30.1 C
Jakarta
Wednesday, September 11, 2024

Urgensi Teladan Para Pemimpin Taati Protokol Kesehatan

SAAT ini disiplin mematuhi protokol kesehatan merupakan
satu-satunya cara untuk mencegah persebaran Covid-19. Sebab, sampai saat ini
antivirus Covid-19 belum ditemukan dan pembuatan vaksin masih berada dalam
proses uji klinis.

Setidaknya akhir tahun atau awal
tahun depan, vaksin baru bisa diproduksi masal. Itu pun bila hasil uji klinis
tahap III berhasil.

Namun sayang, realitas
pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat sangat memprihatinkan. Kesadaran
mereka untuk menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, jaga jarak, cuci
tangan, dan lainnya) sangat rendah. Bahkan, mereka bisa dikatakan abai.

Hal itu terlihat dari beberapa
penelitian yang menunjukkan, lebih dari 85 persen masyarakat abai protokol
kesehatan di tempat umum.

Rendahnya kesadaran akan protokol
kesehatan, tidak hanya menyebabkan semakin banyaknya pasien yang terinfeksi
Covid-19, tetapi juga tingginya laju penularan dan kematian akibat Covid-19.

Laju penularan yang diukur dengan
positive rate menunjukkan angka 13
persen (standar WHO di bawah 5 persen) dan rerata fatality rate sebesar 4,7 persen, bahkan pernah menyentuh 8,6
persen (rerata dunia 3,7 persen). Kondisi seperti itu menjadikan Indonesia
dikategorikan negara yang kurang berhasil dalam pengendalian Covid-19.

Tiga Faktor

Rendahnya kepatuhan menjalankan
protokol kesehatan dapat dibagi menjadi tiga faktor, yakni faktor masyarakat,
pemerintah, dan pola komunikasi.

Faktor masyarakat disebabkan
salahnya persepsi dan pengetahuan tentang Covid-19, sehingga memunculkan sikap
yang cenderung abai terhadap infeksi Covid-19.

Sampai saat ini banyak warga yang
yakin bahwa Covid-19 tidak akan menulari dirinya atau risiko rendah tertular.
Hal itu disebabkan pengetahuan dan pemahaman tentang Covid-19 lebih banyak
didapatkan dari informasi yang tidak valid, bahkan menyesatkan, yang berasal
dari media sosial tanpa literasi yang memadai. Akibatnya, banyak yang tidak
melengkapi diri dengan alat pelindung diri (APD) dan cenderung abai menjalankan
protokol kesehatan.

Sedangkan faktor pemerintah
disebabkan ketidakmampuan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk
menyosialisasikan secara masif dan berkesinambungan pentingnya protokol
kesehatan kepada masyarakat.

Hal itu terjadi karena pola
komunikasi yang kurang dan cenderung menggunakan pendekatan formal serta
kekuasaan. Juga, belum melibatkan tokoh informal yang ada di masyarakat. Pola
pendekatan kekuasaan dan hukum dengan menerapkan denda kepada pelanggar
protokol kesehatan, tidak akan mampu memberikan hasil maksimal bila tanpa
perbaikan pola komunikasi kepada masyarakat.

Baca Juga :  Tingkat Kepatuhan Badan Publik Masih Rendah

Pola komunikasi yang selama ini
kurang baik. Banyak pejabat tinggi yang memberikan pernyataan (statement)
tentang Covid-19 tanpa kompetensi yang mereka miliki dan cenderung
disalahpersepsikan oleh masyarakat, karena selama ini sering terjadi informasi
yang simpang siur, bahkan bertentangan antara pejabat satu dan lainnya
(misinformasi dan disharmonisasi) yang mengaburkan hakikat pencegahan Covid-19.

Efek lanjut misinformasi dan
disharmoni informasi, menyebabkan pemahaman masyarakat tentang Covid-19 tidak
utuh, bahkan salah. Sehingga akhirnya memengaruhi cara berpikir dan bersikap
dalam menghadapi pandemi Covid-19 di negeri ini.

Belum lagi banyak hoaks yang
menyebar secara deras di media sosial, sehingga memengaruhi perilaku dan sikap
masyarakat terhadap prosedur kesehatan

Ada beberapa pernyataan yang
salah, tapi diingat secara kuat di masyarakat. Antara lain, virus korona akan
mati pada cuaca panas dan empon-empon bisa mengobati Covid-19. Juga ada kalung
anti-Covid-19. Bahkan, sering mengklaim penelitian uji klinis yang belum valid
hasilnya, tapi sudah diumumkan kepada masyarakat dengan bahasa yang jauh dari
bahasa ilmiah dan cenderung membuat salah persepsi bagi masyarakat awam.

Teladan

Hal lain adalah kurangnya teladan
dari para pemimpin negeri ini dalam kepatuhan protokol kesehatan. Tingginya
sifat paternalistis di masyarakat Indonesia menjadikan mereka cenderung meniru
apa yang dilihat dari para pemimpin, termasuk melihat pemimpin dalam menjalani
protokol kesehatan.

Namun, kita sering diperlihatkan
sikap pemimpin negeri ini yang terkesan kurang patuh menaati protokol.
Misalnya, berbicara dengan tidak menggunakan masker, berkumpul dengan tidak
memperhatikan jarak, bahkan berfoto bersama tanpa kaidah protokol kesehatan
yang lantas menyebar di masyarakat.

Akibatnya, masyarakat akan salah
mengartikan protokol kesehatan yang dianut para pemimpin negeri ini. Memang ada
penjelasan bahwa mereka hanya membuka masker saat berfoto, tapi masyarakat pada
umumnya tidak berpikir ke arah sana, dan hanya melihat akhirnya -yang
menunjukkan betapa longgarnya protokol kesehatan yang dilakukan pemimpin negeri
ini.

Baca Juga :  Poles Tampilan Motor Menjadi Lebih Beda dan Menarik

Sebaiknya para pemimpin meniru
pejabat luar negeri yang sangat ketat menjalankan protokol kesehatan saat
beraktivitas, baik saat disorot media maupun tidak, dan mengirim pesan ke
rakyat tentang pentingnya kepatuhan menjalankan protokol kesehatan.

Beberapa rencana pengumpulan
massa yang akan dilakukan oleh pemimpin pusat maupun daerah sebaiknya perlu
dihindari. Sebab, justru itu akan menambah masalah baru yang tidak hanya
berpotensi menambah klaster penularan, tapi juga menyebabkan masyarakat makin
abai terhadap protokol kesehatan di masa yang akan datang.

Saat ini juga diperlukan kearifan
pemimpin, untuk tidak membuat kebijakan kontroversial yang berpotensi protes
keras dan unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat. Untuk beberapa RUU yang
kontroversial seperti RUU Omnibus Law dan RUU HIP, sebaiknya ditunda dulu
pembahasannya sampai wabah ini berakhir.

Pemaksaan RUU bermasalah untuk
segera diselesaikan, menyebabkan terjadinya gelombang unjuk rasa yang besar dan
berpotensi melanggar protokol kesehatan. Beberapa aksi unjuk rasa
memperlihatkan betapa protokol kesehatan sangat tidak dipatuhi dan berpotensi
menyebabkan terbentuknya klaster baru.

Klaster baru saat ini banyak
terbentuk dan pada umumnya disebabkan abai protokol kesehatan. Akibatnya,
banyak pasien yang datang untuk berobat ke fasilitas kesehatan yang sebenarnya
sudah penuh dan tidak mampu lagi melayani dengan berbagai akibatnya.

Maka, sudah sepatutnya semua
elemen bangsa bersatu untuk bersama-sama menaati protokol kesehatan sambil
berharap produksi vaksin segera bisa dimulai awal tahun depan.

Walaupun sudah ada vaksin,
menaati protokol kesehatan tetap merupakan cara yang terbaik dan dibutuhkan
untuk memutus rantai persebaran Covid-19. Juga, pemimpin negeri ini harus
berada terdepan untuk memberikan teladan kepada rakyatnya. (*)

(Penulis adalah Dosen neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RS Saiful Anwar Malang)

SAAT ini disiplin mematuhi protokol kesehatan merupakan
satu-satunya cara untuk mencegah persebaran Covid-19. Sebab, sampai saat ini
antivirus Covid-19 belum ditemukan dan pembuatan vaksin masih berada dalam
proses uji klinis.

Setidaknya akhir tahun atau awal
tahun depan, vaksin baru bisa diproduksi masal. Itu pun bila hasil uji klinis
tahap III berhasil.

Namun sayang, realitas
pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat sangat memprihatinkan. Kesadaran
mereka untuk menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, jaga jarak, cuci
tangan, dan lainnya) sangat rendah. Bahkan, mereka bisa dikatakan abai.

Hal itu terlihat dari beberapa
penelitian yang menunjukkan, lebih dari 85 persen masyarakat abai protokol
kesehatan di tempat umum.

Rendahnya kesadaran akan protokol
kesehatan, tidak hanya menyebabkan semakin banyaknya pasien yang terinfeksi
Covid-19, tetapi juga tingginya laju penularan dan kematian akibat Covid-19.

Laju penularan yang diukur dengan
positive rate menunjukkan angka 13
persen (standar WHO di bawah 5 persen) dan rerata fatality rate sebesar 4,7 persen, bahkan pernah menyentuh 8,6
persen (rerata dunia 3,7 persen). Kondisi seperti itu menjadikan Indonesia
dikategorikan negara yang kurang berhasil dalam pengendalian Covid-19.

Tiga Faktor

Rendahnya kepatuhan menjalankan
protokol kesehatan dapat dibagi menjadi tiga faktor, yakni faktor masyarakat,
pemerintah, dan pola komunikasi.

Faktor masyarakat disebabkan
salahnya persepsi dan pengetahuan tentang Covid-19, sehingga memunculkan sikap
yang cenderung abai terhadap infeksi Covid-19.

Sampai saat ini banyak warga yang
yakin bahwa Covid-19 tidak akan menulari dirinya atau risiko rendah tertular.
Hal itu disebabkan pengetahuan dan pemahaman tentang Covid-19 lebih banyak
didapatkan dari informasi yang tidak valid, bahkan menyesatkan, yang berasal
dari media sosial tanpa literasi yang memadai. Akibatnya, banyak yang tidak
melengkapi diri dengan alat pelindung diri (APD) dan cenderung abai menjalankan
protokol kesehatan.

Sedangkan faktor pemerintah
disebabkan ketidakmampuan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk
menyosialisasikan secara masif dan berkesinambungan pentingnya protokol
kesehatan kepada masyarakat.

Hal itu terjadi karena pola
komunikasi yang kurang dan cenderung menggunakan pendekatan formal serta
kekuasaan. Juga, belum melibatkan tokoh informal yang ada di masyarakat. Pola
pendekatan kekuasaan dan hukum dengan menerapkan denda kepada pelanggar
protokol kesehatan, tidak akan mampu memberikan hasil maksimal bila tanpa
perbaikan pola komunikasi kepada masyarakat.

Baca Juga :  Tingkat Kepatuhan Badan Publik Masih Rendah

Pola komunikasi yang selama ini
kurang baik. Banyak pejabat tinggi yang memberikan pernyataan (statement)
tentang Covid-19 tanpa kompetensi yang mereka miliki dan cenderung
disalahpersepsikan oleh masyarakat, karena selama ini sering terjadi informasi
yang simpang siur, bahkan bertentangan antara pejabat satu dan lainnya
(misinformasi dan disharmonisasi) yang mengaburkan hakikat pencegahan Covid-19.

Efek lanjut misinformasi dan
disharmoni informasi, menyebabkan pemahaman masyarakat tentang Covid-19 tidak
utuh, bahkan salah. Sehingga akhirnya memengaruhi cara berpikir dan bersikap
dalam menghadapi pandemi Covid-19 di negeri ini.

Belum lagi banyak hoaks yang
menyebar secara deras di media sosial, sehingga memengaruhi perilaku dan sikap
masyarakat terhadap prosedur kesehatan

Ada beberapa pernyataan yang
salah, tapi diingat secara kuat di masyarakat. Antara lain, virus korona akan
mati pada cuaca panas dan empon-empon bisa mengobati Covid-19. Juga ada kalung
anti-Covid-19. Bahkan, sering mengklaim penelitian uji klinis yang belum valid
hasilnya, tapi sudah diumumkan kepada masyarakat dengan bahasa yang jauh dari
bahasa ilmiah dan cenderung membuat salah persepsi bagi masyarakat awam.

Teladan

Hal lain adalah kurangnya teladan
dari para pemimpin negeri ini dalam kepatuhan protokol kesehatan. Tingginya
sifat paternalistis di masyarakat Indonesia menjadikan mereka cenderung meniru
apa yang dilihat dari para pemimpin, termasuk melihat pemimpin dalam menjalani
protokol kesehatan.

Namun, kita sering diperlihatkan
sikap pemimpin negeri ini yang terkesan kurang patuh menaati protokol.
Misalnya, berbicara dengan tidak menggunakan masker, berkumpul dengan tidak
memperhatikan jarak, bahkan berfoto bersama tanpa kaidah protokol kesehatan
yang lantas menyebar di masyarakat.

Akibatnya, masyarakat akan salah
mengartikan protokol kesehatan yang dianut para pemimpin negeri ini. Memang ada
penjelasan bahwa mereka hanya membuka masker saat berfoto, tapi masyarakat pada
umumnya tidak berpikir ke arah sana, dan hanya melihat akhirnya -yang
menunjukkan betapa longgarnya protokol kesehatan yang dilakukan pemimpin negeri
ini.

Baca Juga :  Poles Tampilan Motor Menjadi Lebih Beda dan Menarik

Sebaiknya para pemimpin meniru
pejabat luar negeri yang sangat ketat menjalankan protokol kesehatan saat
beraktivitas, baik saat disorot media maupun tidak, dan mengirim pesan ke
rakyat tentang pentingnya kepatuhan menjalankan protokol kesehatan.

Beberapa rencana pengumpulan
massa yang akan dilakukan oleh pemimpin pusat maupun daerah sebaiknya perlu
dihindari. Sebab, justru itu akan menambah masalah baru yang tidak hanya
berpotensi menambah klaster penularan, tapi juga menyebabkan masyarakat makin
abai terhadap protokol kesehatan di masa yang akan datang.

Saat ini juga diperlukan kearifan
pemimpin, untuk tidak membuat kebijakan kontroversial yang berpotensi protes
keras dan unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat. Untuk beberapa RUU yang
kontroversial seperti RUU Omnibus Law dan RUU HIP, sebaiknya ditunda dulu
pembahasannya sampai wabah ini berakhir.

Pemaksaan RUU bermasalah untuk
segera diselesaikan, menyebabkan terjadinya gelombang unjuk rasa yang besar dan
berpotensi melanggar protokol kesehatan. Beberapa aksi unjuk rasa
memperlihatkan betapa protokol kesehatan sangat tidak dipatuhi dan berpotensi
menyebabkan terbentuknya klaster baru.

Klaster baru saat ini banyak
terbentuk dan pada umumnya disebabkan abai protokol kesehatan. Akibatnya,
banyak pasien yang datang untuk berobat ke fasilitas kesehatan yang sebenarnya
sudah penuh dan tidak mampu lagi melayani dengan berbagai akibatnya.

Maka, sudah sepatutnya semua
elemen bangsa bersatu untuk bersama-sama menaati protokol kesehatan sambil
berharap produksi vaksin segera bisa dimulai awal tahun depan.

Walaupun sudah ada vaksin,
menaati protokol kesehatan tetap merupakan cara yang terbaik dan dibutuhkan
untuk memutus rantai persebaran Covid-19. Juga, pemimpin negeri ini harus
berada terdepan untuk memberikan teladan kepada rakyatnya. (*)

(Penulis adalah Dosen neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RS Saiful Anwar Malang)

Terpopuler

Artikel Terbaru