitu Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas yang secara konsisten berada pada nilai paling rendah.

Memang, nilai pada indikator sempat mengalami kenaikan. Pada IKP 2017, indikator ini mendapat nilai 34,22, IKP 2018 mendapat nilai 43,92, IKP 2019 mendapat nilai 56,77, dan pada IKP 2020 mendapat nilai 63,56.

Namun pada IKP 2021 mendapat nilai 60,66. Artinya, nilai Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas ini masih tetap berada dalam kategori “Sedang” atau pada kondisi kebebasan pers “Agak Bebas”.

Penilaian ini sesuai dengan fakta bahwa di 34 provinsi yang disurvei, belum ada peraturan yang mendorong media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra.

Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, persoalan indikator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas tak pernah tuntas diatasi. Pemerintah daerah dari tahun ke tahun belum memprioritaskan pada persoalan ini.

Di sisi lain, perusahaan pers umumnya juga belum memprioritaskan upaya untuk melayani kepentingan para penyandang disabilitas ini.

PROKALTENG.CO – Adanya kriminalisasi pers mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas. Amanat Undang-Undang Pers untuk produk pemberitaan, harus diselesaikan di Dewan Pers. Bukan di pengadilan umum.

“Masih ada sejumlah kalangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat mengadukan produk pers. Atau produk pemberitaan kepada polisi dengan berbagai alasan. Ini yang menyebabkan dilakukannya penegakan hukum yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers,” kata Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ahmad Djauhar saat Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka), di Jakarta, Rabu (1/9).

Dia menjelaskan kasus yang melibatkan karya jurnalistik menunjukkan kesalahan etik, tidak seharusnya diperlakukan seperti tindak kriminal. Sehingga tidak tepat apabila dilaporkan kepada polisi.

Fenomena tersebut, lanjut Ahmad, menimbulkan kesan karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana. Sehingga terjadi kriminalisasi pers.

“Hal ini mencerminkan kriminalisasi pers masih ada. Walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” imbuhnya.

Bukan hanya kriminalisasi. Insan pers yang terdiri dari wartawan serta awak media, juga rentan mengalami tindak kekerasan selama proses penciptaan maupun setelah publikasi produk pers. Kekerasan tersebut dapat terjadi apabila isinya dipandang merugikan pihak yang diberitakan.

Tindak kekerasan yang mengancam insan pers, juga merupakan hambatan kemerdekaan pers. Di sisi lain, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi.

Berdasarkan pada catatan pengaduan Dewan Pers, terdapat 800-an surat aduan dari masyarakat sepanjang tahun 2020. Karena itu, meski Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia (IKP) Tahun 2021 mengalami peningkatan dari 75,27 pada tahun 2020 menjadi 76,02, pers masih belum sepenuhnya bebas.

Survei Indeks Kemerdekaan Pers ini dilakukan di 34 provinsi, di lingkungan Fisik dan Politik, Lingkungan Ekonomi, dan Lingkungan Hukum pada 12 responden di setiap provisi, yang terdiri dari wartawan, pengusaha pers, pemerintah, dan masyarakat.

Wakil Ketua Dewan Pers Henry Ch Bangun mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan pers mengalami penurunan pendapatan karena merosotnya kegiatan perekonomian.

Kondisi ini menurutnya juga ditemukan pada hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021. Sehingga mendorong perusahaan pers mencari sumber pemasukan antara lain dari anggaran iklan pemerintah daerah.

Hasil Survei IKP 2021

Sementara peneliti dari PT Sucofindo, Ratih Siti Aminah menyampaikan bahwa nilai IKP 2021 mencapai angka 76,02, artinya bahwa kehidupan pers selama tahun 2020 termasuk “cukup bebas”. Rentang nilai yang masuk kategori “cukup bebas” adalah 70-89.

Baca Juga :  Putri Proklamator RI Bung Karno Ini Dukung Pemindahan Ibu Kota, Asal I

Sedangkan nilai 90-100 merupakan kategori “bebas”. Selanjutnya berturut-turut kategori “agak bebas” yaitu 56-69; “kurang bebas” (31-55) dan tidak bebas (1-30). Dibanding nilai hasil survei IKP 2020 yang mencapai 75,27, nilai IKP 2021 naik sangat tipis yaitu 0,75.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa secara umum kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2020 – yaitu kondisi yang diamati dalam survei tahun 2021 – tidak mengalami perubahan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Namun,dilihat nilai per indikatornya terjadi pergerakan cukup dinamis.

Kebebasan Media Alternatif

Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik, indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan memiliki peringkat tinggi pada survei IKP 2019 – 2021. Selama tiga tahun berturut- turut (2019 – 2021) indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan selalu menempati peringkat  pertama, yang mengindikasikan bahwa tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah.

Kebebasan Media Alternatif yang menempati urutan ke 2 tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup bebas untuk menciptakan media alternatif dengan kegiatan jurnalisme warga hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Merebaknya media alternatif beriringan dengan penetrasi teknologi informasi secara nasional, akses internet yang berkembang hampir merata, telah membuka kran informasi lebih luas, termasuk bagi kelompok rentan.

Kualitas Jurnalistik Buruk

Namun, terkait isi informasi yang dihasilkan oleh jurnalisme masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik terdapat dua indikator, yaitu Akurat dan Berimbang (#16) dan Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan (#17) yang masih memiliki permasalahan.

Permasalahan pada indikator Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan terutama terkait dengan belum terlaksananya media massa daerah dalam menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, misalnya, bagi penyandang tunarungu dan tunanetra.

Pada Lingkungan Ekonomi, rendahnya nilai indikator Independensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat terutama disebabkan oleh subindikator yang terkait dengan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan dari pemerintah, partai politik, kekuatan politik lain, maupun perusahaan besar.

Hal ini semakin nyata karena melemahnya situasi ekonomi pada situasi pandemi Covid-19 yang menyusutkan jumlah pendapatan dari iklan-iklan komersial. Sehingga ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan, terutama dari pemerintah semakin besar. Ketergantungan yang besar ini memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers.

Baca Juga :  Erick Tohir Apresiasi BRI, Percepat Herd Immunity

Kesejahteraan Wartawan Buruk

Pada Lingkungan Ekonomi masih terdapat satu lagi indikator yang memiliki persoalan, yaitu Tata Kelola Perusahaan yang Baik.

Pada indikator ini, persoalan yang paling banyak dibahas adalah kesejahteraan wartawan. Banyak wartawan di daerah yang tidak mendapat gaji ke-13 atau tunjangan hari raya (THR) setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun, beserta jaminan sosial lainnya sebagaimana di atur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.

Hal ini menyebabkan ketergantungan media pada dana pemerintah daerah, maraknya praktik amplop, dan penerimaan bantuan dari pihak lain yang dapat tengganggu independensi wartawan.

Pada kondisi Lingkungan Hukum, terdapat dua indikator dengan nilai yang rendah, yaitu Etika Pers (#15) dan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas (#20).

Persoalan etika pers banyak terkait dengan praktik wartawan menerima amplop meski ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak memengaruhi independensi kerja wartawan.

Pemberitaan Bombastis

Persoalan lainnya yang masih sering muncul adalah pemberitaan yang tidak sesuai etika jurnalistik, yaitu pemberitaan yang tidak berimbang, mengabaikan akurasi, dan sensasional.

Sementara itu, hasil IKP tahun 2017-2020 menunjukkan adanya satu indikator, yaitu Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas yang secara konsisten berada pada nilai paling rendah.

Memang, nilai pada indikator sempat mengalami kenaikan. Pada IKP 2017, indikator ini mendapat nilai 34,22, IKP 2018 mendapat nilai 43,92, IKP 2019 mendapat nilai 56,77, dan pada IKP 2020 mendapat nilai 63,56.

Namun pada IKP 2021 mendapat nilai 60,66. Artinya, nilai Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas ini masih tetap berada dalam kategori “Sedang” atau pada kondisi kebebasan pers “Agak Bebas”.

Penilaian ini sesuai dengan fakta bahwa di 34 provinsi yang disurvei, belum ada peraturan yang mendorong media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra.

Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, persoalan indikator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas tak pernah tuntas diatasi. Pemerintah daerah dari tahun ke tahun belum memprioritaskan pada persoalan ini.

Di sisi lain, perusahaan pers umumnya juga belum memprioritaskan upaya untuk melayani kepentingan para penyandang disabilitas ini.

Terpopuler

Artikel Terbaru